MAHASISWA BERSUARA: 26 Tahun LMID, Meniti Jalan Demokrasi Rakyat
LMID berkomitmen menjadi bagian dari kekuatan rakyat yang melawan ketimpangan, melawan kooptasi kekuasaan, dan melawan hilangnya harapan atas masa depan.

Tegar Afriansyah
Ketua Umum Eksekutif Nasional LMID
28 Juli 2025
BandungBergerak.id – Bulan Juli 2025 seharusnya menjadi momentum penting dalam hidup saya. Ada banyak tanggal krusial di bulan ini yang berkaitan erat dengan jabatan yang sedang saya emban sebagai Ketua Umum Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID). Salah satu yang paling istimewa tentu saja adalah hari lahir LMID, tonggak sejarah bagi organisasi mahasiswa yang telah berdiri di garis depan perjuangan rakyat selama lebih dari dua dekade.
Namun takdir punya cara lain. Di tengah hiruk pikuk persiapan refleksi 26 tahun LMID, saya mengalami peristiwa yang sangat tidak menyenangkan. Tepat pukul 12.30 siang, sebuah panggilan masuk mengaku dari customer service Bank BCA. Isinya: pemberitahuan soal transaksi mencurigakan di rekening saya. Saya, dengan reaksi spontan, mengikuti arahan yang diberikan. Beberapa menit kemudian, seluruh saldo rekening saya hilang –terkuras tanpa sisa.
Tentu saja ini bukan kisah yang menyenangkan. Tapi saya tidak ingin menjadikan pengalaman ini sebagai fokus cerita. Karena pada akhirnya, apa yang ingin saya soroti bukanlah nasib buruk saya –melainkan dinamika sejarah, yakni bahwa di bulan yang sama, 26 tahun yang lalu, tepatnya 11 Juli 1999, LMID dilahirkan. Dan lahirnya LMID bukanlah kecelakaan. Ia adalah kelahiran yang digerakkan oleh kemauan, kesadaran, dan kebutuhan: bahwa mahasiswa harus berdiri bersama rakyat, bukan di menara gading.
LMID bukan organisasi mahasiswa biasa. Ia tumbuh dari rahim krisis, hidup di tengah konflik, dan terus menanamkan akar di ladang-ladang perjuangan. LMID mempercayai pentingnya intelektual organik –mereka yang bukan hanya cakap berpikir, tapi juga hidup, berkeringat, dan berjuang bersama kaum tertindas. Intelektual yang hadir di tengah pabrik, gubuk liar, di antara para petani yang menjaga tanah mereka dari alat berat dan senjata aparat.
LMID menjadikan Demokrasi Kerakyatan sebagai asas perjuangannya. Bukan demokrasi prosedural yang penuh tipu daya, bukan pula demokrasi elite yang menjadikan rakyat hanya sebagai suara lima tahun sekali. Demokrasi Kerakyatan adalah demokrasi yang hidup dari bawah, dari tenda buruh mogok, dari posko tani, dari ruang kelas yang dicekik UKT, dari dapur rakyat yang berbagi nasi dan perlawanan. Itulah yang kami maksud dengan "Democracy from below to the people."
Selama 26 tahun, LMID terus meniti jalan itu. Jalan yang tidak mudah, penuh jebakan, penuh kehilangan. Tapi juga jalan yang melahirkan kesadaran, keberanian, dan solidaritas yang tak ternilai. Kita tidak sedang mencari kemenangan instan. Kita sedang membangun sejarah, dengan sabar dan dengan kepala tegak.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Haruskah Setiap Hari Bertaruh Nyawa di Jalan Raya Jatinangor?
MAHASISWA BERSUARA: Tanpa Pendekatan Demokratis, Penulisan Ulang Sejarah Nasional Hanya akan Melahirkan Figur Mitis Baru yang Sarat Manipulatif
MAHASISWA BERSUARA: Kampus Butuh Organisasi Perempuan yang Inklusif dan Massal
Runtuhnya Orde Baru, Lahirnya Liga
Lonceng keruntuhan rezim Orde Baru berdentang keras pada 1998. Di tengah gejolak krisis ekonomi, krisis kepercayaan, dan ledakan protes rakyat, gerakan mahasiswa memainkan peran krusial dalam menggulingkan kekuasaan otoriter Soeharto. Di masa itu, salah satu embrio penting gerakan mahasiswa yang berpihak kepada rakyat adalah Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), yang berdiri sejak awal 1990-an dan berafiliasi dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Pasca 1998, SMID mendorong proses konsolidasi nasional untuk memperkuat basis gerakan mahasiswa yang berideologi kerakyatan. Maka lahirlah Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) –sebagai kendaraan politik mahasiswa dalam kerangka demokratisasi dan perjuangan sosialisme. Namun konflik ideologis tentang strategi dan bentuk perjuangan memicu transformasi. Pada 2022, LMND-DN rekonfigurasi menjadi Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID) –tetap dengan garis perjuangan kelas dan sosialisme dari bawah (from below).
Pada tahun 2022, dalam konteks krisis kapitalisme global dan kemunduran demokrasi di Indonesia, sebagian kekuatan utama LMND mengambil keputusan untuk membentuk kembali barisan mahasiswa kerakyatan dalam bentuk Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID). LMID lahir sebagai reaktualisasi garis perjuangan: menjadikan mahasiswa bukan penonton sejarah, tetapi pelakunya –sebagai bagian dari blok historis rakyat.
Dalam perjuangannya, LMID selalu meyakini bahwa mahasiswa bukan sekadar penyerap ilmu, tapi bagian dari masyarakat. Gagasan ini sejalan dengan Antonio Gramsci, yang menyebut pentingnya intelektual organik –mereka yang mengakar dalam kehidupan rakyat dan membangun kesadaran politik dari bawah. LMID mewarisi tradisi itu: menjadi bagian dari dapur rakyat saat pandemi, menjadi penolak penggusuran bersama warga kampung kota, menjadi penjaga ruang belajar gratis ketika negara abai terhadap pendidikan.
Demokrasi, yang menurut LMID, bukan hanya prosedur pemilu atau simbol formal kebebasan. Demokrasi yang diperjuangkan adalah demokrasi kerakyatan –sebagaimana dirumuskan oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed– di mana pendidikan, kebudayaan, dan politik menjadi alat pembebasan, bukan dominasi.
Dari Jalan Rakyat ke Ruang Konstitusi
Kegalauan saya terhadap gerakan mahasiswa hari ini lahir dari ketiadaan kelompok yang sungguh-sungguh mendiskusikan serta membangun gagasan gerakan politik yang lebih strategis. Dua puluh tujuh tahun sejak reformasi bergulir, dan dua puluh enam tahun sejak Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID) berdiri, jalan panjang menuju masa depan yang demokratis dan berkeadilan masih terasa jauh.
Bongkar-pasang aliansi taktis dan strategis seolah telah menjadi kewajaran dalam proses gerakan. Namun justru praktik inilah yang membuat gerakan mahasiswa kehilangan orientasi untuk merebut masa depan rakyat. Ia menjadi alat tempur sesaat –bukan gerakan yang mengakar dan membebaskan.
LMID tentu menyadari, bahwa perjuangan kami tidak selalu berjalan mulus, tidak selalu sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Salah satu contohnya adalah perjuangan untuk mewujudkan pendidikan gratis dan demokratis. Hingga kini, cita-cita itu masih terlihat jauh dari harapan. Di bawah pemerintahan baru Prabowo-Gibran, arah pendidikan justru semakin menjauh dari amanat konstitusi. Pendidikan direduksi sekadar menjadi instrumen penunjang proyek-proyek kekuasaan, bukan sebagai hak dasar rakyat.
Pemerintahan Prabowo-Gibran mengklaim telah mengalokasikan anggaran pendidikan terbesar sepanjang sejarah, Rp 724 triliun. Namun di balik angka itu, tersembunyi kenyataan bahwa anggaran untuk perguruan tinggi justru dipangkas hingga 39 persen. Banyak universitas negeri kini berada di ambang krisis operasional. Makan Bergizi Gratis (MBG) justru menjadi tameng untuk menutupi kegagalan negara dalam menjamin hak yang lebih mendasar: pendidikan yang gratis dan bermutu. Pemerintahan Prabowo hanyalah kelanjutan dari oligarki lama –berwajah baru namun dengan struktur yang sama. Ini bukan era keemasan seperti yang mereka klaim, melainkan zaman kecemasan, di mana demokrasi dikerdilkan dan ketimpangan dilegalkan.
Gibran pun tidak lebih dari representasi dinasti politik yang menjauhkan rakyat dari demokrasi sejati. Janjinya membuka 19 juta lapangan kerja hanyalah bualan. ribuan pelamar kerja memadati lowongan terbatas di Bekasi, sementara pengangguran nasional mencapai 7,28 juta orang. Ketimpangan struktural ini bukan kesalahan teknis, melainkan buah dari sistem ekonomi-politik yang anti-rakyat.
Ironisnya, pemerintah lebih memilih proyek populis seperti makan bergizi gratis, ketimbang memastikan pendidikan gratis hingga perguruan tinggi. Ini bukan zaman keemasan –ini zaman kecemasan. Dan dalam kecemasan ini, LMID memilih untuk melawan secara konstitusional, dengan mengajukan uji materi Pasal 11 ayat 2 UU Sisdiknas ke Mahkamah Konstitusi. Kami ingin menegaskan bahwa negara tidak boleh lepas dari tanggung jawab dalam menjamin tersedianya pendanaan untuk akses pendidikan secara menyeluruh bagi seluruh rakyat.
Sementara itu, kegaduhan di tubuh internal aliansi BEM SI Kerakyatan semakin menunjukkan bagaimana kekuasaan turut campur dalam dinamika gerakan mahasiswa. Musyawarah Nasional BEM SI Kerakyatan disusupi oleh oligarki dan intelijen negara, yang pada akhirnya mendorong keluarnya BEM UGM dan BEM UNDIP. Fenomena ini memperlihatkan betapa kekuasaan terus berusaha memolarisasi dan mengooptasi gerakan mahasiswa.
Di tengah kebisingan politik mahasiswa yang penuh kompromi, LMID justru memilih untuk menyibukkan diri dengan kerja-kerja kerakyatan –mendampingi warga kampung kota yang terancam penggusuran di Margajaya, Kota Bekasi, maupun di Pancoran Buntu II, Jakarta Selatan. Kami hadir bersama mereka yang terpinggirkan oleh proyek pembangunan palsu, sembari tetap memperjuangkan keadilan melalui jalur konstitusional.
Perjuangan merebut masa depan yang adil dan demokratis tak bisa ditunda. LMID berkomitmen untuk menjadi bagian dari kekuatan rakyat yang melawan ketimpangan, melawan kooptasi kekuasaan, dan melawan hilangnya harapan atas masa depan.
Dan bagi saya, meskipun saldo rekening saya hilang –yang jauh lebih penting adalah bahwa komitmen politik saya tidak pernah hilang. Karena selama rakyat masih ditindas, selama pendidikan masih dikomersialisasi, selama tanah masih dirampas, selama buruh masih tanpa perlindungan maka LMID harus tetap hidup. Dan saya akan terus memilih berada di barisan itu. Kaki saya akan terus melangkah bersama rakyat tertindas untuk menyusun strategi merebut masa depan yang telah dirampas oleh kekuasaan borjuis.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara