Anak-anak Bandung Rentan Ditinggal Orang Tua karena Pagebluk
Anak-anak pada posisi sangat rawan di masa pagebluk. Tingginya kasus kematian Covid-19 pada orang tua membuat mereka rentan menjadi anak yatim.
Penulis Bani Hakiki23 Juli 2021
BandungBergerak.id - Anak-anak berada pada posisi sangat rawan di masa pagebluk berkepanjangan. Mulai belajar daring yang serba kekurangan, orang tua mereka terinfeksi Covid-19, jadi korban kekerasan, dan mereka pun tidak bebas Covid-19 di tengah tingginya klaster penularan keluarga.
Masalah tersebut hanya sebagian dari segunung persoalan yang dihadapi para generasi penerus. Yang terbaru, Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA), Bandung, mencatat ada 16 anak sekolah ditangkap kepolisian ketika terjadi aksi unjuk rasa tolak PPKM Darurat yang berakhir ricuh, Rabu (21/7/2021).
Dadang Sukmawijaya, penasihat hukum LAHA, mengaku prihatin bahwa pagebluk telah menyeret anak-anak ke ranah yang lebih jauh lagi. Fenomena ini mendesak memerlukan penanganan bersama oleh pemerintah maupun masyarakat.
“Ini sangat prihatin, perlu diperhatikan bersama-sama. Baik pemerintah ataupun masyarakat harus segera mencari solusi,” ujar Dadang, ketika dihubungi melalui telepon, Jumat (22/7/2021) malam.
Sementara Hari Anak Nasional yang diperingati tiap 23 Juli tahun ini masih berlangsung dalam suasana muram pagebluk, walaupun momen ini tetap menjadi momentum dalam memperbaiki nasib anak-anak.
“Dalam kondisi (pagebluk) seperti ini, anak-anak harus dapat perhatian dan bimbingan,” tambah Dadang Sukmawijaya.
LAHA mencatat, pukulan pertama pada anak selama pagebluk terjadi di dunia pendidikan. Pagebluk memaksa mereka menjalani pendidikan jarak jauh dengan sarana dan prasarana yang seadanya, tanpa tahu kapan mereka akan memulai pendidikan tatap muka sebagaimana yang lazim dilakukan sebelum era pandemi.
LAHA mencat banyak laporan dari para murid, orangtua, dan sebagian tenaga pendidik di Bandung tentang efek domino pagebluk. Kebanyakan mereka mengeluhkan akses belajar yang sulit terjangkau bagi keluarga murid dengan latar belakan ekonomi menengah ke bawah. Masalah ini jadi kendala yang terus berlarut dan belum menemukan solusi hingga kini.
“Pendidikan anak ini beda dengan pendidikan dewasa tingkat kuliah. Permasalahannya ada di sini. Untuk anak sekolah, terutama usia dini, sistem pendidikan (daring) ini memang susah,” menurut Dadang.
United Nations Children's Fund (Unicef) Indonesia melansir, terdapat 4,3 juta anak tidak mendapat pendidikan sejak pagebluk terjadi hingga kini. Sebanyak 2,3 juta di antaranya tidak bisa membaca ataupun menulis.
Bahkan, ada pula anak yang terancam dinikahkan dan bekerja sejak dini. Hal ini terjadi lantaran banyak sekolah yang tutup sejak pagebluk. Orang tua mereka menganggap menikah sebagai solusi untuk meringankan beban keluarga yang menumpuk sejak pagebluk.
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat pun merilis data miris pada anak-anak. Tercatat ada sekitar 4 juta anak sekolah di Jawa Barat pada tahun 2020. Angka putus sekolahnya mencapai 6.030 anak pada tahun yang sama. Sebanyak 5.157 di antaranya terjadi di sekolah negeri, 873 anak dari sekolah swasta.
Ditinggal Orang Tua yang Terpapar
Anak-anak sangat membutuhkan kehadiran orang tua dalam kehidupan sehari-harinya. Namun LAHA mencatat, banyak laporan mengenai kasus anak-anak yang ditinggal orang tuanya karena terpapar Covid-19, baik yang ditinggal karena meninggal dunia maupun karena orang tua harus menjalani isolasi mandiri.
Data Covid-19 Bandung Raya mencatat puluhan kasus kematian per harinya. Di antara yang meninggal, adalah orang tua-orang tua yang memiliki anak-anak yang masih sekolah. Pagebluk dipastikan banyak menimbulkan anak-anak yatim.
Menurut Dadang, masalah tersebut harus segera ditangani karena terkait erat dengan kesehatan fisik dan mental anak. Sambil menunggu langkah pemerintah, masyarakat diimbau berperan lebih aktif membantu tetangga mereka yang terkena Covid-19.
Sayangnya kondisi saat ini masyarakat tidak bisa terus-menerus berharap pada kebijakan pemerintah yang keteteran mengendalikan pagebluk. Dadang menyarankan agar di level masyarakat didirikan posko lapor Covid-19 khusus anak. Gagasan ini dirasa bisa mendata permasalahan anak lebih rinci lagi dibanding survei yang selama ini telah dijalankan para pemangku kebijakan.
Bahkan untuk kasus anak usia dini, keintiman hubungan dengan orang tua sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, orang dewasa di setiap wilayah perlu meningkatkan kesadarannya terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi anak selama pagebluk.
“Sekarang, saatnya seluruh masyarakat ikut membantu, jika ada orang tua kena Covid, tetangganya harus bisa menjamin anak yang ditinggalkan (isoman). Gak ada yang tahu kapan (pagebluk) selesai,” ujarnya.
Dadang juga menyoroti vaksinasi Covid-19 pada anak yang masih minim. Maka Pemkot Bandung didesak untuk mempercepat proses vaksinasi terhadap anak, keberhasilan vaksinasi dianggap sebagai salah satu kunci untuk menjamin kesehatan anak di masa pandemi.
Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Barat menyebutkan, hingga 14 Juli 2021, mencatat baru 4.867.047 orang di Jawa Barat telah divaksin, dari target 70 persen – 80 persen penduduk Jawa Barat sekitar 50 juta jiwa. Sementara jangkauan vaksinasi pada anak usia 12-17 tahun di Jawa Barat masih minim. Untuk Bandung saja, target vaksinasi anak usia tersebut mencapai 244.000 anak.
Baca Juga: Gejala Kekerasan Seksual Digital masa Pandemi Covid-19 di Bandung dan Nasional
Pagebluk Covid-19, Semakin Banyak Anak dan Perempuan Bandung Alami Kekerasan
Kasus Kriminal pada Anak
Psikolog sekaligus guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Ririn Kumalasari, melihat banyak faktor penyebab terjadinya tindak kriminalitas pada anak. Salah satu faktor terbesarnya adalah kondisi mental yang menurun di masa pagebluk.
Orang tua dituntut untuk lebih kreatif dalam menjalin komunikasi dengan anak selama berada di rumah. Bentuk komunikasinya beragam, mulai dari aktif menanggapi keluhan anak, olahraga rutin, sampai menyiapkan permainan ketangkasan sederhana. Hal ini guna menjaga suasana hati anak dalam keadaan baik dan menjaga kenyamanannya di rumah.
“Kondisi mental anak memang sangat rentan terhadap keadaan, apalagi pagebluk sudah berlangsung lama ya. Porsi bermain berkurang, dibatasi, kalau tidak ada solusi bisa bikin anak bosan dan stres,” tuturnya ketika dihubungi melalui aplikasi pesan singkat, Kamis (22/7/2021) siang.
Ririn juga mengimbau setiap orang tua untuk menghindarkan anak dari konflik yang terjadi di lingkungan keluarga sehari-hari. Konflik dalam keluarga biasanya menimbulkan trauma bagi anak yang dampaknya terlihat samar selama masa pertumbuhan. Dampaknya baru akan terlihat ketika anak mulai memasuki masa remaja, terutama bagi anak yang pernah mengalami tindak kekerasan.
Posisi anak semakin ironis di masa pagebluk ini. Mereka juga rentan menjadi korban kekerasan. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DP3A) Kota Bandung mengonfirmasi sejak awal Januari hingga Mei 2021, jumlah laporan kekerasan pada anak mencapai 75 kasus. Angka ini berpeluang bertambah seiring laju pagebluk yang entah berakhir kapan. Tentu kerentanan ini tak mungkin dibiarkan.