• Literasi
  • Bertahan Hidup dan Diabaikan, Pengalaman 10 Buruh Ibu dalam Pusaran Pandemi

Bertahan Hidup dan Diabaikan, Pengalaman 10 Buruh Ibu dalam Pusaran Pandemi

Buku "Bertahan Hidup dan Diabaikan" ditulis seorang buruh perempuan. Memotret kerasnya kehidupan para buruh dalam pusaran pagebluk dan sistem kerja berat.

Aksi buruh perempuan saat menuntut kenaikan upah di Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Kamis (25/11/2021). Buruh perempuan rentan mengalami kasus kekerasan seksual di tempat kerja. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau31 Desember 2021


BandungBergerak.idSeorang buruh perempuan, Dian Septi Trisnanti, menulis buku tentang perjuangan para buruh perempuan. Buku berjudul “Bertahan Hidup dan Diabaikan, Pengalaman 10 Buruh Ibu dalam Pusaran Pandemi” ini menggambarkan beban ganda yang dialami buruh ibu. Mereka harus bekerja di pabrik sekaligus mengurusi rumah tangga.  

Di saat pandemi, beban mereka menjadi berlipat. Buku ini didiskusikan dalam diskusi peluncuran buku “Adaptasi Penindasan Baru vs Perlawanan Baru”, yang dibuka dengan nyanyian dari Melanie Subono, Senin (27/12/2021).

Sang penulis, Dian Septi Trisnanti, menuturkan bukunya berisi kisah pengalaman 10 buruh perempuan. Dian mengistilahkan kaum Hawa ini harus menjalani kerja-kerja reproduksi, seperti hamil, merawat anak, termasuk pengalaman pahit mengalami keguguran dan kehamilan.

“Di saat bersamaan, mereka harus bergelut dengan pekerjaan, termasuk di masa pandemi Covid-19,” katanya, dalam diskusi.

Beberapa kisah yang ditorehkan oleh Dian, misalnya, cerita Ratmi, seorang buruh perempuan yang terlalu banyak lembur dalam kondisi sedang mengandung, lalu akhirnya mengalami pendarahan. Ratmi bekerja selama 8 jam di bagian quality control, dan pekerjaan tersebut dikerjakan dalam posisi berdiri.

Itu merupakan kehamilan keempat Ratmi, dan dua anaknya meninggal. Di tengah pagebluk, suaminya hanya bekerja serabutan. Hidup Ratmi terus diuji, ia di-PHK dengan pesangon Rp 30 juta. Kini ia tinggal di bedeng sempit, harus berhemat, dan mengganti susu formula anaknya dengan yang lebih murah.

Buruh ibu lainnya, Putri, merupakan korban pengurangan jumlah tenaga kerja. Dia di-PHK karena pandemi, padahal alasan sebetulnya karena berserikat. Suaminya juga terkena pemutusan hubungan kerja dari perusahaannya. Di saat semua kondisi sedang tidak baik, Putri harus melahirkan secara sesar, ia akhirnya dapat melahirkan dengan uang pesangon yang diterima oleh suami. Saat ini Putri bekerja di sebuah pabrik di Klaten, dibayar 70 persen dari UMK Klaten.

Ada juga Susan dan Evi yang juga harus tetap bekerja ketika sedang hamil. Bahkan Susan tetap bekerja di saat tekanan darah (HB)-nya rendah, sedangkan pembayaran gajinya tidak menentu karena pagebluk. Kemudian, Fitri, yang kerja dalam kondisi hamil kembar, lalu di-PHK.

Bertahan Hidup dan Memberi Hidup

Dian Septi Trisnanti menuliskan kisah-kisah buruh ibu ini berangkat dari pengalamannya sendiri. Saat ini ia memimpinan buruh perempuan dari serikat buruh FSBPI. Pengalaman sebagai buruh juga dialami oleh ibunya Dian.

Dian yang pernah menjadi jurnalis dan mendirikan Marsinah FM mengatakan, menulis kisah-kisah buruh perempuan sebagai bentuk refleksi atas apa yang ia rasakan bersama dengan keluarganya.

“Ketika menulis ini menjadi satu refleksi untukku sendiri dengan perempuan terdekat, mama, kakakku, kaka juga ketika melahirkan sempat koma beberapa hari, dan buruh perempuan ini mereka mampu bertahan. Dan melihat mereka bertahan itu membuatku juga bertahan, jadi dia sekaligus penawar untuk aku sendiri,” ungkap Dian.

