• Opini
  • Pengabaian Risiko Bencana di Surga Wisata Lembang

Pengabaian Risiko Bencana di Surga Wisata Lembang

Adat dan budaya lokal banyak mengajarkan pengetahuan tentang mitigasi bencana.

Anna Joestiana

Ketua Relawan Penanggulangan Bencana Lembang

Kawasan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Kawasan ini dilintasi Sesar Lembang, sebuah patahan gempa bumi, 10 kilometer dari Kota Bandung. (Foto: Iman Herdiana)

21 Juli 2025


BandungBergerak.id – Sejak zaman kolonial minat masyarakat baik lokal maupun asing untuk berwisata ke kawasan Lembang tampaknya tidak pernah berhenti. Hari ini Lembang menjadi salah satu destinasi wisata yang paling beragam sehingga dijuluki sebagai “Surga Wisata”. Namun kegiatan wisata sering kali mengabaikan risiko bencana. Tentunya pengabaian risiko bencana itu terjadi disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri (cilaka ku polah sorangan).

Beberapa contoh terjadinya pengabaian risiko bencana di kawasan Lembang yaitu penanggulangan bencana banjir di sekitar Pasar Panorama Lembang. Banjir tersebut sudah berlangsung lama, berulang setiap musim hujan, namun sampai hari ini belum ada upaya serius untuk memperbaiki drainase yang buruk. Kemudian masih banyaknya bis dan truk besar masuk melewati jalan Sersan Bajuri dan jalan Kol. Masturi, padahal sudah ada pelarangan dari pihak berwenang. Ditambah banyaknya tempat penumpukan sampah serta alih fungsi lahan. Apabila hal ini tidak segera direspons dengan serius maka tingkat risiko bencana akan menjadi semakin tinggi lalu akhirnya leuweung rusak, cai beak, runtah pabalatak, manusa balangsak.

Banyak sekali faktor penyebab terjadinya pengabaian risiko bencana, mulai dari pengetahuan, persepsi hingga kepentingan ekonomi dan politik. Namun apabila kita mengingat ungkapan leluhur, bahwa cilakamah alatan ku bodo, poho, balangah jeung lalawora. Seperti apa maksud ungkapannya, berikut penjelasannya.

Baca Juga: Memahami Mitigasi Bencana dengan Menyusuri Sesar Lembang
Berhentilah Membangun Wisata Alam Buatan di Priangan!
Krisis di Hulu, Banjir di Hilir

Mitigasi Bencana

Pertama, bodo yaitu minimnya pengetahuan terkait mitigasi bencana terutama di sekolah-sekolah. Berdasarkan data dari BPBD Kabupaten Bandung Barat (2022), setidaknya terdapat lebih dari 93 bangunan sekolah dengan perincian SD 55 sekolah, SMP 13 sekolah, SMA 23 sekolah dan SLB 2 sekolah. Dari jumlah tersebut sedikit sekali sekolah yang sudah mengintegrasikan program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) ke dalam kurikulumnya. Padahal berdasarkan Permendikbudristek Nomor 33 Tahun 2019 dan Pergub Provinsi Jawa Barat Nomor 88 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) sudah dijelaskan terkait tanggung jawab sekolah, pemda, dan pemerintah pusat untuk memitigasi dan mengurangi dampak korban bencana alam bagi warga sekolah.

Selanjutnya, poho yaitu lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi daripada pelestarian alam yang berdasarkan pengetahuan lokal. Ada beberapa bentuk pengetahuan lokal yang terkait dengan pelestarian alam dan mitigasi bencana, baik dalam bentuk mitos (Sangkuriang), ritual (Hajat Lembur, Ngalokat Cai), pantangan (pamali) atau dalam bentuk literasi yang berasal dari naskah-naskah kuno.

Salah satu contoh literasi pengetahuan lokal geostrategis Panca Wilayah yang dipraktikkan oleh Prabu Niskala Wastukancana (1348-1475). Panca Wilayah yaitu aturan tata ruang agar supaya pemanfaatannya selaras antara leuweung larangan (hutan konservasi), leuweung tutupan (hutan lindung), dan leuweung baladaheun (hutan produksi) dengan pemukiman (Jajat Supriatna, 2017).

Pengaturan tata ruang menjadi 5 wilayah tersebut, yaitu: pertama, Gunung Kaian artinya gunung harus ditanami pohon kayu agar dapat menyimpan air sehingga apabila musim kemarau tidak kesulitan air dan ketika musim hujan tidak menyebabkan banjir. Kedua, Gawir Awian artinya lereng yang curam harus ditanami pohon bambu. Akar pohon bambu bisa memperkuat tanah sehingga tidak mudah longsor. Ketiga, Darat Imahan artinya tanah yang mendatar lebih baik digunakan untuk pemukimam. Keempat, Lebak Sawahan artinya lahan yang lebih rendah, dapat dimanfaatkan untuk lahan persawahan atau pertanian. Kelima, Legok Balongan artinya daerah cekungan lebih baik dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan cadangan air, kolam perikanan, atau kolam wisata.

Namun pada kenyataannya, lahan-lahan hijau yang terdapat di gunung, di bukit, di lembah, di lereng bahkan di jalur lahar sekalipun perlahan-lahan berubah fungsi menjadi kawasan komersial.

Ungkapan ketiga, balangah yaitu minimnya partisipasi masyarakat dalam pengurangan risiko bencana. Padahal kesiapsiagaan dan keterampilan masyarakat adalah kunci utama keselamatan dalam menghadapi bencana.

Berdasarkan Dokumen Kajian Risiko Bencana Kabupaten Bandung Barat Tahun 2017-2021, diketahui indeks kesiapsiagaan desa di Kabupaten Bandung Barat berada di kelas rendah. Kelas rendah tersebut berdasarkan beberapa komponen yaitu pengetahuan kesiapsiagaan masyarakat dan partisipasi masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana. Ditambah hasil kajian batas koridor Sesar Lembang yang dihasilkan dari proses buffer garis Sesar Lembang sejauh 250 meter ke kiri dan kanan (Arif Nurrohman, 2021), diketahui bahwa Sesar Lembang melewati beberapa desa yang ada di wilayah kecamatan Lembang, yaitu Suntenjaya, Cibodas, Langensari, Pagerwangi, Kayu Ambon, Lembang, Gudangkahuripan, Cikahuripan, Wangunhardja, Wangunsari, Mekarwangi, dan Sukajaya.

Berdasarkan kedua kajian tersebut perlu segera upaya peningkatan keterlibatan masyarakat dalam program Desa Tangguh Bencana (Destana). Diketahui dari sejumlah 165 desa di kabupaten Bandung Barat, baru dibentuk 16 Destana. Di wilayah kecamatan Lembang yang terdiri dari 16 desa, baru dibentuk 4 Destana yaitu Destana Cikahuripan, Destana Sukajaya, Destana Kayuambon dan Destana Langensari (BPBD Bandung Barat, 2023).

Menyepelekan Bencana

Selanjutnya, lalawora yaitu perbuatan menganggap sepele persoalan risiko bencana bahkan cenderung melanggar aturan yang berlaku baik aturan pemerintah ataupun aturan yang berlaku di masyarakat.

Pembangunan di kawasan Lembang yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi telah memunculkan banyak kisah tentang adanya pelanggaran aturan dan tidak adanya pengendalian dalam pemanfaatan tata ruang. Hal ini dibuktikan dengan munculnya banyak pemukiman, hotel, villa, perkantoran dan destinasi wisata disepanjang zona Sesar Lembang bahkan di jalur lahar.

Salah satu instrumen yang digunakan dalam pengendalian pemanfaatan ruang di KBU adalah pengaturan pengendalian terhadap izin pemanfaatan ruang secara selektif melalui pelibatan Pemerintah Provinsi dalam proses penerbitan perizinan. Di dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengendalian Kawasan Bandung Utara Sebagai Kawasan Strategis Provinsi Jawa Barat, Pasal 54 disebutkan bahwa izin pemanfaatan ruang di KBU diterbitkan oleh Bupati/Walikota. Sebelum Bupati/Walikota menerbitkan izin pemanfaatan ruang di KBU perlu mendapat rekomendasi dari Gubernur (Yulinda Adharani, R. Adi Nurzaman, 2017)

Ditambah Perda Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2029 Pasal 291 dan Pasal 61 Ayat (1). Isinya bertujuan untuk mengendalikan penggunaan lahan di KBU termasuk zona Sesar Lembang, yaitu untuk lahan terbangun dengan syarat tertentu 20% dan untuk lahan terbuka hijau 80%.

Namun hari ini kita merasa prihatin melihat kawasan Lembang terus dieksploitasi serta jumlah pelanggaran terus meningkat. Berdasarkan catatan Walhi hingga akhir 2018, ditemukan sebanyak 4.414 pelanggaran tata ruang. Di akhir 2019, mendapati pelanggaran yang dilakukan oleh pihak pengelola tempat wisata. Kemudian berdasarkan data tahun 2021, terdapat 382.762 unit lahan terbangun di KBU. Data ini kemudian diselaraskan dengan pantauan citra satelit pada tahun 2001, sebaran permukiman selama 12 tahun jumlahnya meningkat drastis. Perubahan ini terjadi karena lemahnya penegakan hukum serta adanya penyimpangan dalam penerbitan izin pembangunan (Walhi, 2025).

Terkait banyaknya pengelola wisata di Kabupaten Bandung Barat, berdasarkan data Disbudpar tahun 2024, tercatat ada 162 destinasi wisata dengan perician di Lembang sebanyak 49, Parongpong sebanyak 10, Cisarua sebanyak 20 dan sisanya di kecamatan lain. Jumlah tersebut belum ditambah dengan pengelolaan wisata yang berbasis masyarakat. Selama tahun 2021, tercatat ada 16 Desa Wisata (Deswita) yang tersebar di Lembang, Parongpong, Cisarua, serta di selatan dan barat wilayah Kabupaten Bandung Barat. Kemudian data dari Forum Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Bandung Barat (2024), terdapat 73 Pokdarwis yang ada namun hanya 8 yang masih menerima kunjungan.

Merespons masih banyaknya pelanggaran di zona Sesar Lembang, pihak BMKG (2021) pernah mendesak agar pemerintah daerah bersikap tegas melarang aktivitas di sepanjang jalur sesar. Sikap tegas itu harus tertuang dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) Bandung Barat.

Apabila keempat penyebab terjadinya pengabaian risiko bencana tersebut dibiarkan maka akan berdampak kepada tingginya angka risiko bencana serta penurunan jumlah wisatawan di kawasan Lembang.

Ada sebuah amanat leluhur yang dapat kita renungkan dan dipahami bersama, yaitu “hirup kudu saluyu jeung alam”. Nilai edukasi dari amanat ini yaitu bahwa kita harus mengenal tempat di mana kita tinggal, merawat lingkungan sekitarnya, belajar adat dan budaya lokal yang terkait dengan mitigasi bencana, serta memperkuat Pentahelix.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//