MAHASISWA BERSUARA: Kampus Butuh Organisasi Perempuan yang Inklusif dan Massal
Kampus butuh organisasi perempuan yang inklusif dan massal. Persyaratannya hanya satu, harus “perempuan”.

Ruth Maria
Mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad)
28 Juli 2025
BandungBergerak.id – Awal abad 20 ditandai dengan menjangkitnya virus-virus berorganisasi dalam masyarakat pribumi di Hindia Belanda. Virus ini awalnya menjangkiti golongan intelektual pribumi yang mengenyam pendidikan tinggi Eropa. Mereka merasa ada banyak penyakit yang perlu disembuhkan dan untuk menyembuhkan banyak penyakit tentunya diperlukan banyak “dokter”. Dan organisasi adalah dokter sekaligus obatnya. Demam ini perlahan merasuki mereka yang berada di lapisan lain, mulai dari lapisan pedagang seperti Syarikat Dagang Islam, buruh seperti Van Spoor-en Tramwegpersonel (Serikat Buruh Kereta Api), hingga akhirnya menyentuh golongan perempuan pribumi yang hadir untuk menjawab keresahan yang disuarakan Kartini –perempuan yang enggan nrimo nasib yang merampas hak-hak mereka.
Perempuan mulai aktif di berbagai organisasi yang tersebar di mana-mana. Mulai dari organisasi etnis seperti Jong Java yang didirikan pada tahun 1920, hingga organisasi religius seperti Aisjijah yang merupakan sayap perempuan Moehammadijah yang berdiri pada tahun 1917. Pada tanggal 22 Desember 1928 diadakan Kongres Perempuan pertama. Tahun 1928 adalah tahun-tahun awal gerakan nasionalis berkembang. Tiga puluh organisasi perempuan yang hadir dalam Kongres Perempuan itu mempersatukan tubuh mereka dalam Perikatan Perempoean Indonesia (PPI).
Kongres Perempuan pertama tahun 1928 merupakan cikal bakal dari lahirnya organisasi dan gerakan perempuan yang semakin progresif dan maju. Organisasi dan gerakan perempuan di Indonesia pun memiliki pasang surutnya sendiri. Mulai dari dimatikan hingga dihidupkan pelan-pelan dengan perjuangan yang sulit. Dan untuk sekarang, surut atau hidupkah gerakan perempuan di Indonesia?
Demam organisasi masih ada, menjangkiti tubuh-tubuh mahasiswa dengan ide dan cita-cita berbeda. Organisasi mulai punya jenis-jenisnya masing-masing. Kalau suka bernyanyi masuklah PSM (Paduan Suara Mahasiswa), kalau suka bermain kartu, ada UKM Bridge. Tapi kalau mau berkumpul dan berdiskusi masalah perempuan dengan santai namun kritis, adakah organisasi perempuan yang seperti itu? Memang ada beberapa organisasi atau UKM yang dalam pertemuannya membahas isu perempuan, tapi tentu kita mau isu ini tidak menjadi sub-isu, kita mau permasalahan perempuan menjadi isu yang utama.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Ketika Bandung Hanya Jadi Unggahan Estetik Instagram
MAHASISWA BERSUARA: Haruskah Setiap Hari Bertaruh Nyawa di Jalan Raya Jatinangor?
MAHASISWA BERSUARA: Tanpa Pendekatan Demokratis, Penulisan Ulang Sejarah Nasional Hanya akan Melahirkan Figur Mitis Baru yang Sarat Manipulatif
Perempuan Berorganisasi di Kampus
Gerakan dan organisasi perempuan di kampus memang eksis, tapi menurut saya sifatnya eksklusif. Saya mengerti pembatasan jumlah anggota juga punya tujuannya sendiri. Pada akhirnya toh semua organisasi punya tujuan yang baik. Tapi untuk menampung keluh kesah, kita butuh wadah yang lebih besar. Tidak semua perempuan juga mengerti apa itu feminisme, sekalipun mereka terpelajar. Feminisme meskipun sudah diperjuangkan dari dulu, adalah benda yang cukup mahal di Indonesia. Beberapa perempuan bahkan masih memaklumi patriarki, meskipun dalam hati, mereka bertanya-tanya dan resah. Oleh karena itu, kita butuh ruang diskusi yang tidak menghakimi, kita butuh ruang diskusi yang besar dan massal.
Kampus butuh organisasi perempuan yang inklusif dan massal. Tidak ada batas anggota, tidak perlu menyerahkan CV yang bagus ataupun esai yang berbobot. Persyaratannya hanya satu, harus “perempuan”. Kita butuh organisasi perempuan yang membumi, membahas perempuan tidak harus dengan teori feminis yang berat, meskipun pengetahuan juga adalah hal yang penting. Kita butuh organisasi perempuan yang santai, tidak harus pretensius, namun kritis.
Mungkin organisasi ini terdengar naif, menyatukan banyak kepala dengan isi yang berbeda bukan hal gampang, tapi Kongres Perempuan 1928 toh pada akhirnya berhasil menyatukan banyak pikiran-pikiran yang beragam, mulai dari nasionalisme, religius, progresif religius, hingga konservatif. Semua pada akhirnya bersatu dalam kepentingan yang sama “perempuan”. Tiga puluh organisasi dengan ideologi berbeda itu pada akhirnya setuju kalau tujuan akhir mereka adalah kesejahteraan perempuan.
Kemajuan gerakan perempuan saya yakini berasal dari inklusivitas. Contohnya Gerwani yang mampu merangkul semua perempuan dari lapisan bermacam-macam, mulai dari yang intelek hingga yang tidak bisa baca tulis.
Yang tidak bisa baca tulis tidak dianggap tidak pantas untuk masuk ke dalam organisasi, tapi malah diberi pengajaran. Yang tidak mengerti apa itu kesetaraan tidak dihakimi, tapi diberi pengetahuan. Tidak semua orang punya pengetahuan yang sama. Beberapa dari kita memang dibesarkan dengan lingkungan yang mendukung perempuan untuk maju, sedangkan yang lainnya tidak jarang mereka hidup di lingkungan yang sebaliknya. Dalam organisasi sudah seharusnya kita saling melindungi, melayani, dan mengajar. Seperti kata Minke, tokoh rekaan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru, dalam perjuangannya dia mengibaratkan diri sebagai Brahma sekaligus Sudra. Brahma yang penolong dan Sudra yang melayani.
Bukan Mimpi Muluk
Organisasi ini mungkin terdengar sangat muluk-muluk, tapi penting dan punya potensi besar. Kasus-kasus pelecehan seksual di kampus yang angkanya terus naik, organisasi berisi abang-abangan cabul membuat perempuan tidak punya ruang aman untuk berkembang –ya memang sih ada Satgas PPKS tapi kita juga perlu tindakan preventif, pelaku memang diadili, tapi trauma korban tentu sulit untuk hilang. Baru-baru ini ada pendapat jelek beredar kampus, “Ya lagian siapa suruh milih wakilnya perempuan? (konteksnya pemilihan satu organisasi di kampus).” Di lingkungan yang katanya berisi orang-orang “terpelajar” pun perempuan masih tidak diakui kehadirannya sebagai manusia yang utuh dan berdaya.
Lihatlah sampai sekarang begitu langka perempuan menjadi seorang ketua dalam organisasi terutama organisasi politik. Bukan masalah kekuasaan atau apa, tapi pada akhirnya kita perlu representasi, yang menghasilkan kesempatan-kesempatan baru bagi perempuan. Kesempatan adalah barang mahal bagi perempuan. Perempuan yang lantang dan berani, membuat perempuan melihat ada kesempatan pada dirinya untuk menjadi lebih.
Dan untuk melawan penghinaan dan perlakuan yang tidak menyenangkan, perempuan perlu beraliansi. Lihatlah hak-hak yang bisa kita nikmati sekarang seperti menyetir, belajar, memilih pemimpin bahkan pasangan, tidak lain adalah hasil dari perjuangan massal perempuan, bukan individu, mereka beraliansi.
Mungkin organisasi perempuan ini akan menciptakan kericuhan karena perbedaan pendapat. Meskipun demikian hal seperti itu lumrah terjadi, dengan mereka mau berkumpul dan berserikat berarti mereka memang sama-sama mau memperjuangkan hal yang sama.
Lagi pula kita butuh perbedaan untuk saling mengerti, dan memberi pengertian. Mahasiswi dari organisasi keagamaan, musik, hingga olahraga, bisa bersatu padu menyatakan pendapat mereka. Yang nantinya akan menjadi bahan pembelajaran dan perjuangan.
Hal yang muluk-muluk memang, tapi untuk mencapai sesuatu yang besar kita perlu cita-cita yang besar.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara