• Opini
  • Potret Psikologis Ibu Bekerja dalam Bingkai Masyarakat Patriarki

Potret Psikologis Ibu Bekerja dalam Bingkai Masyarakat Patriarki

Sebuah penelitian di Universitas Washington menyimpulkan seorang ibu bekerja empat sampai lima kali lebih banyak daripada ayah.

Vianny Aileen Handoyo

Mahasiswa Teknik Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Seorang perempuan melintas di antara lukisan Jalan Braga, Bandung, Jawa Barat, 5 Desember 2022. Perempuan banyak menghadapi tuntutan di dunia yang didominasi kuasa laki-laki. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

17 Januari 2023


BandungBergerak.id—"Cinta seorang ibu untuk anaknya tidak seperti apa pun di dunia ini. Ia tidak mengenal hukum, tidak mengenal belas kasihan, ia mengatur segala sesuatu dan menghancurkan tanpa belas kasihan semua yang menghalangi jalannya."  (Agatha Christie)  

Menjadi ibu adalah salah satu hal terindah dalam hidup. Kegembiraan saat menggendong anak untuk pertama kalinya tak terlukiskan oleh banyak orang. Keibuan adalah banyak hal; ciuman sebelum tidur, masakan rumah, pelukan sepulang sekolah, dan begitu juga rasa sakit, tekanan, dan jam kerja yang panjang.

Dalam abad kini, banyak wanita yang memiliki karier; pasangan dual-earner menjadi makin lazim. Kepatriarkian masyarakat Indonesia membuat wanita modern, khususnya ibu bekerja, menghadapi dilema dan berbagai tantangan yang merugikan kesehatan mentalnya.

Baca Juga: Pola Hidup Sehat sebagai Investasi Masa Depan
Pajak Minuman Berpemanis dalam Kemasan, Apakah Perlu?
Aplikasi Arsitektur Hijau Berkelanjutan dalam Pembangunan Perkantoran

Persepsi Konvensional Masyarakat Tentang Seorang Ibu

Telah diajarkan sejak SD bahwa dalam sebuah keluarga, sang ayah bertugas untuk mencari nafkah, sedangkan sang wanita menjadi ibu rumah tangga (Sutrisino, 2009). Ini merupakan persepsi konvensional masyarakat tentang peran gender.

Yin-yang adalah simbol Tiongkok kuno yang menggambarkan dua kekuatan yang saling melengkapi dan membentuk semua aspek dan fenomena kehidupan. Terinspirasi oleh Konfusius, seorang filsuf Cina, penulis sering membahas gender dalam kaitannya dengan yin-yang.

Wanita adalah yin sedangkan pria adalah yang. Yin adalah lembut, menyerah, reseptif, pasif, reflektif, dan tenang. Di sisi lain, Yang adalah keras, aktif, tegas, dan mendominasi (Augustyn, 2021).

Hubungan alami antara yin-yang adalah mengapa laki-laki diharapkan memimpin sementara perempuan mengikuti. Kerangka berpikir tersebut melahirkan budaya patriarki.

Saat ini, pada abad ke-21, sistem patriarki masih mengakar kuat di Indonesia. Memperkenalkan ideologi feminisme kepada masyarakat sangat penting karena sistem patriarki menyebabkan berbagai masalah sosial-ekonomi seperti objektifikasi perempuan, standar kecantikan yang tidak realistis, industri yang didominasi laki-laki, gaji yang tidak setara, pelecehan, budaya pemerkosaan (rape culture), dan lain-lain.

Tidak semua ibu sama. Beberapa tinggal di rumah memanggang kue cokelat, beberapa bekerja di STEM, dan beberapa melakukan keduanya. Beberapa wanita bahkan mungkin tidak menginginkan anak. Namun, semua wanita menghadapi masalah yang merupakan efek domino dari ketidaksetaraan gender.

Glass Ceiling dan Diskriminasi Terhadap Ibu Bekerja

Menurut penelitian McKinsey pada tahun 2022, pada setiap 100 laki-laki yang dipromosikan menjadi posisi manajer, hanya 87 perempuan yang dipromosikan. Istilah glass ceiling mengacu pada penghalang tak terlihat metaforis yang mencegah individu tertentu dipromosikan ke posisi tingkat manajerial dan eksekutif dalam sebuah organisasi/perusahaan. Istilah ini biasa digunakan untuk menggambarkan kesulitan yang dihadapi perempuan dan minoritas ketika mencoba untuk naik pangkat dalam hierarki industri yang didominasi laki-laki.

Selain itu, ibu yang bekerja dirugikan oleh jadwal yang tidak fleksibel; mereka dapat memiliki sedikit atau tidak ada cuti berbayar setelah melahirkan. Jika mereka tidak dapat meninggalkan mereka anak-anak dengan anggota keluarga, mereka juga harus menemukan pengasuh atau tempat daycare. Wanita yang meninggalkan pekerjaannya memiliki kemungkinan 26% lebih besar untuk memiliki anak dan 67% lebih banyak cenderung menjadi pengasuh utama (Brower, 2021).

Professional Burnout dan Penurunan Kesehatan Mental

Wanita melakukan pekerjaan di rumah tangga yang berat dan tanpa bayar. Biasanya sang ibu mengambil cuti dari pekerjaan untuk menemani bayinya sedangkan sang ayah tidak. Sang Ibu menjadi manajer default untuk semua hal: janji dengan dokter, pengasuhan anak, sekolah, perkemahan, teman bermain, obat-obatan, tidur, dan jadwal makan (Kerr, 2022). Ini merupakan sebuah pekerjaan penuh waktu yang tidak dibagi secara adil antara sang ibu dan ayah.

Menurut sebuah penelitian di Universitas Washington, ibu bekerja empat sampai lima kali lebih banyak daripada ayah. Ibu bekerja juga mengalami rasa bersalah jika harus meninggalkan anaknya dan mengalami stigmatisasi dari masyarakat. Bukannya seorang Ibu harusnya bekerja di rumah? Ini berdampak secara psikologis kepada ibu bekerja serta mengakibatkan kesehatan mental dan fisiknya turun. Diskriminasi gender di tempat kerja adalah salah satunya faktor yang membuat wanita lebih rentan terhadap kecemasan daripada pria (Platt, 2016).

 

Ideologi feminisme mencakup pemahaman bahwa wanita memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri. Gaji yang setara antara gender memungkinkan perempuan untuk memilih karier yang memberi imbalan yang adil atas pekerjaan mereka. Body image yang positif memberi kita kekuatan untuk mengekspresikan diri bagaimanapun kita suka. Wanita bebas untuk bekerja atau tidak bekerja. Namun, memilih menjadi ibu rumah tangga tidak berarti seseorang bukan seorang feminis; dua ini hal-hal tidak saling eksklusif. Dalam keluarga yang baik, orang tua yang bekerja di luar rumah tetap bisa membantu memasak, membersihkan, dan mengasuh anak saat tidak bekerja. Ketika seorang wanita diwajibkan oleh kekuatan yang lebih tinggi untuk menjadi ibu rumah tangga atau dibatasi dari pilihan lain seperti mengejar karier, di situlah kita tidak memberikan toleransi.

Biasanya, perempuan yang terpaksa menjadi ibu rumah tangga tunduk pada suaminya. Mereka sangat dituntut untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan sang laki. Dalam beberapa kasus, perempuan tidak diperbolehkan berbicara dan membuat keputusan untuk keluarga, karena itu adalah pekerjaan seorang ayah. Sayangnya, dalam kasus yang lebih ekstrem, kekerasan dalam rumah tangga terlibat. Oleh karena itu, pada generasi ini, penting untuk mendidik anak-anak kita tentang kesetaran gender. Kita harus memperingatkan anak-anak kita untuk menjadi versi mereka yang terbaik dalam peran apa pun yang mereka pilih.

"Feminisme bukan tentang membuat wanita lebih kuat. Wanita sudah kuat. Feminisme adalah tentang mengubah cara dunia memandang kekuatan itu." (GD Anderson)

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//