• Opini
  • Kita Membutuhkan Lebih Banyak Humor untuk Meredakan Polarisasi Politik

Kita Membutuhkan Lebih Banyak Humor untuk Meredakan Polarisasi Politik

Humor bisa menangkal polarisasi politik, memungkinkan konflik dan perseteruan untuk didiskusikan dan (kalau mungkin) dimediasi.

Muhammad Andi Firmansyah

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)

Pemilu 2024 mulai terasa dengan hadirnya poster kampanye terselubung dari tokoh partai politik. Sementara KPU Jawa Barat juga tengah menyiapkan tahapan Pemilu 2024, di Bandung, 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

23 Oktober 2023


BandungBergerak.id – Polarisasi politik yang ekstrem bisa membunuh demokrasi. Ketika perbedaan suku, agama, dan ras membelah masyarakat menjadi kubu-kubu politik, toleransi dan keterbukaan bakal semakin runyam. Pola ini terlihat jelas selama Pemilihan Presiden 2019 berlangsung. Waktu itu konflik ideologi lama antara kelompok pluralis dan Islamis kembali mencuat. Ketegangan memuncak ketika KPU secara resmi mengumumkan kemenangan pasangan Jokowi-Ma’ruf.

Pendukung Prabowo-Sandiaga turun ke jalanan ibu kota untuk memprotes apa yang mereka klaim sebagai kecurangan pemilu. Aksi ini berlangsung selama kurang-lebih dua hari, dengan sedikitnya sembilan orang meninggal dunia dan 200 orang luka-luka. Kejadian ini tampaknya akan menjadi preseden buruk yang selamanya menghantui demokrasi kita, terutama perihal bagaimana jika polarisasi politik gagal dinavigasikan.

Salah Diagnosis

Jawaban arus utama atas masalah polarisasi politik adalah berdiskusi dengan orang-orang yang memiliki pandangan berbeda. Solusi ini berangkat dari asumsi bahwa polarisasi politik disebabkan oleh efek “ruang gema” yang membuat orang-orang hanya terpapar informasi yang selaras dengan pandangan mereka sendiri. Kita, menurutnya, telah menjadi terkotak-kotak dan hanya mendengar gema suara kita sendiri.

Jawaban tersebut, bagi saya, valid dan masuk akal, tapi tak akan berhasil ketika polarisasi yang ada sudah menyentuh level afektif. Pemisahan afektif ini biasanya disebabkan karena identitas politik diselaraskan dengan identitas lain, misalnya agama, ras, suku, dan bahkan gender. Konsekuensinya, orang cenderung bereaksi lebih emosional terhadap sesuatu yang mengancam identitas politik mereka.

Dalam kondisi seperti itu, berbicara dengan orang yang memiliki pandangan berbeda, atau menerima paparan informasi yang beragam, mungkin dapat meningkatkan tingkat empati seseorang. Masalahnya, terutama jika orang atau informasi tersebut mengancam identitas politiknya, sedikit sekali (kalaupun ada) yang bersedia melakukannya.

Bail dkk. (2018) menemukan bahwa paparan terhadap informasi yang berlawanan di media sosial justru malah meningkatkan polarisasi politik. Mereka menyimpulkan bahwa ini terjadi karena polarisasi dan ketidakpercayaan saling memicu satu sama lain: polarisasi membuat orang semakin sulit untuk mempercayai orang lain, dan ketidakpercayaan ini pada gilirannya membuat polarisasi semakin kuat.

Lebih lanjutnya, jawaban tersebut juga gagal menyelesaikan polarisasi politik karena salah mendiagnosis akar dari polarisasi politik itu sendiri. Para pendukung jawaban ini meyakini bahwa penyebab polarisasi politik adalah kurangnya kebenaran dan keragaman informasi sehingga masyarakat terisolasi dalam “ruang gema” dan kurang berempati terhadap lawan politik.

Namun, saya berpendapat bahwa akarnya lebih terletak pada identitas.

Dalam konteks ini, saat individu merasa identitasnya terancam, mereka cenderung bereaksi defensif, terdorong untuk mencari kelompok yang berpikiran sama, dan mengaktifkan aneka bias kognitif yang memperkuat keyakinan mereka sendiri. Sebaliknya, orang akan cenderung terbuka jika identitasnya, baik identitas individu maupun kelompok, dihormati dan dihargai.

Itulah mengapa meningkatkan kontak antar kelompok gagal mengakhiri polarisasi politik: solusi ini membuat orang merasa tak aman dan terancam, yang berarti malah berpotensi memperparah perpecahan yang ada.

Biarpun begitu, saya tak menolak keseluruhan dari jawaban itu. Seabrek penelitian memang telah membuktikan bahwa paparan terhadap informasi yang berbeda dan beragam dapat meningkatkan empati seseorang terhadap pandangan lawan politiknya. Masalah dari solusi ini terletak pada metode dan caranya; kita tak bisa ujug-ujug mendorong orang untuk duduk dan menyerap pandangan yang berbeda dengannya.

Demikianlah, Jawaban saya atas masalah ini adalah bahwa kita harus menciptakan kondisi sosial dan psikologis yang memungkinkan orang untuk mempertimbangkan sudut pandang berbeda dari kelompok luar tanpa perlu menjadi defensif. Dari sekian cara yang potensial, saya memilih humor.

Baca Juga: Rahasia Umum Korupsi dan Politik Uang di Tahun Politik
Dilema Demokrasi dan Menilik Peran Partai Politik
Perebutan Pengaruh Partai Politik Berhaluan Agama dan Nasionalis di Jawa Barat Menjelang Pemilu 2024

Kita Harus Banyak Tertawa Bersama Lawan Politik Kita

Humor bisa menangkal polarisasi politik karena humor memfokuskan kita pada persamaan, bukan perbedaan. Tertawa adalah pengalaman universal manusia yang melampaui batas-batas politik. Ketika orang-orang dari berbagai latar belakang berkumpul bersama dalam tawa, mereka mengalami rasa persatuan, sekalipun masing-masing dari mereka memiliki pandangan yang berlawanan.

Sebuah survei menemukan bahwa partisipan yang tertawa bersama orang asing mengalami peningkatan emosi positif dan pengurangan emosi negatif secara signifikan daripada mereka yang berinteraksi tanpa tawa. Dalam eksperimen yang berbeda, para peneliti menghasilkan kesimpulan yang sama: ketika partisipan terjebak dengan orang asing tapi menertawakan video yang sama, mereka melaporkan adanya keinginan untuk berafiliasi dengannya.

Dari situ bisa kita lihat bahwa ketika kita menertawakan lelucon yang sama, identitas politik (atau sebenarnya identitas apa pun) memudar dan, sebagai gantinya, kita beralih pada hal-hal yang menyamakan kita.

Selain itu, humor juga dapat membuat lawan politik kita terasa tak terlalu mengancam. Ini karena humor mengalihkan perhatian dari konfrontasi langsung, sehingga kedua belah pihak tak merasa harus saling menjatuhkan. Dalam kondisi seperti ini, kita lebih bersedia untuk mendengarkan dan merespons argumen mereka dengan lebih positif. Konsepsi ini telah lama dikonfirmasi oleh disiplin psikologi sosial: humor berfungsi sebagai “pelumas sosial”.

Tentu saja, tertawa bersama tak lantas menjadikan kita satu suara. Kendati begitu, tertawa bersama memungkinkan konflik dan perseteruan untuk didiskusikan dan (kalau mungkin) dimediasi.

Hal tersebut terjadi karena kita menjadi lebih fleksibel dan kurang fanatik saat tertawa, yang membuat kita lebih mungkin untuk mempertimbangkan opini orang lain. Humor, dalam arti lain, dapat menumbuhkan empati karena orang mulai melihat sisi kemanusiaan dari mereka yang tidak sependapat dengannya, dan empati merupakan elemen penting untuk mereduksi polarisasi politik.

Tak semua jenis humor, perlu digarisbawahi, dapat menanggulangi polarisasi politik. Humor memang dapat menyatukan orang-orang, tapi, kalau salah tempat dan sasaran, humor juga bisa menyakiti dan mengucilkan. Secara khusus, ini terjadi saat sebuah lelucon dianggap tak adil atau tak sopan, mengejek pribadi orang lain (ad hominem fallacy), rasis atau seksis, dan merendahkan martabat orang lewat membandingkannya dengan hewan.

Dengan demikian, lelucon yang vulgar atau jahat hampir pasti akan gagal untuk mereduksi (dan justru berisiko memperparah) polarisasi politik.

Atas dasar itu pula, saya menganjurkan agar humor yang kita bagikan dengan orang lain tak terlalu berfokus pada humor politik, mengingat polarisasi yang ada muncul karena tingginya tensi persaingan antar identitas politik. Dalam suasana yang penuh sinisme dan ketegangan, humor politik tak terlarang, tapi risikonya untuk tergelincir teramat tinggi.

Jika kita ingin masyarakat merasa aman dan tenang, bersaing sebagai lawan dan bukannya musuh, sebaiknya kita menjaga agar faktor pemicu ketegangan dan konflik tersebut tetap minim. Maksudnya, kita mungkin harus mengedepankan humor-humor non-politik, lelucon-lelucon yang menertawakan kekonyolan dan absurditas keseharian kita semua, atau bahkan sekadar fiksi, untuk benar-benar menciptakan rasa persatuan dan persamaan di antara kita.

Jika kita terus menekankan lelucon yang hanya mengingatkan kita akan perbedaan kita satu sama lain, humor malah bisa menjadi racun alih-alih obat sosial.

Menatap Pemilu 2024

Pada akhirnya, untuk benar-benar meredakan polarisasi politik, kita perlu membawa pola pikir solutif ke dalam interaksi kita sehari-hari dengan orang lain. Pola pikir solutif ini dapat diperkuat secara signifikan melalui humor. Jika kita bisa membuat orang tertawa bersama, sekalipun dengan cara menertawakan diri mereka masing-masing, mereka akan melihat satu sama lain sebagai manusia dan lebih dekat pada persatuan.

Saran praktis saya kepada pemilih, terutama kita yang mengafiliasikan diri dengan ideologi atau partai politik tertentu, adalah mencoba untuk benar-benar duduk dengan lawan politik kita—mungkin sambil makan malam bersama. Kendati label “kita-lawan-mereka” mungkin masih tetap ada, karena pada dasarnya itulah esensi kontes elektoral, tapi setidaknya duduk dan tertawa bersama bisa bikin kita tak terlalu mempermasalahkan perbedaan yang ada.

Tak ada seorang pun yang pernah menjadi dirinya sendiri selain ketika mereka benar-benar tertawa. Jadi, demi keberhasilan Pemilu 2024 nanti dan demokrasi kita secara keseluruhan, kita tampaknya harus banyak tertawa bersama (dan bukan kepada) lawan politik kita.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain dari Muhammad Andi Firmansyahserta artikel-artikel lain bertema politik.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//