• Opini
  • Revisi KUHAP, Tameng Rakyat yang Justru Dijadikan Benteng Aparat

Revisi KUHAP, Tameng Rakyat yang Justru Dijadikan Benteng Aparat

Ini berbahaya sebab bisa saja sewaktu-waktu kamu dituduh melakukan tindak pidana, cukup dengan subjektivitas polisi.

Heri Pramono

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung

Revisi KUHAP yang dilakukan serampangan membuka lebar pintu bagi aparat untuk merenggut kebebasan sipil. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

21 Juli 2025


BandungBergerak - Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saat ini ramai diperbincangkan karena DPR RI selaku pembuat undang-undang tiba-tiba melakukan akselerasi pembahasan. Bayangkan, sebanyak 1.676 DIM rampung dibahas hanya dalam waktu dua hari! Lagi-lagi tanpa partisipasi bermakna dari masyarakat walaupun DPR mengklaim “kami sudah undang dan melakukan pembahasan KUHAP ini secara terbuka”.

Saat ini hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981. Sudah lebih dari 40 tahun usianya. Tentu perlu ada penyesuaian untuk muatan-muatan yang sudah tidak relevan, khususnya dalam hal prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).

Secara historis, kita dapat melihat bahwa KUHAP yang disahkan pada 1981 ini memberikan lebih banyak pengakuan terhadap hak-hak tersangka, terdakwa, dan terpidana dibandingkan peraturan yang sebelumnya berlaku yakni Het Herzeine Indonesisch Reglement (HIR), meskipun membandingkan keduanya tidak seimbang karena HIR dibentuk pada masa kolonial atau penjajahan yang lumrah dengan pelanggaran HAM. Bagaimanapun, kehadiran KUHAP ketika itu merupakan pembaharuan hukum yang dilakukan oleh negara. Kewenangan penegakan hukum pidana oleh pihak aparat, diatur dengan tetap memperhatikan harkat dan martabat kemanusiaan.

Dalam praktiknya, perlindungan hak yang dijamin oleh KUHAP masih terlampau sering diabaikan. Peraturan formal ini membuka lebar peluang kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menunjukkan sedikitnya 95 kasus kriminalisasi terjadi sepanjang 2019-2024. Korbannya masyarakat sipil dengan entitas petani, buruh, jurnalis, akademisi, dan mahasiswa. Dengan RKUHAP terbaru yang dibahas tergesa tahun ini, kondisi ini dikhawatirkan bakal semakin memburuk.

Baca Juga: YLBHI dan LBH Seluruh Indonesia: Revisi KUHAP Dibahas Kilat, tidak Sejalan dengan Konstitusi dan Penegakan HAM
Koalisi Masyarakat Sipil Menggalang Petisi Penolakan Revisi KUHAP yang Disusun Ugal-ugalan

Keleluasaan Hanya untuk Aparat

YLBHI bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menemukan beberapa persoalan krusial yang dekat dengan kehidupan sehari-hari dalam RKUHP. Jadi, permasalahan ini bukan hanya urusan orang hukum, tapi masyarakat sipil secara luas pun dapat terdampak langsung.

Pada pasal 87 dan 90 ayat (2) mengamanatkan bahwa polisi bisa melakukan penangkapan sampai dengan 7 hari dalam hal tertentu. Ini tentunya berbahaya karena ketika setiap orang yang disangkakan melakukan perbuatan yang sebenarnya tidak masuk perbuatan pidana akan tiba-tiba ditangkap dalam jangka yang lama. Dalam KUHAP yang dulu, kamu hanya boleh ditahan 1x24 jam dan akan dibebaskan tidak terbukti bersalah.

Pada pasal 93 Revisi KUHAP disebutkan bahwa aparat bisa melakukan penahanan kapan saja tanpa izin pengadilan dengan dalih mendesak. Ini berbahaya sebab bisa saja sewaktu-waktu kamu dituduh melakukan tindak pidana, cukup dengan subjektivitas polisi.

Pada pasal 7 ayat (5), pasal 87 ayat (4), dan pasal 92 (4) disebutkan bahwa TNI bisa jadi penyidik tindak pidana. Ini berbahaya karena bisa saja kamu lagi asyik diskusi, tiba-tiba Babinsa datang menangkap kamu atas dasar subjektivitas.

Pada pasal 105 jo pasal 106 Revisi KUHAP melegitimasi penggeledahan sewenang-wenang. Ini berbahaya karena bisa saja secara tiba-tiba polisi mendatangimu dan memaksa ingin menggeledah handphone meskipun tanpa izin dari pengadilan tanpa memperhatikan batas privasi yang kamu punya.

Pasal 112 ayat (3) memuat terkait dengan penyitaan bisa dilakukan tanpa izin pengadilan jika dalam keadaan mendesak. Maksud dari “mendesak” ini justru diserahkan kepada penilaian subjektif penyidik.

Begitu juga dengan penyadapan. Pasal 124 menyebut bahwa Penyidik dapat menyadap tanpa izin pengadilan dengan alasan mendesak, yang salah satu indikatornya adalah situasi berdasarkan penilaian lagi-lagi subjektif Penyidik.

Minim Perlindungan untuk Warga

Selain pasal-pasal yang memberi kewenangan berlebih pada aparat, Revisi KUHAP juga memuat beberapa pasal yang justru menihilkan prinsip HAM. Pasal 23 RKUHAP mengindikasikan pengaduan atau laporan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti berpotensi terus menumpuk karena tidak tersedia mekanisme penyelesaian yang jelas dan independen. Jika Penyidik mengabaikan laporan, masyarakat hanya diarahkan untuk mengadu kepada atasan Penyidik atau pejabat pengawas penyidikan. Itu pun baru bisa dilakukan setelah 14 hari. Mekanisme ini sepenuhnya berada di lingkup internal kepolisian, yang selama ini terbukti gagal menangani pelanggaran, terutama jika pelakunya adalah anggota kepolisian itu sendiri.

Pasal ini rentan memicu penanganan kasus yang berlarut (undue delay), yang umumnya terjadi pada kasus-kasus masyarakat kecil, miskin, dan kelompok minoritas. Apalagi, Revisi KUHAP ini sama sekali tidak mengatur mekanisme keberatan yang dapat dilakukan korban tindak pidana jika mengalami penundaan penanganan kasus yang tidak berasalan.

Selain itu Revisi KUHAP juga menghapus hak untuk memilih kuasa hukum secara mandiri, sebagaimana termuat dalam Pasal 145 ayat (1). Jika tersangka tidak mampu atau tidak punya kuasa hukum, justru Penyidik yang akan menunjuk pengacara. Ini memberikan ruang pada praktik pendampingan hukum yang hanya dijadikan sebagai pelengkap, bukan sebagai pembelaan untuk kepentingan hukum tersangka.

Kondisi diperburuk dengan hadirnya Pasal 146 ayat (4) dan (5). Tersangka atau terdakwa tidak akan didampingi oleh seorang advokat apabila menyatakan menolak didampingi, dibuktikan dengan berita acara yang dibuat pejabat yang berwenang sesuai tahapan pemeriksaan. Rumusan pasal ini justru melegitimasi modus pelanggaran hak tersangka atau terdakwa yang selama ini sering terjadi, seperti permintaan atau paksaaan ke tersangka atau terdakwa untuk menandatangani Surat Pernyataan dan Berita Acara Kesediaan Diperiksa tanpa didampingi kuasa hukum.

Bukan hanya berpotensi menghadirkan dampak buruk dalam perlindungan HAM warga negara, proses pembahasan Revisi KUHAP juga minim akan partisipasi publik yang bermakna. DPR dan Pemerintah tidak mendengarkan pendapat dan masukan dari kelompok paling terdampak seperti korban penyiksaan, korban salah tangkap, dan korban hasil tindak pidana yang tidak adil.

Betul bahwa KUHAP perlu direvisi. Ada keterbutuhan untuk itu, mengingat KUHAP merupakan peraturan penting yang berkaitan dengan pengaturan proses penegakan hukum . Namun jangan lupa, KUHAP juga menjadi dasar hukum negara untuk merampas kemerdekaan warga lewat penangkapan dan penahanan. Oleh karena itu, pasal-pasal yang diatur harus detail agar tidak terjadi tindakan sewenang-wenang oleh aparat yang berdampak kepada pelanggaran hak asasi manusia.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//