• Berita
  • SABTU SORE #26: Diskusi Membahas Dampak KUHAP terhadap Kehdupan Mayarakat di Perpustakaan Bunga di Tembok

SABTU SORE #26: Diskusi Membahas Dampak KUHAP terhadap Kehdupan Mayarakat di Perpustakaan Bunga di Tembok

Penyusunan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memicu kekhawatiran publik karena berdampak pada kehidupan masyarakat terkait hukum.

Diskusi bertajuk RKUHAP dan Ancaman Pembungkaman Ruang Sipil, Dari Cacat Proses sampai Substansi yang Berbahaya di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Jumat, 18 Juli 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Penulis Ryan D.Afriliyana 21 Juli 2025


BandungBergerak.id – Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memang penting direvisi. Maklum, KUHAP yang berlaku saat ini masih warisan Belanda. Koalisi masyarakat sipil mendesak agar revisi ini mampu memberikan rasa keadilan bagi rakyat, mengingat RKUHAP erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Namun, revisi yang dikebut pemerintah dan DPR cenderung dilakukan tertutup dari partisipasi masyarakat.

Iftitahsari dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang tergabung dengan Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) menangatakan, KUHAP yang merupakan sistem dari peradilan pidana disahkan 40 tahun lalu (1981). Maka, revisi KUHAP mestinya dilakukan dengan komitmen reformasi hukum dan penguatan hak-hak warga negara, termasuk menerapkan check and balances atau akuntabilitas dari aparat penegak hukum.

“Tapi sayangnya itu juga enggak banyak berubah gitu," kata Iftitahsari, dalam diskusi bertajuk “RKUHAP dan Ancaman Pembungkaman Ruang Sipil: Dari Cacat Proses sampai Substansi yang Berbahaya” di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Jumat, 18 Juli 2025.

Diskusi ini menyoriti bahwa pembahasan RKUHAP dikebut sejak awal 2025. Perumusannya dilakukan terburu-buru sehingga menuai banyak protes dan kritikan dari berbagai elemen masyarakat, salah satunya dari Koalisi Masyarakat Sipil (KMS).

Saat pembahasan 9-10 Juli, pemerintah dan DPR RI mengklaim sudah melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). KMS menilai pembahasannya tidak sistematis dan substansial.

"Awalnya kan kita melihat DPR aktif banget nih tapi belakangan ternyata oh itu kayak cuma jadi formalitas aja ternyata," ujar Iftitahsari.

Pada akhirnya, KMS yang semula mendorong pembaruan KUHAP kini menaikan isu tolak RKUHAP. KMS menginginkan rumusan dan draf RKUHAP diubah karena banyak mencerminkan pemenuhan hak-hak dan kepentingan rakyat.

"Bahkan kita enggak tahu justifikasinya orang-orang yang diundang di RDPU. Itu siapa dan korban tangkap, korban pidana itu juga enggak didengar gitu, enggak diberi ruang," tuturnya.

Diskusi bertajuk RKUHAP dan Ancaman Pembungkaman Ruang Sipil, Dari Cacat Proses sampai Substansi yang Berbahaya di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Jumat, 18 Juli 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Diskusi bertajuk RKUHAP dan Ancaman Pembungkaman Ruang Sipil, Dari Cacat Proses sampai Substansi yang Berbahaya di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Jumat, 18 Juli 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Pasal-pasal Bermasalah, Meresahkan

ICJR menyoroti beberapa pasal bermasalah dalam RKUHAP yang berpotensi melemahkan penegakan hukum dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Hal Asasi Manusia. Contoh, Pasal 16 RKUHAP tentang penyelidikan yang memberikan kewenangan kepada penyelidik untuk melakukan penyamaran dan pembelian terselubung yang seharusnya menjadi kewenagan penyidikan,

Tanpa batasan yang jelas, ICJR berpendapat bahwa kewenangan tersebut berpotensi disalahgunakan dan menjadi "pasal jebakan", terutama dalam kasus narkotika. Kekhawatiran muncul karena tidak ada batasan yang jelas mengenai jenis tindak pidana yang bisa dikenakan kewenangan ini, berbeda dengan UU Narkotika yang membatasinya pada tindak pidana terorganisasi. 

