MAHASISWA BERSUARA: Ketika Bandung Hanya Jadi Unggahan Estetik Instagram
Wisata buatan mendominasi ruang-ruang promosi kota, sementara ruang seni dan kesenian lokal sering kali tertinggal di belakang layar iklan.

Intan Mareta Prasiwi
Mahasiswa Prodi Studi Humanitas Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar)
17 Juli 2025
BandungBergerak.id – Bandung dikenal luas sebagai kota kreatif. Dengan sejarah budaya yang kuat seperti jejak arsitektur kolonial di kawasan Braga, seni pertunjukan tradisional seperti longser, hingga warisan pendidikan seni melalui institusi seperti ITB dan ISBI. Komunitas seni yang aktif seperti Bandung Creative City Forum (BCCF), Tobucil, dan ruang alternatif seperti Selasar Sunaryo maupun NuArt Sculpture Park menjadi bukti geliat budaya yang terus bergerak, dan iklim yang mendukung berbagai bentuk inovasi.
Bandung secara resmi memasuki peta kota kreatif global sejak bergabung dalam UNESCO Creative Cities Network pada 2015 di bidang design. Infrastruktur seperti Bandung Creative Hub, kawasan Braga, serta berbagai komunitas kreatif menjadi bukti fisik transformasi kota ini. Secara ekonomi, kontribusi sektor kreatif terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Bandung dan Jawa Barat cukup signifikan, meski perlu kajian lebih lanjut apakah sudah memenuhi target minimum pendapatan daerah. Namun, dalam sektor wisata muncul kecenderungan wisata buatan sebesar 34,64 persen dan wisata alam sebesar 34,12 persen mendominasi, sementara ruang kesenian kurang peminat hanya 7,37 persen Fasilitas, Spot Foto yang Instagramable, dan kemudahan tempat menjadi daya tarik utama pengunjung.
Pertanyaannya, apakah kreativitas Bandung masih berpihak pada seniman dan ruang budaya, atau kini hanya melayani industri visual dan konten digital semata?
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mengevaluasi Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru
MAHASISWA BERSUARA: Gagalnya Perlawanan Neoliberalisasi Pendidikan di Indonesia dan Pelajaran Berharga dari Cile
MAHASISWA BERSUARA: Sikap Pengecut Sejarawan Kampus
Ledakan Wisata Buatan dan Daya Tariknya di Kota Besar
Wisata buatan, seperti taman hiburan, sebagai tempat pilihan rekreasi keluarga, hingga taman lampu warna-warni menjadi primadona baru di kota-kota besar. Penelitian Tambunan & Sipayung (2023) menegaskan bahwa daya tarik utama dari wisata buatan adalah kelengkapan fasilitas dan wahananya. Studi lain oleh Suliyanto (2020) menambahkan bahwa lokasi strategis dan promosi iklan turut memperkuat minat kunjungan ke tempat-tempat semacam itu.
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana preferensi masyarakat semakin diarahkan oleh kemudahan akses, kenyamanan, dan daya tarik visual yang instan, alih-alih konten yang bermakna secara budaya. Tidak mengherankan jika wisata buatan kemudian mendominasi ruang-ruang promosi kota, sementara ruang seni dan kesenian lokal sering kali tertinggal di belakang layar iklan. Pilihan ini mencerminkan paradigma wisata yang lebih menekankan pada komodifikasi pengalaman ketimbang refleksi kebudayaan.
Ledakan wisata buatan seperti taman lampu, mural besar, dan instalasi artistik tidak bisa dipisahkan dari pengaruh media sosial, khususnya Instagram dan TikTok, yang membentuk selera publik terhadap destinasi visual yang mudah dicerna dan viral. Menurut Barcelona & Rohman (2022), Instagram menjadi platform paling efektif untuk menyebarkan informasi pariwisata di Indonesia, dengan sekitar 70 persen pengunjung mengandalkan media sosial untuk mencari dan memilih destinasi wisata. Hal ini diperkuat oleh Iqlima Nurrani et al. (2023), yang menyatakan bahwa atribut "instagramable" dan keberadaan media sosial secara simultan berpengaruh signifikan secara statistik terhadap keputusan kunjungan ke objek wisata. Dengan kata lain, estetika visual instan seringkali berupa spot foto, lampu warna-warni, dan konten visual singkat telah merebut posisi sentral dalam strategi pemasaran pariwisata.
Akibatnya, ruang kesenian yang menekankan proses kreatif, narasi budaya, dan refleksi batin kini semakin terpinggirkan karena kalah daya saing dengan estetika instan nan viral. Wisata budaya mendalam yang seharusnya membentuk pengalaman nilai historis maupun artistik seolah kalah pamor karena tidak dapat menyaingi daya tarik visual yang cepat ditangkap satu frame kamera.
Revitalisasi Ruang Budaya Kota Bandung
Meski Bandung telah diakui sebagai bagian dari UNESCO Creative Cities Network sejak 2015 untuk kategori desain, dukungan terhadap ekosistem seni dan budaya di kota ini masih bersifat tidak merata. Banyak ruang seni, seperti galeri independen, komunitas kreatif, dan inisiatif budaya berbasis masyarakat, tetap bergantung pada sumber daya mandiri tanpa sokongan infrastruktur maupun pendanaan yang memadai dari pemerintah. Branding kota kreatif sering kali lebih menonjol dalam kampanye visual dan promosi pariwisata, sementara wisata budaya belum mendapatkan ruang dan perhatian yang proporsional. Komodifikasi ruang dan estetika kota justru semakin menegaskan ketimpangan ruang budaya yang seharusnya menjadi pusat interaksi kreatif dan produksi pengetahuan terpinggirkan oleh destinasi wisata buatan yang lebih menjanjikan secara ekonomi. Dalam praktiknya, kreativitas lebih sering diukur dari daya tarik visual ketimbang dari proses artistik dan nilai kebudayaan yang dikandungnya. Kota kreatif yang semestinya hidup dari keberagaman ekspresi kini cenderung diarahkan untuk menjadi panggung besar bagi konsumsi visual cepat saji. Ini menunjukkan bahwa kreativitas tidak lagi diposisikan sebagai ruang tumbuh bersama, melainkan sebagai komoditas yang tunduk pada logika pasar dan algoritma media sosial.
Di tengah geliat Bandung sebagai kota kreatif, muncul paradoks yang perlu dicermati lebih dalam, kreativitas yang semula lahir dari semangat kolektif, eksperimen budaya, dan ruang-ruang kesenian kini justru terancam oleh dominasi visualisasi instan yang dikemas untuk konsumsi media sosial. Dominasi wisata buatan yang lebih disukai publik menunjukkan adanya pergeseran orientasi, dari kreativitas sebagai ekspresi dan refleksi budaya, menjadi kreativitas sebagai komoditas visual. Pertanyaannya bukan lagi sekadar apakah Bandung masih kreatif, tetapi untuk siapa kreativitas itu dipertahankan? Jika ruang budaya terus tersisih, maka kota ini berisiko kehilangan ruh kreatifnya menjadi panggung visual yang indah, namun hampa makna.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara