• Kolom
  • CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #3: Koran Indonesia Raya, Pelopor Jurnalisme Investigatif

CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #3: Koran Indonesia Raya, Pelopor Jurnalisme Investigatif

Koran Indonesia Raya rutin mengkritik pemerintah. Ia menjadi suara alternatif di zamannya, di tengah arus sensor dan tekanan politik yang kian membungkam.

Kin Sanubary

Kolektor Koran dan Media Lawas

Halaman muka koran Indonesia Raya edisi 23 Juni 1957. (Foto: Kin Sanubary)

19 Juli 2025


BandungBergerak.id – Salah satu surat kabar penting dalam sejarah pers nasional adalah Harian Indonesia Raya. Pertama kali terbit pada 29 Desember 1949, dua hari setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda. Koran ini dikenal luas sebagai pelopor jurnalisme investigatif di Indonesia.

Dipimpin oleh Mochtar Lubis, Indonesia Raya tampil tajam dalam mengkritik kebijakan pemerintah, membongkar praktik korupsi, serta menyuarakan kepentingan rakyat kecil. Ia menjadi simbol perlawanan terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan dikenal sebagai "muckraking paper" yaitu media yang mengungkap sisi gelap kekuasaan dan menantang status quo.

Namun keberaniannya datang dengan risiko besar. Lima wartawannya pernah ditahan selama periode 1949-1958. Mochtar Lubis sendiri dijebloskan ke tahanan rumah, lalu dipenjara tanpa proses pengadilan selama sembilan tahun, sebuah catatan kelam tentang kebebasan pers di awal republik.

Box Redaksi Indonesia Raya yang dipimpin oleh Mochtar Lubis. (Foto: Kin Sanubary)
Box Redaksi Indonesia Raya yang dipimpin oleh Mochtar Lubis. (Foto: Kin Sanubary)

Baca Juga: CERITA DARI MEDIA CETAK LAWAS #1: Mahasiswa Indonesia, Lentera Kritis dari Bandung yang Membakar Zaman
CERITA DARI MEDIA CETAK LAWAS #2: Menelusuri Jejak Bandung Lewat Lembaran BERDIKARI

Kritik, Sensor, dan Pemberedelan

Dalam berbagai edisinya, Indonesia Raya rutin mengkritik proyek-proyek pemerintah, seperti pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, praktik manipulasi anggaran, dominasi modal asing, terutama dari Jepang, hingga gerakan mahasiswa. Ia menjadi suara alternatif di tengah arus sensor dan tekanan politik yang kian membungkam.

Puncak tekanan yang dihadapi Indonesia Raya terjadi pasca Peristiwa Malari (15 Januari 1974), saat aksi demonstrasi mahasiswa menolak dominasi modal asing yang berubah menjadi kerusuhan besar. Pemerintah merespons dengan menahan Mochtar Lubis dan mencabut Surat Izin Terbit (SIT) Indonesia Raya pada 22 Januari 1974. Surat Izin Cetak (SIC) pun turut dicabut. Sejak saat itu, Indonesia Raya tak pernah terbit lagi. Namun jejaknya tetap hidup sebagai simbol keberanian dan integritas jurnalistik.

Koran Indonesia Raya pelopor jurnalisme investigatif. (Foto: Kin Sanubary)
Koran Indonesia Raya pelopor jurnalisme investigatif. (Foto: Kin Sanubary)

Edisi 23 Juni 1957: Sekilas Isi, Sekilas Zaman

Salah satu edisi menarik untuk ditelusuri adalah Indonesia Raya terbitan 23 Juni 1957. Lembar-lembar koran ini memuat berbagai berita penting yang mencerminkan gejolak politik, militer, dan ekonomi Indonesia di masa awal kemerdekaan. Berikut sejumlah isi pemberitaan koran Indonesia Raya pada tanggal tersebut.

Bantahan Keluarga Wiranatakusumah

Rapat pada tanggal 29 Agustus 1956 bukan untuk pembentukan Negara Pasundan. Keluarga Wiranatakusumah membantah keras pemberitaan mingguan "Berita Minggu" edisi 9 Juni 1957, yang menyebut bahwa rapat di rumah mereka, Jalan Kidang Pananjung No. 5 Bandung, pada 29 Agustus 1956, bertujuan mempersiapkan proklamasi Negara Pasundan.

“Berita itu tidak benar sama sekali. Kami anggap telah mencemarkan nama baik almarhum ayah kami dan keluarga besar. Karena itu, kami memutuskan untuk membawa persoalan ini ke ranah hukum,” ujar Rachmat Wiranatakusumah kepada Indonesia Raya.

Kunjungan Presiden Soekarno ke Kalimantan

Presiden Soekarno menghadiri rapat umum dan peletakan batu pertama kota Palangka Raya. Presiden Soekarno dijadwalkan tiba di Banjarmasin pada 14 Juli 1957 dalam rangkaian kunjungan kerja ke Kalimantan, khususnya ke tanah Dayak. Keesokan harinya, rombongan akan bertolak ke Kuala Kapuas menggunakan kapal sungai. Di sana, Presiden akan menghadiri rapat umum dan malam kesenian daerah.

Tanggal 16 Juli, rombongan menuju Anjir Kelampan, Pulang Pisau, dan Pahandut (kini Palangka Raya). Hari berikutnya, 17 Juli, Presiden akan meletakkan batu pertama pembangunan ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah tersebut.

Setelah kembali ke Banjarmasin pada 18 Juli, Presiden akan melanjutkan perjalanan ke Sampit pada 19 Juli, sebelum kembali ke Jakarta keesokan harinya.

Keputusan Sidang Dewan Menteri

Dalam sidang 21 Juni 1957, Dewan Menteri menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Veteran Pejuang Kemerdekaan RI, menggantikan naskah yang diajukan kabinet sebelumnya. Rancangan peraturan tentang pengakuan status veteran juga disepakati.

Kabinet turut menyetujui perpanjangan masa kerja Panitia Negara Peninjauan Kembali PGPN-1955 dan menunjuk dr. Pirngadi sebagai Wakil Ketua I menggantikan almarhum Soerasno. Rancangan keputusan presiden tentang struktur dan kepemimpinan Kementerian Pengerahan Tenaga Rakyat juga mendapat lampu hijau.

Pemilihan DPRD Jakarta Raya Berjalan Lancar

Pemilu anggota DPRD Kotapraja Jakarta Raya berlangsung tertib, meski partisipasi masyarakat rendah. Banyak warga belum menerima surat panggilan, yang menyebabkan sejumlah TPS sepi hingga penutupan.

Meski demikian, pelaksanaan teknis dan administrasi pemungutan suara dinilai berjalan baik. Pada hari yang sama, pukul 13.00 WIB, DPRD Peralihan Kotapraja Jakarta Raya menggelar sidang istimewa memperingati Hari Lahir Jakarta.

Raja Bone Tolak Duduk di Dewan Nasional

Konsentrasi Pimpinan Pusat Perjuangan Pemuda Islam (Ko. PPI) wilayah timur mendukung sikap Andi Mappanjukki, Raja Bone, yang menolak duduk di Dewan Nasional. Meskipun belum dipastikan apakah penolakan itu sudah disampaikan secara resmi, Ko. PPI menilai keputusan tersebut tepat.

Andi Mappanjukki sebelumnya ditunjuk sebagai perwakilan daerah Sulawesi bersama Nyonya Towoliu.

Wabah Influenza Menjangkiti Lebih dari 200 Ribu Orang

Menurut Kemenkes wabah influenza di beberapa daerah sudah menurun.

Direktorat Epidemiologi dan Karantina Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa hingga 21 Juni 1957, jumlah penderita influenza mencapai 202.469 orang. Di beberapa wilayah, angka penularan mulai menurun, namun di tempat lain justru meningkat. Pemerintah terus memantau dan menangani situasi secara terkoordinasi.

Penulis memegang koran Indonesia Raya terbitan tahun 1950-an. (Foto: Kin Sanubary)
Penulis memegang koran Indonesia Raya terbitan tahun 1950-an. (Foto: Kin Sanubary)

Melintasi Waktu Lewat Lembaran Koran

Laporan-laporan seperti ini menghadirkan potret utuh tentang bagaimana negara muda Indonesia menghadapi tantangan besar: membangun ekonomi, mengelola konflik internal, dan membentuk pijakan demokrasi.

Namun lebih dari itu, membaca koran lama adalah pengalaman multisensorial: aroma kertas tua, tipografi khas era 1950-an, dan gaya bahasa jurnalistik tempo dulu menyuguhkan suasana zaman yang autentik. Bagi mereka yang tumbuh dalam tradisi membaca koran sambil menyeruput kopi pagi, sensasi ini sungguh tak tergantikan.

Bagi sejarawan, peneliti, maupun generasi muda yang ingin memahami akar demokrasi dan sejarah media di Indonesia, surat kabar seperti Indonesia Raya adalah sumber primer yang berharga. Ia mengajarkan tentang keberanian bersuara, pentingnya menjaga integritas jurnalistik, dan bagaimana berita dibentuk di tengah tekanan kekuasaan.

Menyelamatkan, menyimpan, dan membaca kembali koran-koran lama bukan sekadar nostalgia. Ia adalah bentuk nyata pelestarian memori kolektif bangsa, tentang keberanian, kebebasan, dan harapan. Di antara lipatan-lipatan kertas tua itu, sejarah tetap hidup, dan tak boleh dilupakan.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//