Membicarakan persoalan buruh perempuan memang cukup kompleks, baik di saat maupun sebelum pandemi. Sebelum pandemi, kata Dian, tantangan berat yang dihadapi buruh perempuan sudah masif. Pandemi membuat tantangan berat itu berkali lipat.

Di tengah pandemi, buruh-buruh ibu ini selain bergelut dengan pekerjaan mereka juga tak bisa lepas dari tugas reproduksi: hamil, menyusui dan mengurus keluarga. Buruh perempuan ini dihadapkan dengan pilihan bertahan hidup dan memberi hidup. Ia bertahan hidup untuk tetap bekerja, agar dapat menghidupi anak dan keluarganya.

Di sisi lain, pabrik menjadi tempat yang sangat rentan terhadap penularan virus. Kerumunan dalam pabrik sepertinya tak bisa dielakkan.

“Nah kalau mau bertahan hidup pilihannya apa, satu masuk kerja, taruhannya nyawa. Terus juga berhenti bekerja taruhannya juga nyawa. Itu tekanan batin yang sebenarnya tekanan batin itu sangat keras, kalau tidak makan nanti bagaimana, kalau sakit terpapar nanti bagaimana keluarga, seperti apa,” kata Dian.

Ironi Keselamatan Kerja Saat Pandemi

Pandemi menelanjangi kekerasan yang selama ini sudah vulgar, menjadi semakin vulgar. Ironinya, kata Dian, hal ini dibiarkan dan diabaikan. Sistem ekonomi pabrik sampai ekonomi global sama sekali tidak berpihak pada buruh perempuan. Ironi lainnya, hal ini didukung oleh pemerintah dengan peraturan-peraturan yang tak melindungi pekerja.

“Tidak ada tempat bagi pekerja perempuan dalam sistem produksi, dalam sistem ekonomi global dan hal itu makin parah, pandemi itu menelanjangi itu semua jadi semakin vulgar dan itu dibolehkan oleh pemerintah,” katanya.

Di acara yang sama, Sumiyati, pengurus serikat buruh SPN, menuturkan mayoritas buruh perempuan bekerja di sektor PGSL, seperti tekstil, garmen, sepatu kulit. Dari 198 ribu anggota SPN, Sebanyak 120 ribu anggota di antaranya terdampak. Sebanyak 80 persennya korban pandemi.

Buruh-buruh perempuan di masa pandemi bukan hanya dihadapkan pada persoalan kesehatan, tetapi juga persoalan ekonomi yang menjerat mereka. Mereka mau tak mau harus tetap bertahan hidup. Tetap bekerja.

Sumiyati menceritakan ada buruh yang bekerja di salah satu perusahaan ekspor dan penyalur suatu brand internasional. Penghasilan buruh tersebut berkurang, sementara tenaganya terus diporsir karena sistem kerja yang tak beraturan. Di tengah pandemi, ia terpapar dan harus terkungkung di kontrakan, sampai akhirnya menemui ajal di dalam kontrakan.

Ada beberapa pekerja ikut bersolidaritas pada buruh malang tersebut dan mengantarkan jenazah untuk disemayamkan. Ketika para pengantar jenazah ini hendak masuk kerja, mereka harus melakukan pemeriksaan tes Covid-19 dengan uang pribadi. Perusahaan tak mau membantu sama sekali.

Sumiyati meyakini masalah keselamatan kerja ini dialami banyak buruh di Indonesia, namun jumlahya ibarat fenomena gunung es. “Ada beberapa memang data ini kayak data gunung es juga, tidak tercatat tapi begitu kita teliti banyak sekali.”

Tidak sedikit beberapa pekerja yang terpapar harus tetap bekerja, hanya mencari alternatif pengobatan sendiri untuk sembuh. Perusahaan seperti lepas tangan. Beberapa alat pelindung diri juga banyak tak disediakan, masker harus ditanggung sendiri.

Di tengah pandemi, kerja-kerja buruh terutama yang dialami perempuan semakin berat. Tubuhnya bekerja sedemikian beratnya untuk orang lain. Lalu, hak-haknya tercerabut.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//