Membaca Buku di Jalanan Bandung, Membuka Ruang Belajar tak Berpagar
Perpustakaan Jalanan Bandung menghadirkan akses literasi yang terbuka bagi semua kalangan. Menghapus sekat-sekat yang biasa ada di perpustakaan pelat merah.
Penulis Insan Radhiyan Nurrahim, 23 Juli 2025
BandungBergerak.id - Di sudut Taman Dago Cikapayang saat matahari mulai turun dan lampu-lampu jalan sudah menyala, sekelompok remaja duduk melingkar. Beberapa membuka buku, sebagian lainnya hanya duduk bercakap dan tertawa. Tak ada meja atau kursi yang terpampang, tak ada dinding menghalang. Di sinilah, Perpustakaan Jalanan (Perjal) Bandung hidup dalam keheningan membaca dan mengobrol di tengah keriuhan kota.
“Perjal ini bukan organisasi, bukan juga kolektif dari sekelompok orang. Perjal lahir dari fenomena sosial di Kota Bandung dan akan terus seperti itu, siapa pun boleh datang selama punya semangat yang sama, dan siapa pun boleh membuat hal yang serupa seperti perjal bandung selama tujuannya sama,” ucap Jim, salah satu pergiat perjal, Sabtu, 19 Juli 2025.
Perpustakaan jalanan hadir untuk menantang anggapan lama bahwa buku hanya layak berada di ruang-ruang formal seperti sekolah, tapi pada kenyataannya jalanan pun bisa menjadi ruang belajar yang setara. Hal ini adalah bentuk nyata dari sikap mereka terhadap fenomena sosial yang terjadi.

Perjal berupaya menghadirkan akses literasi yang terbuka bagi semua kalangan, terutama bagi mereka dari kelompok menengah ke bawah. Tidak seperti perpustakaan formal yang menuntut administrasi atau keanggotaan, perpustakaan jalanan justru menghapus sekat-sekat itu.
Di sini, siapa saja bisa meminjam buku tanpa syarat, dan yang lebih penting tidak perlu merasa terasingkan satu sama lain antarpembaca. Buku tidak dipandang sekadar alat untuk menjadi pintar atau simbol moralitas saja, melainkan sebagai medium untuk berkumpul, berdiskusi, dan bertukar gagasan.
Perputsakaan Jalanan Bandung di Mata Anak SMA
Azril, Bohim, dan Aden kini baru saja duduk di bangku SMA, mereka mengenal Perjal dari sosial media instagram, teman tongkrongan, dan acara-acara di Kota Bandung. Mereka tak hanya datang untuk sebuah buku, tapi lebih dari itu, mereka ikut hadir untuk merasa diterima dan ekspresi anak remaja.
“Pengalaman pertama ke Perjal tuh seru banget, kita bisa ngobrol bareng aa aa di sini. Habis baca buku, kadang suka diskusi bareng, suka ngopi bareng juga,” ucap Azril, salah satu anak SMA yang gemar ke
Di Perpustakaan Jalanan, lembar demi lembar buku yang dibaca para remaja tak hanya berisi pelajaran sekolah semata. Mereka menyelami zine-zine yang liar dan jujur, menjelajahi wacana politik yang menggugah kesadaran, menikmati sajak-sajak sastra yang meneduhkan, hingga larut dalam kisah-kisah sejarah yang tak terekam dalam pelajaran di kelas.

Bahkan, tak jarang mereka menemukan buku-buku langka yang nyaris mustahil dijumpai di rak-rak perpustakaan sekolah. Di ruang ini, buku hadir bukan sekadar bacaan, melainkan pintu menuju dunia yang lebih luas dan beragam, yang sering kali tertutup dalam sistem pendidikan yang kaku dan seragam.
“Kalau buku di sekolah tuh kaku ya, lebih ke formal, dan terpaku sama kurikulum aja, kalau di perjal yang bikin aku seneng tuh lebih luas banget tema tema bukunya,” ujar Azril sambil tersenyum.
Membuka Ruang Berpikir
Di tengah hiruk-pikuk kota yang kian bising oleh kesibukan dan keterasingan, tempat ini justru terbuka di mana anak-anak muda menemukan kehangatan, bukan dari tembok institusi melainkan dari tumpukan buku yang terbuka untuk siapa saja.
Perpustakaan Jalanan Bandung menjadi tempat di mana remaja tak hanya datang untuk membaca, tetapi juga untuk merasa hadir, didengar, dan diterima. Di sana, jalanan tak sekadar menjadi lintasan kendaraan, melainkan berubah menjadi ruang tumbuh yang merawat kebersamaan, membicarakan keresahan, dan membangun harapan dalam bentuk yang paling sederhana seperti duduk bersama, membaca, dan saling menjaga.

Azril mengenang kedekatannya dengan komunitas Perjal sejak masih duduk di bangku SMP. Ia kerap diajak ikut serta dalam berbagai kegiatan, seperti aksi Dago Melawan, di mana ia bertemu dan nongkrong bersama anggota komunitas. Menurutnya, perhatian dan solidaritas dari mereka sangat terasa.
Salah satu momen yang membekas baginya adalah saat ikut mengawal putusan Pengadilan Negeri Bandung terkait konflik Dago Elos melawan mafia tanah—setelah acara, ia selalu diberi makan oleh teman-teman Perjal sebagai bentuk kepedulian.
“Saya suka diajak jalan bareng walau saya cuma anak SMP saat itu,” kenang Azril.
Kini, Perpustakaan Jalanan Bandung menjadi ruang hidup yang menumbuhkan kesadaran dan membentuk keberanian untuk berpikir bebas. Bagi remaja seperti Azril, Aden, dan Bohim Perjal menjadi tempat pulang yang tak henti ia kenalkan kepada teman-teman sebayanya; bukan karena kewajiban tapi karena di sanalah ia menemukan makna belajar yang sesungguhnya.
Di zaman yang makin dipenuhi oleh hubungan yang bersifat transaksional saja, Perjal hadir sebagai oase ruang belajar yang tak meminta bayaran, tak menuntut syarat, dan tak mengenal dinding dan batas tertentu. Di sini kebebasan tumbuh perlahan, dibisikkan dari halaman-halaman buku ke dalam diskusi kritis, dari obrolan berujung pada tindakan.
Baca Juga: Pasang Surut Gerakan Literasi di Bandung, dari Rumah Baca Buku Sunda hingga Pohon Buku
Kesenian dan Literasi untuk Kota Cimahi

Lahir dan Menjamur
Embrio perpustakaan jalanan yang mengusung semangat komunitas dan independen memiliki sejarah panjang. Zendy Titis Dwi Andini dalam skripsi “Gerakan Literasi Perpustakaan Komunitas (Studi Fenomenologi Tentang Konstruksi Makna Literasi Bagi Para Pegiat Literasi Perpustakaan Jalanan Di Kota Malang” (Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, 2019), menelaah fenomena literasi independen sebagai berikut:
Perpustakaan di Indonesia memiliki tanggung jawab penting sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, yakni mendukung dan memasyarakatkan gerakan nasional gemar membaca melalui penyediaan karya tulis, karya cetak, dan karya rekam. Dalam Pasal 48 ayat 4, disebutkan pula bahwa pembudayaan kegemaran membaca dilakukan melalui penyediaan sarana perpustakaan di tempat-tempat umum yang mudah dijangkau, murah, dan bermutu.
Namun dalam praktiknya, muncul kritik atas lambatnya perkembangan perpustakaan pemerintah di Indonesia. Puspitasari (2015:10) berpendapat bahwa peran perpustakaan tidak didukung oleh citra perpustakaan yang baik di mata masyarakat. Kritik ini diperkuat oleh Pendit (2008:25), yang menyatakan bahwa stigma masyarakat tentang "pelat merah" perpustakaan yang dinilai lamban dan tidak responsif menjadi hal yang menonjol dalam dunia kepustakawanan di Indonesia.