Lalu, pasal 90 ayat (2) tentang penangkapan, yang memperbolehkan penangkapan lebih dari 1x24 jam dalam keadaan tertentu. Menurut ICJR, hal itu berpotensi disalahgunakan untuk penangkapan sewenang-wenang.

Frasa "keadaan tertentu" dapat menjadi celah bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penangkapan tanpa dasar yang jelas. "Pelaku yang bisa jadi juga dijadikan bukan benar-benar kita salah ya, tapi kita entah di frame model apa dikriminalisasi itu juga bisa kejadian gitu," jelas Iftitahsari.

Ia berharap, masyarakat juga menaruh perhatian pada revisi KUHP. Masyarakat diharapkan mengetahui hak-hak saat berpekara.

"Enggak semudah itu sebetulnya mereka untuk menangkap kita gitu. Harus ada clear dulu tindak pidananya apa, buktinya apa dulu yang mereka apa tujukan ke kita, kemudian sudah cukup atau belum," tuturnya.

Keresahan serupa dirasakan Deti Sopandi dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Jawa Barat. PBHI memandang, pasal-pasal RKUHAP dapat melanggengkan pelanggaran HAM.

Deti membeberkan, sebelum pembahasan RKUHAP saja pihaknya banyak mendapat aduan atas tindakan sewenang-wenang, penyiksaan, pemerasan, dan penghalangan bantuan hukum. Ia khawatir, disahkannya KUHAP yang baru akan menjadi legitimasi bagi praktik-praktik pelanggaran oleh aparat hukum.

"Selain itu, banyak juga di kasus atau di isu-isu perampasan lahan itu terjadi penangkapan dan penyiksaan," kata Deti.

Deti menyorot pasal 5 huruf d yang mengatur tentang wewenang penyelidik dalam melakukan penyelidikan. Pasal ini menyatakan bahwa penyelidik berwenang untuk melakukan pengamatan, pengintaian, atau tindakan lain yang relevan untuk mengungkap suatu tindak pidana.

Ia menilai, ketentuan pasal ini membuka ruang terhadap tindakan yang luas dan dapat dimanfaatkan penyelidik untuk dapat melakukan berbagai tindakan. Ada pun pasal 93 terkait kewenangan penangkapan dan penahanan, PBHI menilai adanya potensi penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum.

PBHI mengungkap sejumlah pelanggaran terhadap hak-hak warga nergara yang terjadi pada saat Mayday 2019, Aksi TolakRKUHP, Omnibuslaw, Reformasi Dikorupsi, Penggusuran Tamansari, Dago Elos, dan Sukahaji dikarenakan rendahnya kapasitas atau pemahaman pemangku kebijakan dan penegak hukum terhadap nilai-nilai HAM.

"Kapasitas atau pemahaman pemangku kebijakan dan penegak hukum terhadap nilai-nilai HAM, keadilan, dan kepastian, tidak menjadi tujuan utama," ujar Deti.

Deti juga menangkap upaya menggunakan hukum sebagai alat kepentingan dalam revisi KUHAP, bahwa hukum sebagai alat melanggengkan kekuasaan, bukan untuk menegakkan keadilan dan memberi kepastian hukum. "Hukum dalam konteks demokrasi diperuntukkan sebagai alat pelindung, bukan penindas rakyat," tuturnya.

Baca Juga: KUHP Berpotensi Memicu Kriminalisasi, Mengancam Demokrasi, dan Kemerdekaan Pers
KUHP Baru Wajah Kemunduran Demokrasi

Hukum, Kepentingan, dan Kekuasaan

Hukum dipandang sebagai instrumen normatif yang menjamin keadilan, ketertiban, dan kesetaraan dalam kehidupan bermasyarakat (Rais, 2022). Dalam kerangka positivistik, hukum merupakan sistem aturan rasional dan netral yang terlepas dari kepentingan subjektif kekuasaan politik (Jurnal Ilmu Sosial bertajuk "Hukum Sebagai Alat Kekuasaan: Analisis Sosiologis Terhadap Kebijakan yang Tidak Netral").

Konsep "hukum sebagai alat kekuasaan" mengemuka sebagai respons terhadap realitas bahwa hukum kerap kali digunakan bukan untuk melindung kepentingan umum, melainkan untuk menjaga dominasi kelompok tertentu (Safriani, 2017).

Namun, menurut Aprita (2021) berdasarkan kajian para pemikir seperti Max Weber, Karl Marx, dan Pierre Bourdieu, hukum dipahami sebagai arena pertarungan kepentingan secara simbolik dan struktural. Perspektif ini menyoroti bagaimana hukum dapat berfungsi sebagai mekanisme hegemonik, bukan sebagai sarana emansipasi sosial.

Hukum tidak diciptakan di ruang hampa, melainkan lahir dalam bingkai sosial, ekonomi, dan politik yang sarat kepentingan. Jadi regulasi hukum sering kali melanggengkan relasi kuasa yang timpang di masyarakat.

Semua Bisa Kena

Bilal Dewansyah, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran mempertanyakan untuk siapa hukum diciptakan. Dalam konsep demokrasi, hukum untuk melindungi bukan untuk menindas. Konsep demokrasi menyatakan kedaulatan ada di tangan rakyat.

"Rakyat itu sebenarnya secara subjek siapa sih? Warga negara kan. Kan kalau kita bicara rakyat, people itu kan dalam teori kontrak sosial yang lebih abstrak itu kan rakyat atau individu ini secara kolektif ya. Tapi setiap secara individual kita adalah juga hukum ya yang ditetapkan secara ideal," jelas Bilal. 

Secara kolektif, individu disebut sebagai rakyat. Hukum yang dibuat seharusnya tidak boleh untuk menindas rakyat, justru harus melindungi rakyat. Makanya konsep negara hukum lebih tebal dan menuju ke persoalan perlindungan hak-hak fundamental warga negara atau manusia pada umumnya.

"Kalau ada hukum tapi menindas, berarti kita sebenarnya bukan negara hukum sesungguhnya. Kok ada negara punya hukum, punya konstitusi, tapi kok menindas, otoriter gitu," kata Bilal.

Bilal mengatakan, kekurangan dan kesalahan dalam RKUHAP bersifat substansial, di mana hak-hak warga negara dilanggar. "Banyak hak-hak kita yang dirampas. Kita punya banyak sekali deretan kategorisasi HAM di UUD. Apa misalnya contohnya? Hak privasi. Ya kan? Di situlah hak kita diambil," tegas Bilal.

Bilal menegaskan, seharusnya kategorisasi itu tidak hanya dibatasi oleh undang-undang, tapi harus sejalan dengan pembatasan atau nilai-nilai dalam masyarakat demokratis.

Selain itu, proses RKUHAP yang ugal-ugalan juga merupakan persoalan utama. Fenomena menyusun regulasi tanpa partisipasi ini terutama terjadi sejak Omnibus Law (UU Cipta Kerja). Partisipasi bermakna sendiri menyatakan bahwa dalam menentukan undang-undang, masyarakat mempunyai hak untuk didengar, dipertimbangkan, dan diberi masukan.

"Yang harus dilakukan oleh pengambil kebijakan, DPR dalam hal ini adalah kebijakan ini mau diapain? Sorry, usulan ini mau diapain? Setuju apa enggak? Kalau Enggak setuju kenapa? Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan penjelasan, right to be explained," kata Bilal.

Ia juga menyorot transparansi pembahasan RKUHAP. Artinya, semua masyarakat seharusnya bisa mengakses dokumen peraturan-peraturan dari tahap penyusunan sampai akan pengesahan. Namun, dokumen RKUHP sulit diakses masyarakat.

"Ini penting sekali, saya pikir kita siapa pun karena saya lihat ya semua bakal kena sih. Bisa kena gitu. Kalau ini jadi, mungkin siap-siap sajalah," tutupnya.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//