• Indonesia
  • Ketimpangan Gender Peserta KB Memicu Ledakan Jumlah Penduduk Indonesia

Ketimpangan Gender Peserta KB Memicu Ledakan Jumlah Penduduk Indonesia

Mengapa KB perempuan lebih familiar dibandingkan KB pria? Edukasi tentang program KB mesti dijalankan secara setara.

Ilustrasi. Sekolah memegang peranan penting dalam melakukan pendidikan seksual dan keragaman gender. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Vallencya Alberta Susanto 30 Juli 2025


BandungBergerak.id - “Banyak anak banyak rezeki,” merupakan pepatah yang cukup populer di Indonesia. Amsal ini bisa jadi doa dan harapan bagi masyarakat yang sudah berkeluarga dan merencanakan untuk memiliki buah hati. Kenyataannya, jumlah penduduk Indonesia meningkat, kalau bukan meledak, setiap tahunnya.

Pemerintah berusaha membendung laju pertumbuhan penduduk ini dengan menjalankan program Keluarga Berencana (KB). Sayang, program KB selama ini berjalan di atas bias gender. Perempuan lebih ditekankan menjalankan KB. Sementara KB laki-laki cenderung asing, bahkan tak dikenal.

Ada dua jenis KB untuk pria, yaitu kondom dan vasektomi. Namun, kedua metode ini kurang populer dibandingkan KB untuk perempuan. Bahkan kondom masih diliputi stigma seks bebas alih-alih dipandang sebagai alat kontrasepsi. Sementara untuk vasektomi, kaum pria umumnya masih merasa asing.

Menurut jurnal Promosi Kesehatan yang berjudul “Gambaran Faktor Predisponding, Enabling dan Reinforcing KB Vasektomi” yang ditulis oleh Shelly Rosalina Febrianti, vasektomi merupakan prosedur klinik yang dilakukan untuk menghentikan kapasitas reproduksi pria dengan cara mengoklusi vas deferensia sehingga mencegah sperma bertemu dengan sel telur sehingga tidak terjadi proses fertilisasi atau pembuahan.

Dengan kata lain, vasektomi merupakan salah satu program KB dengan bentuk kontrasepsi untuk pria ataupun keluarga yang tidak menginginkan anak lagi. Tingkat keberhasilan program vasektomi dalam mencegah kehamilan sekitar 99,8 persen

Banyak orang khawatir dengan prosedur medis vasektomi, meskipun faktanya berdasarkan jurnal yang berjudul “Kontrasepsi Pria (Studi Perilaku Sosial Terhadap Penerimaan Metode Vasektomi pada Akseptor KB Pria di Kota Makassar)” yang ditulis oleh Andi Muh Multazam, KB pada pria ini tidak memberikan efek negatif pada kesehatan.

Jika dibandingkan dengan dampak KB perempuan, maka KB pada perempuan lebih memiliki dampak negatif dan risiko pada kesehatan seperti, perubahan hormon, bahkan perubahan pada bagian bentuk tubuh. Sterilisasi pria menggunakan vasektomi hanya memerlukan perawatan pemulihan di awal pascaoperasi, setelah itu ia bisa bisa melakukan aktivitas kembali.

Defant Dwiputra (21 tahun), mahasiswa kedokteran semester 6 Universitas Padjadjaran (Unpad) menjelaskan, prosedur medis vasektomi bisa dianggap kurang sakit atau lebih tidak sakit dibandingkan sirkumsisi atau sunat.

Sebagai mahasiswa kedokteran yang ingin melanjutkan ke jurusan urologi, Defant mengakui bahwa memang masih jarang yang mengetahui dan berminat untuk melakukan vasektomi atau KB pada pria di Indonesia.

“Rekan senior saya yang juga berprofesi sebagai dokter urologi selama hampir 10 tahun dan praktik di sekitar Bandung, pernah cerita jika selama menjadi dokter urologi hampir 1 dekade tidak pernah melakukan prosedur dan tindakan vasektomi tersebut,” kata Defant, kepada BandungBergerak, Rabu, 25 Juni 2025.

Defant menekankan pentingnya edukasi terkait KB laki-laki, terutama pada generasi sekarang melalui berbagai saluran, mulai dari media sosial, diskusi atau seminar, dan lain-lain. Hal ini penting dilakukan untuk mengurangi mitos atau stigma pada program KB pria.

Meski terbilang asing, informasi soal KB pria atau vasektomi sampai juga pada generasi muda. Salah satunya Zulfa Salman (21 tahun), seorang mahasiswa yang mempunyai 6 saudara kandung. Sebagai generasi Z, Zulfa bahkan berencana menggunakan KB vasektomi di masa depan.

“Jika nanti sudah punya pasangan dan berencana akan punya anak, maka aku akan lebih memilih KB vasektomi karena memang lebih aman. Dan seharusnya pasangan juga memahami hal tersebut,” ujar Zulfa Salman.

Zulfa mendukung program edukasi mengenai KB pria vasektomi. Menurutnya, peran orang tua bukan hanya melahirkan dan membesarkan anak, tapi juga mendidik mereka. “Sementara mendidik 7 anak bukan hal yang mudah, hal itu yang mempengaruhi pandangan aku terhadap KB, dan kesetujuan aku tentang edukasi terkait KB khususnya pada laki-laki,” tambah pria yang lahir dalam keluarga dengan banyak anak.

Baca Juga: Kebijakan Vasektomi Diskriminatif karena Menargetkan Warga Miskin dan Mengabaikan Otonomi Tubuh
Dari Barak ke Vasektomi: Fantasi Kekuasaan dalam Format Vertikal

Ketimpangan Gender dalam Kepesertaan KB

Reno Muhatiah dalam jurnal berjudul “Partisipasi Pria dalam Program Keluarga Berencana: Sebuah Tantangan Berkelanjutan” (Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar), menyinggung ketidaksetaraan gender turut berperan menghambat program KB di Indonesia.

Ia memaparkan, Indonesia saat ini dihuni oleh sekitar 215 juta jiwa, menjadikannya negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Angka yang besar ini tidak lepas dari laju pertumbuhan penduduk di masa lalu yang cukup tinggi, terutama disebabkan oleh tingginya tingkat kelahiran. Meskipun tren kelahiran telah berhasil ditekan dalam beberapa dekade terakhir, jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan tetap mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan bahwa pada tahun 2025, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai sekitar 273,65 juta jiwa. Laju pertumbuhan penduduk mengalami penurunan secara bertahap, dari 2,10 persen pada periode 1971–1980, menjadi 1,97 persen pada 1980–1990, lalu turun lagi menjadi 1,49 persen pada 1990–2000, dan 1,3 persen pada 2000–2005.

Untuk mengatasi persoalan pertumbuhan penduduk, pemerintah telah mencanangkan Program Keluarga Berencana (KB) sejak tahun 1969. Program ini tidak hanya bertujuan untuk mengendalikan kelahiran, tetapi juga mencakup pendewasaan usia perkawinan, peningkatan ketahanan keluarga, serta kesejahteraan keluarga secara umum.

“Namun demikian, selama lebih dari lima dekade pelaksanaannya, program KB masih didominasi oleh perempuan sebagai peserta utama. Partisipasi pria dalam program ini, terutama dalam bentuk penggunaan kontrasepsi seperti kondom maupun vasektomi, masih sangat terbatas di berbagai wilayah Indonesia,” papar Reno Muhatiah.

Data dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan bahwa partisipasi pria dalam KB belum mengalami peningkatan signifikan. Pengguna vasektomi tercatat masih di bawah 1 persen, dan pengguna kondom baru mencapai sekitar 1,3 persen. Angka ini sejalan dengan data pada tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 1971, misalnya, tercatat 0,6 persen pria menggunakan vasektomi dan 0,8 persen menggunakan kondom. Tahun 1994, vasektomi 0,7 persen dan kondom 0,9 persen. Tahun 1997, vasektomi 0,4 persen dan kondom 0,7 persen. Sementara pada periode 2002–2003, vasektomi tercatat 0,4 persen dan kondom 0,9 persen, sehingga total partisipasi pria hanya mencapai 1,3 persen.

Ketimpangan gender dalam kepesertaan KB ini menjadi salah satu faktor yang memengaruhi keberhasilan program secara keseluruhan.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//