Stereotip terhadap perpustakaan umum tersebut memicu lahirnya inisiatif masyarakat dalam bentuk gerakan literasi yang jauh dari kawasan formal dan birokratis. Sebagaimana disebut dalam Pasal 55 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
Didorong oleh kritik dan semangat partisipasi tersebut, muncul gerakan sosial berbasis masyarakat dalam bentuk gerakan perpustakaan komunitas. Pengelolaan perpustakaan komunitas sangat beragam, mulai dari program berbasis buku seperti baca, tulis, hitung, hingga program nonbuku seperti kegiatan seni budaya dan teknologi informasi (Ayubby, 2018:5). Perpustakaan komunitas dikelola oleh individu-individu dengan kesamaan tujuan. Ide-ide para pegiat literasi turut membentuk metode pengelolaan yang kreatif dan edukatif.
Perjalanan perpustakaan komunitas di Indonesia telah berlangsung lama. Tahun 1970-an menjadi awal munculnya bentuk awal perpustakaan komunitas yang kala itu masih berupa penyewaan komik dan novel. Pada dekade 1980-an, muncul perpustakaan komunitas nonkomersial (Septiana, 2007:4), dan sejak tahun 2000, pertumbuhannya semakin meluas di berbagai wilayah Indonesia.
Menurut Haklev (2010:16), kebangkitan perpustakaan komunitas yang dijalankan secara independen dimulai pada tahun 2001, setelah runtuhnya rezim Orde Baru. Reformasi menjadi pembuka bagi kebebasan berekspresi yang turut mendukung tumbuhnya perpustakaan komunitas seiring perkembangan demokrasi.
Gerakan ini dipelopori oleh komunitas punk di Bandung melalui komunitas literer. Haklev (2010:17) mencatat bahwa gerakan literasi yang digerakkan oleh kalangan seniman dan komunitas independen di Bandung memberi inspirasi bagi gerakan serupa di berbagai wilayah Indonesia. Publikasi media turut membantu penyebaran fenomena ini, termasuk distribusi musik independen yang dipelopori oleh komunitas punk (Handayani dalam Haklev, 2010:19).
Sebagai gerakan yang cukup masif, perpustakaan alternatif berkembang tak hanya di kota-kota besar seperti Yogyakarta, Jakarta, Bandar Lampung, dan Bekasi, tapi juga di daerah seperti Subang, Purwakarta, Karawang, Ciamis, Sukabumi, Tasikmalaya, Rembang, dan Ponorogo (Kompas.com dalam Septiana, 2007:5).
Salah satu bentuk perpustakaan komunitas yang kini mewarnai gerakan literasi adalah perpustakaan jalanan. Seperti halnya Taman Baca Masyarakat (TBM), perpustakaan jalanan dilahirkan dari kepedulian sekelompok anak muda terhadap rendahnya literasi masyarakat. Saputra, Damayani, dan Rahman (2017:153) menyatakan, “Perpustakaan jalanan muncul sebagai istilah tempat yang menyediakan buku-buku bacaan yang berlokasi di pinggir jalan.”

Perpustakaan jalanan hadir di ruang-ruang publik seperti taman, alun-alun, kedai kopi, car free day (CFD), pinggir jalan, atau tempat strategis lainnya yang mudah dijangkau masyarakat. Berbeda dari perpustakaan keliling yang menggunakan kendaraan, perpustakaan jalanan biasanya menata koleksinya di atas alas seperti terpal, memudahkan mobilisasi dan kedekatan dengan masyarakat.
Keberadaan perpustakaan jalanan mulai mencuat di media massa setelah peristiwa pembubaran kegiatan perpustakaan jalanan oleh tentara di Bandung pada 20 Agustus 2016, yang saat itu diduga sebagai geng motor (Tempo.co, 2016).
Peristiwa ini memicu perhatian publik. Saputra, Damayani, dan Rahman (2017:153) menyebut bahwa akibat ramainya pemberitaan, banyak perpustakaan jalanan baru bermunculan di akhir 2016 di berbagai wilayah Indonesia seperti Aceh, Makassar, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Malang, Cirebon, Kediri, serta daerah lainnya, meskipun beberapa telah ada sebelumnya. Perpustakaan Jalanan Bandung, misalnya, telah berdiri sejak tahun 2010.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB