Tukar Guling Bau Busuk ke Asap Beracun, Potret Pengelolaan Sampah di Bandung Kulon dengan Insinerator
Gunung sampah di TPS Gempol Sari, Bandung Kulon untuk sementara teratasi dengan insinerator Motah. Masalah serius kemudian muncul: asap yang menyerang pernapasan.
Penulis Olivia A. Margareth26 Juli 2025
BandungBergerak.id - Pembersihan gunungan sampah di Tempat Penampungan Sementara (TPS) Gempol Sari, Bandung Kulon, Kota Bandung yang dilakukan pemerintah setelah viral di media sosial, awalnya terasa seperti kemenangan bagi warga. Napas lega akhirnya bisa dihirup setelah berbulan-bulan tercekik bau busuk. Namun, di balik solusi instan itu, penderitaan tidak hilang, ia hanya berpindah alamat.
Bau busuk di Gempol Sari kini telah ditukar dengan kepulan asap di sekitar Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Motah, tempat warga lain harus menanggung risiko dari kebijakan yang tergesa-gesa. Pemusnahan sampah dengan cara dibakar insinerator di TPST Motah membuka masalah serius: polusi udara yang mengancam kesehatan warga dan lingkungan hidup.
“Eungap asli,” keluh Siti, 39 tahun, warga yang tinggal puluhan meter saja jaraknya dari TPST Motah.
Warga sudah menyuarakan keluhan ini ke pihak pemerintah, tetapi tidak mendapatkan respons semestinya.
Akar Masalah di Kaki Gunung Sampah
Krisis sampah di TPS Gempol Sari meledak di ruang publik pada 12 Juni 2025, setelah sebuah video diunggah di platform Instagram. Rekaman tersebut menunjukkan tumpukan sampah yang telah menggunung dan meluber, disertai narasi yang mengklaim bahwa sampah di lokasi tersebut sudah tidak diangkut selama dua bulan. Laporan ini dengan cepat menyebar, menjadi perbincangan luas di media sosial dan mengungkap skala penumpukan sampah yang telah berlangsung lama di sudut Kecamatan Bandung Kulon itu.
Ditemui dua hari setelah kabar viral tersebut, 14 Juni 2025, Budiwan, 48 tahun, seorang pengawas Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung yang bertugas di sana, menyebut bahwa klaim sampah tidak diangkut tidak sepenuhnya akurat. Proses pengangkutan terus berjalan tapi dalam volume yang minim sehingga tidak mampu mengimbangi gelontoran sampah yang masuk setiap hari.
“Di sini seolah enggak habis-habis (sampahnya). Padahal tetap diangkut,” ujarnya.
Budiwan kemudian menjelaskan ketidakseimbangan antara volume sampah yang masuk dengan kapasitas angkut yang diizinkan keluar. Menurut data yang ia miliki, volume sampah harian yang tiba di TPS Gempol Sari sangat besar. Setiap hari volume sampah mencapai 4 ton. Sementara itu, kapasitas angkut yang diizinkan menuju TPA Sarimukti sangat terbatas.
“Hasil timbangan di TPA itu, hanya 2,8 ton,” jelasnya, merujuk pada bukti penimbangan truk.
Dijelaskan Budiawan, pembatasan drastis ini disebabkan oleh dua aturan utama dari surat edaran DLH Provinsi Jawa Barat yang dirilis pada November 2024 lalu, yakni pembatasan hanya satu ritase per hari dan larangan over dimensi. Akibatnya, terjadi surplus sampah sekitar 2 ton setiap hari yang tidak terangkut. Itulah kenapa sampah di TPS Gempol Sari terus menumpuk.
Di TPS tersebut, bak penampungan utama telah lama penuh. Truk pengangkut dari perumahan warga yang datang silih berganti tidak lagi memiliki tempat untuk membuang muatannya. Proses ini menyebabkan area TPS meluas secara liar, mengubah lahan titik transfer menjadi gunungan sampah. Luapan sampah ini secara langsung menginvasi ruang hidup warga sekitar, menciptakan zona pembuangan liar yang tidak terkendali.
Rikrik, 48 tahun, warga yang tinggal tidak jauh dari TPS, menggambarkan bagaimana kekacauan itu merembes hingga ke jalanan dan area permukiman.
"Sampai roda-roda sampah itu tercecer. Di sini sudah over, di pojokan juga," katanya. "Jadi sampah di mana-mana."
Kekacauan manajemen sampah ini juga memicu masalah sosial. Beberapa orang dari luar kawasan ikut membuang sampah sembarangan di tumpukan liar tersebut. Warga harus turun tangan langsung untuk mencegah kondisi semakin parah. Mereka bahkan sampai harus berlari mengejar dan menegur para pembuang sampah liar.
"Kita yang disiplin sampah jadi kena imbasnya," tambahnya, menyuarakan rasa frustrasi atas kelumpuhan sistem yang dampaknya harus mereka tanggung.

Aksi Cepat Setelah Tekanan Publik
Setelah kondisi di TPS Gempol Sari menjadi sorotan luas, pada 27 Juni 2025, Wakil Wali Kota Bandung Erwin datang langsung ke lokasi. Berdasarkan kesaksian Aji, 52 tahun, dalam kunjungannya sang pejabat menyebut perlunya “solusi alternatif”. Solusi yang ditawarkan bertumpu pada sebuah fasilitas yang sudah ada di Kecamatan Bandung Kulon, yakni Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Motah Bakul Agamis. Fasilitas inilah yang dipersiapkan menjadi jalan keluar setelah TPS Gempol Sari ditutup pascakunjungan Erwin. Dikelola oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), fasilitas ini disebut menjadi kunci jawaban karena memiliki sebuah mesin insinerator.
TPST Motah sudah beroperasi sejak Februari 2025. Sebelum dibebani sampah dari TPS Gempol Sari, fasilitas ini menampung kiriman sampah dari tujuh kelurahan di Kecamtan Bandung Kulon.
Diklaim Aji, ketua KSM, kemampuan insinerator di TPST Motah sangat signifikan. Mesin pembakar sampah yang beroperasi 24 jam nonstop dengan pembagian sistem tiga giliran kerja mampu membakar 15 ton sampah setiap harinya.
“Sudah 1.500 ton sampah terbakar selama lima bulan,” tuturnya.
Dengan insinerator sebagai tumpuan, solusi penumpukan sampah di kawan ini diwujudkan dalam dua langkah utama. Pertama, operasi pembersihan secara masif gunung sampah di TPS Gempol Sari yang ditaksir volumenya mencapai 500 ton atau setara 84 pengangkutan dump truck. KEdua, penutupan TPS Gempol Sari dan memindahkan aliran sampah ke TPST Motah. Disebut, sekitar 500 ton sampah, atau setara 84 ritasi dump truck.
Camat Bandung Kulon, Dadang Setiawan, mengonfirmasi bahwa penumpukan sampah di lokasi tersebut adalah sebuah masalah kronis.Penumpukan berlangsung sejak darurat sampah tahun 2024 lalu. "Dan itu tidak terangkut ya rata-rata 2 tahunanlah," ungkapnya.
Sebelumnya, Pemerintah Kota Bandung mengklaim mesin pembakaran sampah TPST Motah Bakul Agamis sebagai bagian dari pemanfaatan teknologi pengolahan sampah. Mesin pengolah sampah Motah-21 dijalankan menggunakan teknologi RDF (Refuse-Derived Fuel) atau arang sampah. Wakil Wali Kota Bandung Erwin mengatakan, keberadaan mesin tersebut bisa dimaksimalkan untuk mengurangi volume sampah secara signifikan.
"Saya dorong pemanfaatan mesin Motah ini dengan teknologi RDF (Refuse-Derived Fuel), bahkan bisa diolah menjadi produk seperti paving blok," ucapnya, dikutip dari siaran pers terkait kunjungan ke TPS Bumi Asri di Kelurahan Gempolsari, Kecamatan Bandung Kulon, Jumat, 27 Juni 2025.

Bom Waktu Baru di TPST
Beban sampah dari Gempol Sari dan enam kelurahan lain yang kini dialihkan seluruhnya ke TPST Motah Bakul Agamis, menciptakan persoalan baru. Total sebanyak 40 ton sampah masuk setiap harinya.
Bagi warga sekitar TPST, masalah sudah ada bahkan sebelum asap pertama pembakaran mesin mengepul. Siti, 39 tahun, yang tinggal hanya puluhan meter dari lokasi, menyebut bahwa fasilitas itu dibangun tanpa persetujuan warga. Namun kini mereka harus hidup dengan dampak operasional insinerator yang berada di tengah permukiman padat. Asap dari pembakaran sampah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.
“Tiap subuh asapnya ke sini, itu mengganggu. Pernapasannya terganggu. Asapnya seperti kabel kaduruk. Hangit,” keluhnya.
Menurut Siti, polusi udara bukan hanya berdampak ke orang dewasa. Justru yang paling rentan adalah anak-anak.
Baca Juga: Memproses Sampah dengan Insinerator di Kota Bandung, Bukan Solusi tapi Polusi
Pembakaran dengan Insinerator Bukan Solusi, Bandung Raya Butuh Pemilahan Sampah yang Ramah Lingkungan
Bahaya Membakar Sampah
Polemik terkait penggunaan insinerator oleh Pemerintah Kota Bandung dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, bukanlah hal baru. Para aktivis lingkungan telah sejak lama mengingatkan dampak buruk dari teknologi thermal ini terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Salah satunya, Aliansi Menolak Insinerator, yang terdiri dari AZWI, Walhi Jawa Barat, Walhi Nasional, dan Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA).
Aliansi menyatakan bahwa insinerator merupakan cara paling mahal untuk menangani sampah. Padahal, kota dan kabupaten masih sangat membutuhkan tambahan anggaran besar untuk mengelola sampah secara terpilah, terutama sampah organik yang mendominasi timbulan sampah. Aliansi berpendapat, seharusnya pendanaan untuk insinerator dialihkan ke pengelolaan sampah organik. Pengelolaan sampah berbasis pemilahan, seperti pengomposan, dinilai lebih efektif sekaligus mampu menciptakan lapangan kerja enam kali lebih banyak dibanding insinerator.
“Insinerator hanya akan mereplikasi terbakarnya TPA Sarimukti yang melepas gas rumah kaca dalam skala besar. Seperti terbakarnya sampah di TPA, insinerator membakar campuran berbagai jenis sampah, baik sampah organik maupun plastik yang terbuat dari bahan bakar fosil,” ujar Yobel Novian Putra dari GAIA.
Dijelaskan Yobel, berbagai studi terbaru menunjukkan bagaimana penggunaan insinerator di Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih tinggi dibanding pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Pembakaran sampah organik akan mengonversi emisi gas metan dari sampah organik menjadi CO2 secara masif.
Yuyun Ismawati, Senior Advisor Nexus3 Foundation, mengkritik penggunaan insinerator dan RDF yang dinilai berisiko tinggi terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Digunakan sejak awal 1900-an, insinerator nyatanya masih terus dipromosikan tanpa proses validasi yang memadai.
“Standar Technology Readiness Level untuk menilai kesiapan teknologi kini dihilangkan, sementara standar emisi dioxin terus dilonggarkan, dan pengukurannya hanya dilakukan lima tahun sekali,” ujarnya.
Yuyun mengungkapkan bahwa dampak kesehatan dari insinerator jauh lebih besar dibanding TPA, dengan biaya kesehatan diperkirakan mencapai 132 dolar per ton sampah, tiga kali lipat lebih tinggi dari TPA. Risiko gangguan hormon, kanker, dan gangguan reproduksi akibat paparan dioxin menjadi ancaman nyata. Apalagi di Indonesia, limbah abu pembakaran yang tergolong limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) ini belum diatur jelas.
Aliansi Menolak Insinerator menegaskan bahwa solusi pengelolaan sampah seharusnya berbasis pada sistem zero waste melalui pemilahan dari hulu. Bukan pembakaran dengan insinerator.
*Reportase ini mendapat dukungan data dari reporter BandungBergerak Shakila Azzahra M