MAHASISWA BERSUARA: Rezim Prabowo Mengontrol Ruang Digital dan Mencederai Demokrasi Indonesia
Intimidasi serta kriminalisasi pada mereka yang lantang mengkritik pemerintahan dapat membentuk ketakutan kolektif.
Lalu Adam Farhan Alwi
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FISH) Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Aktif di LPM Didaktika sebagai Sekretaris Redaksi.
29 Juli 2025
BandungBergerak.id – Belum genap setahun rezim Prabowo Subianto memerintah negeri, jamak kasus kriminalisasi yang menjerat warga sipil. Mereka yang mengalami kriminalisasi ataupun intimidasi lantaran melontarkan kritik berbasis gagasan maupun karyanya melalui ruang digital. Ruang digital yang penulis maksud ialah kanal media online maupun media sosial.
Sebagai contoh, mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) dikriminalisasi karena mengunggah meme Prabowo dan Jokowi yang sedang berciuman di media sosialnya. Selain itu, penulis artikel di Detik.com mengalami intimidasi lantaran membuat tulisan yang mengkritik pengangkatan militer tanpa adanya meritokrasi.
Kedua kasus itu menjadi alarm darurat bahwa ruang demokrasi secara digital saat ini tidaklah baik-baik saja. Indonesia sebagai negara demokrasi seharusnya menjamin kebebasan berpendapat rakyatnya. Sebab, tertuang dalam UUD 1945, Pasal 28E menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Kasus-kasus intimidasi serta kriminalisasi terhadap mereka yang lantang mengkritik pemerintahan dapat membentuk ketakutan kolektif. Rakyat Indonesia ke depan akan berpikir dua kali sebelum menyampaikan kritik.
Apabila ruang-ruang demokrasi dibatasi, perlulah ditelaah secara kritis. Seberapa penting ruang digital saat ini? Mengapa kerap terjadi intimidasi dan kriminalisasi terhadap mereka yang mengkritik pemerintah melalui ruang digital? Siapa yang diuntungkan?
Perlu dipahami, sekarang ini ruang digital sangat penting karena efektif untuk membentuk wacana kolektif perihal permasalahan dalam negeri. Terlihat ketika #PeringatanDarurat serta #IndonesiaGelap ampuh dalam membentuk narasi kritis dan kesadaran kolektif rakyat seputar sulitnya mencapai taraf kesejahteraan hidup, kenaikan harga barang, hingga politik dinasti.
Aktivisme ruang digital menciptakan efek lanjutan. Pasalnya, distribusi informasi tidak hanya mengkristal di ruang digital saja. Akan tetapi, menciptakan gelombang demonstrasi yang dilakukan mahasiswa, kelas buruh, hingga rakyat sipil.
Gelombang demonstrasi yang terjadi direspons pemerintah melalui aparat kepolisian dengan kekerasan, penangkapan, hingga kriminalisasi massa aksi. Sebab, demonstrasi yang terjadi dapat mengancam jalannya roda pemerintahan.
Pada saat perayaan Hari Lahir Partai Gerindra ke-17 (14 Februari 2025), Prabowo menyampaikan kritik harus benar, jangan berdasarkan dendam. Secara implisit, Prabowo ingin menyatakan bahwa ada pihak-pihak yang ingin menggoyahkan pemerintahannya berdasarkan rasa dendam. Padahal, demonstrasi #IndonesiaGelap secara objektif berdasarkan fakta dan data bahwa perekonomian dalam negeri sedang lesu dan kesejahteraan rakyat sulit tercapai.
Oleh karena itu, aktor-aktor kekuasaan mencoba meredam kritik rakyat dalam ruang digital agar tidak memunculkan gelombang demonstrasi lanjutan. Ruang digital sebagai media penyebarluasan gagasan kritis hingga kritik terhadap pemerintah yang kian masif terjadi perlulah diredam. Caranya, mengontrol ruang digital agar rakyat berhenti kritis. Kriminalisasi dan intimidasi kiranya menjadi metode efektif.
Ciamiknya, aktor-aktor pemerintahan mengklaim tindakannya itu adalah langkah yang tepat. Dengan menstigma mereka yang kritis di ruang digital telah mencemari nama baik dan tidak bermoral. Selain itu, biasanya aktor-aktor kekuasaan menggunakan buzzer untuk meneror para pengkritik dengan membanjiri kolom komentar secara negatif.
Meminjam analisisnya Michel Foucault, bahwa kekuasaan kerap menyebarkan wacana untuk mengendalikan pikiran dan tubuh individu agar mendukung wacana kekuasaan. Tentunya, dengan cara-cara tersebut, pemerintah berusaha membentuk wacana kolektif ke rakyat awam bahwa pengkritik memang patut dikriminalisasi dan diintimidasi.
Praktik-praktik culas tersebut pada ujungnya membentuk ketakutan kolektif. Dampaknya secara psikologi, rakyat dengan sendirinya akan mengurungkan niat untuk mengkritik pemerintahan. Lebih baik bungkam daripada terkena intimidasi maupun kriminalisasi.
Apabila rakyat telah bungkam, tandanya ruang digital telah berhasil dikontrol. Suara-suara kritis yang menjadi pengawas jalannya pemerintahan semakin minor. Alhasil, aktor-aktor kekuasaan akan lebih leluasa menjalankan apa yang menjadi kepentingannya dan mempertahankan kekuasaan tanpa adanya pengawasan dari rakyat.
Misalnya, di dalam proyek makan bergizi gratis (MBG) yang disinyalir terjadi praktik nepotisme oleh keluarga dan kroni-kroni Prabowo. Pun, dalam perekrutan petinggi BUMN, Prabowo lebih memilih kroni-kroninya dari kalangan militer alih-alih menerapkan meritokrasi. Selain itu, untuk mempertahankan status quo, Prabowo memainkan politik bahasa dengan menuduh lembaga swadaya masyarakat (LSM) didanai oleh pihak asing untuk mengadu domba rakyat Indonesia.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Tanpa Pendekatan Demokratis, Penulisan Ulang Sejarah Nasional Hanya akan Melahirkan Figur Mitis Baru yang Sarat Manipulatif
MAHASISWA BERSUARA: Kampus Butuh Organisasi Perempuan yang Inklusif dan Massal
MAHASISWA BERSUARA: 26 Tahun LMID, Meniti Jalan Demokrasi Rakyat
Biarkan Demokrasi Berjalan Tanpa Represifitas
Atas nama stabilitas politik, Rezim Prabowo Subianto bergeliat membungkam suara-suara kritis rakyat, khususnya di ruang digital. Padahal, Jacques Ranciere menganalisis bahwa dinamika demokrasi adalah suatu hal yang lazim. Baginya, demokrasi adalah proses politik yang dinamis. Dalam demokrasi memiliki prinsip kesetaraan akal budi, bahwasanya setiap individu pada dasarnya setara.
Kritik terhadap kekuasaan yang sedang berlangsung merupakan hal yang tidak bisa dinafikan. Demokrasi perlu berjalan apa adanya, tanpa perlu dibatasi. Sebab, pola dalam demokrasi bagaimana suara dari rakyat yang termarjinalkan (the wrong) dapat terakomodasi oleh tatanan sosial-politik dominan. Inilah yang disebut oleh Ranciere sebagai perselisihan demokrasi (disensus). Yakni, gangguan terhadap konsensus maupun tatanan sosial-politik yang mapan. Selama suara the wrong tidak diakomodir dalam menuntut kesetaraan dan kesejahteraan, maka selama itu disensus akan terus terjadi dalam demokrasi.
Semestinya Rezim Prabowo merawat berjalannya demokrasi di Indonesia, mengakomodir suara rakyat yang termarjinalkan, lalu menyelesaikan persoalan sosial yang ada secara struktural. Supaya rakyat yang termarjinalkan dapat menemukan titik cerah kesetaraan dan kesejahteraannya sebagai warga negara Indonesia.
Apabila Rezim Prabowo tetap bergeliat membungkam suara kritis rakyat, secara eksplisit Prabowo telah mengkhianati UUD 1945 yang menjamin kebebasan berpendapat dan mengangkangi demokrasi di Indonesia. Selain itu, stabilitas politik tidak akan terwujud, sebab rakyat yang masih termarjinalkan hak-haknya akan terus menuntut pemerintah untuk mewujudkan kesetaraan ekonomi hingga kesejahteraan hidup.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara