• Opini
  • Pajak Minuman Berpemanis dalam Kemasan, Apakah Perlu?

Pajak Minuman Berpemanis dalam Kemasan, Apakah Perlu?

Konsumsi berlebihan pada minuman berpemanis dalam kemasan dapat membawa dampak negatif bagi kesehatan. Salah satunya naiknya angka kasus obesitas pada kalangan muda.

Jesslyn Myrilla

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Siswi SMA berkumpul sambil makan-makan di Taman Lansia, Bandung, sepulang sekolah, 31 Mei 2022. Setiap murid sekolah diberikan kebebasan memakai seragam sekolah sesuai denga agama dan keyakinan, tanpa ada pemaksaan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

16 Januari 2023


BandungBergerak.id—Kesejahteraan masyarakat merupakan komponen penting dalam suatu negara, tak terkecuali Indonesia. Masyarakat dikatakan sejahtera apabila kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat terpenuhi. Tetapi, hal ini bertolak belakang dengan perilaku generasi muda yang gemar mengonsumsi produk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang di dalamnya terkandung laktosa, glukosa, fruktosa, dan sukrosa yang tidak boleh dikonsumsi secara berlebihan di semua rentang usia.  

Konsumsi berlebihan pada minuman berpemanis dapat membawa dampak negatif bagi kesehatan, salah satunya peningkatan kasus obesitas khususnya pada kalangan muda Indonesia. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar dari Badan Litbangkes Kemenkes, prevalensi obesitas untuk usia 18 tahun ke atas meningkat dari 14,8% di tahun 2013 menjadi 21,8% pada 2018. Peningkatan kasus obesitas dapat menurunkan tingkat kesehatan di Indonesia, yang berdampak pula pada penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Indonesia sebenarnya memiliki dasar hukum pengendalian barang yang berdampak negatif bagi masyarakat melalui cukai atau pajak. Aturan tersebut tertulis dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 pasal 2 ayat (1) huruf C yang menyatakan bahwa barang tertentu dikenakan cukai yang mempunyai sifat atau karakteristik; “Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup”(Mutaqin, 2018).

Penerapan pajak MBDK diharapkan dapat mengurangi keinginan generasi muda untuk mengonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan. Penurunan konsumsi ini dapat terjadi karena pengenaan pajak pada bahan baku atau pelengkap minuman berupa zat pemanis akan secara otomatis menaikkan harga jual produk minuman. Dengan harga jual yang tinggi tersebut maka, sesuai prinsip ekonomi klasik, semakin naik harga produk maka permintaan akan turun, berlaku pula pada permintaan terhadap minuman berpemanis kemasan yang akan menurun.

Generasi muda terlebih dahulu akan memenuhi kebutuhan yang lebih penting daripada keinginannya untuk mengkonsumi produk minuman berpemanis dalam kemassan (MBDK), terlebih dengan kenaikan harga produk. Berdasarkan hasil studi elastisitas harga permintaan yang dilakukan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mengestimasi penerapan pajak minuman berpemanis kemasan sebesar 20 persen akan menurunkan permintaan masyarakat rata-rata hingga 17,5 persen” (Elena, 2022).

Pembatasan produk minuman berpemanis dalam kemasan harus menjadi perhatian pemerintah. Data menunjukkan seiring dengan pertumbuhan jumlah populasi maka meningkat pula konsumsi produk MBDK.

Penurunan konsumsi produk minuman berpemanis dalam kemasan bandiharapkan akan berakibat pada tingkat obesitas generasi muda yang semakin menurun. Dengan naiknya harga produk MBDK diharapkan konsumen akan memilih minuman substitusi.

Barang subtitusi adalah barang pengganti. Konsumen berpandangan bahwa kedua barang itu serupa atau sebanding, sehingga memiliki lebih dari satu barang menyebabkan konsumen menginginkan lebih sedikit barang lainnya. Konsumen akan beralih pada minuman yang lebih sehat serta terjangkau, seperti air mineral, teh atau kopi tanpa pemanis, dan lain-lain.

Dengan berkurangnya konsumsi pemanis, maka kadar pemanis yang diserap tubuh akan berkurang sehingga hal ini dapat mengurangi tingkat obesitas pada generasi muda. Berdasarkan riset yang dilakukan BMJ Global Health terhadap Indonesia, apabila produk minuman berpemanis dalam kemasan dikenai pajak Rp. 4.200 per liter. Hasilnya, kasus kelebihan berat badan dan obesitas akan menurun sekitar 15.000 kasus pada orang berpenghasilan rendah dan turun 417.000 kasus untuk yang berpenghasilan tinggi (Nugroho, 2020).

Baca Juga: Aplikasi Arsitektur Hijau Berkelanjutan dalam Pembangunan Perkantoran
Membedah Faktor Penyebab Kecelakaan Kerja di Area Pertambangan
Pemanfaatan Bambu sebagai Bahan Bangunan Berkualitas

Pajak MBDK untuk Anggaran Pendidikan

Pemerintah dapat mengalokasikan dana yang diperoleh dari pajak MBDK untuk keperluan pendidikan di Indonesia. Penerimaan pajak tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan wawasan generasi muda di berbagai jenjang pendidikan salah satunya mengenai pentingnya kesehatan melalui berbagai program seperti Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), literasi gizi, Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK), serta program lainnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2022), “Total anggaran belanja Indonesia di sektor pendidikan lebih tinggi 29.728,3 miliar daripada kesehatan.” Maka, hal ini meyakinkan bahwa tingkat urgensi pendidikan lebih tinggi daripada kesehatan, tetapi keduanya saling berkaitan untuk berkontribusi meningkatkan kesejahteraan generasi muda. Dari data tersebut pun dapat disimpulkan bahwa pendidikan dan program kesehatan generasi muda perlu ditekankan kembali dengan bantuan lembaga pendidikan dan pemerintah.   

Generasi muda saat ini gemar mengonsumsi produk MBDK yang dapat memberikan dampak negatif bagi kesehatan, salah satunya obesitas atau kelebihan berat badan. Dengan tingkat kesehatan yang rendah pada suatu negara, maka tingkat kesejahteraan masyarakat pun menurun, sehingga bagaimana generasi muda Indonesia akan mencapai kesejahteraan apabila salah satu aspek atau komponen dalam kesejahteraan tidak terpenuhi. Oleh karena itu, pemerintah wajib memberikan pajak pada produk MBDK. Pemerintah seyogyanya segera merealisasikan pajak tersebut di tahun 2023.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//