• Opini
  • Tentang Bocah Perempuan Pengamen di Persimpangan Kopo, tentang Kota yang Gagal Memberikan Ruang Aman

Tentang Bocah Perempuan Pengamen di Persimpangan Kopo, tentang Kota yang Gagal Memberikan Ruang Aman

Kita tidak boleh menganggap normal eksploitasi anak di jalanan.

Akbar Adi Benta

Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Pasundan (Unpas) Bandung.

Bocah perempuan sedang bernyanyi di persimpangan Kopo. (Foto: Akbar Adi Benta)

31 Juli 2025


BandungBergerak - Di bawah langit perempatan lampu lalu lintas Jalan Kopo, Kota Bandung, di tengah riuh rendah jalanan, terlihat bocah perempuan menggenggam mikrofon yang ukurannya tampak jauh lebih besar daripada tangan mungilnya. Usianya barangkali belum genap sepuluh tahun, tapi kaki-kaki kecilnya sudah melangkah membawanya ke atas aspal jalan raya yang panas dan penuh debu. Deru suara motor dan mobil meraung-raung. Hawa panas dari knalpot dan mesin merampai bersama dengan polusi jalanan.

Ketika lampu menyala merah, dengan segera bocah perempuan kecil itu mulai bernyayi. Dan dia tidak sendirian. Perempuan dewasa yang tangannya menyandang disabilitas phocomelia (kondisi anggota tubuh yang tumbuh lebih pendek daripada seharusnya), berdiri dengan pelantang (speaker) rombeng menggantung di lehernya. Dari pelantang itulah, suara bocah perempuan terdengar. Cempreng dan melengking-lengking.

Ketika cahaya lampu merah kemudian berganti hijau, bocah perempuan itu lekas berlari-lari mengitari para pengendara untuk meminta rupiah. Imbalan untuk mengibur para pengendara di persimpangan.

Warga Kota Bandung yang setiap hari melintasi perempatan Kopo pada sore hari, sudah barang tentu kerap melihat bocah perempuan nan alit tersebut. Melihat, mengamati, dan menyaksikan roman bocah perempuan yang rudin itu niscaya membuat sanubari menjadi rodan. Cukup merisak sukma. Sulit untuk pikiran tidak merasa buncah saat menatap bola mata bocah itu. Sungguh durjana situasi dan kondisi yang membuatnya berada di jalanan!

Tanggung Jawab Negara dan Kota

Sore hari di persimpangan Kopo itu adalah satu dari sekian banyak wajah asli Bandung. Wajah asli yang tanpa kosmetik. Ekpresi wajah kota yang menggambarkan bahwa Bandung tidak bisa memberikan ruang aman untuk anak. Khususnya anak-anak kecil yang lahir dari rahim keluarga miskin dan kenyataan memaksanya untuk hidup di jalanan.

Seorang anak, sekalipun anak jalanan, punya hak untuk tidak merasa terbebani oleh masalah hidup: beban untuk cari makan, beban untuk kerja, beban untuk cari uang, beban untuk bayar kontrakan. Anak seyogianya bermain, belajar, dan bertumbuh. Bukan mengamen seperti bocah perempuan di persimpangan Kopo tersebut.

Tentu yang bertanggung jawab atas nasib bocah jalanan itu adalah orang tua mereka. Tapi, selain itu, negara dan kota juga punya beban tanggung jawab yang sama.

Pasal 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa perlindungan anak adalah kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Artinya, setiap anak – tidak peduli dari kelas sosial mana pun – punya hak untuk merasa aman dan terlindungi. Dan dengan begitu ia bisa bertumbuh dan berkembang sebagaimana seharusnya.

Kemudian, pasal 12 undang-undang tersebut menegaskan bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah. Itu berarti, negara wajib hadir membantu anak, termasuk anak jalanan, untuk punya ruang yang sehat untuk tumbuh kembang mereka, yang mungkin tidak bisa disediakan oleh orangtua mereka.

Sejauh ini, dalam upayanya menghadapi persoalan anak jalanan, acap kali negara dan kota hanya mampu memberikan solusi yang sifatnya prosedural, protokoler, dan administratif semata. Mereka menjaring, mendata, membina, dan merehabilitasi sosial, dengan kontrak sosial selama satu hingga dua minggu untuk tinggal di UPTD Rumah Singgah Dinas Sosial (Dinsos). Yang kemudian terjadi: setelah satu atau dua minggu itu berlalu, anak-anak jalanan akan kembali bertaruh hidup di jalan. Lihatlah persimpangan Kopo, persimpangan Mochammad Toha, dan persimpangan Buah Batu. Dan masih banyak titik-titik yang lain.

Kembalinya anak-anak kecil ke jalanan memberikan kita informasi implisit bahwa negara dan kota tuh tidak becus dalam mencari solusi. Mereka cuma bisa ambil tindakan-tindakan nonsolutif yang kaku, yang seolah secara tersirat hendak bilang: selama sesuai regulasi dan prosedur, maka masalah dianggap selesai.

Apakah upaya negara yang menggunakan alat seperti rumah singgah Dinsos itu membantu? Sangat! Tapi, apakah kekuatan sebesar negara dan kota hanya mampu sampai batas “membantu” saja? Tidak berdayakah negara terbesar di Asia Tenggara dan kota tempat peristiwa bersejarah Konferensi Asia Afrika ini menangani persoalan anak jalanan secara lebih komprehensif dari sekadar “membantu”?

Sungguh, kita perlu curiga dan mempertanyakan kenapa masih saja banyak anak-anak yang hidup di jalanan. Apakah itu sesuatu yang normal ada di dalam negara dan kota? Apakah negara dan kota benar-benar sudah memberikan kemampuan terbaiknya?

Dengan anggaran yang nilainya triliunan rupiah, aneh kalau tidak ada hal besar yang bisa dikerjakan oleh negara! Tidak masuk akal kalau yang terjadi adalah perpsepsi masyarakat seolah dibuat bahwa persoalan anak yang hidup di jalan itu hal yang normal dan memang mustahil untuk diselesaikan dan dicari solusinya.

Baca Juga: Menggambar Bersama Anak-anak Sukahaji
Senyuman Anak-anak Korban Penggusuran Anyer Dalam saat Ngabuburit Bersama Rumah Bintang

Mampu Kalau Mau

Sebenarnya, kota dan negara sangat mungkin dan bisa menyelesaikan masalah anak jalanan apabila mereka mau. Kota dan negara punya segala yang dibutuhkan: anggaran, kewenangan, regulasi, data, akses informasi, dan sumber daya manusia (SDM).

Kalau negara dan kota punya kekuatan untuk menggusur, menculik, dan menghilangkan nyawa orang, apa sulitnya menyelesaikan masalah anak jalanan? Membunuh puluhan ribu nyawa – seperti pembersihan PKI tahun 1965 – sekalipun negara sanggup, masa menyelamatkan hidup anak jalanan tidak bisa?

Kadang, kejahatan yang dilakukan penguasa itu tidak selalu tampak dalam bentuk aktif seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kejahatan bisa juga dalam bentuk pasif, termasuk membiarkan anak hidup di jalanan, membiarkan gelandangan kelaparan, atau bahkan membiarkan warga mati berdesakan karena datang ke hajat pernikahan anak pembesar.

Malangnya, itulah yang terjadi. Sedikit sekali kebijakan kota yang secara spesifik menyasar persoalan anak jalanan. Padahal ini masalah sangat penting! Percuma mengagungkan bonus demografi yang digadang-gadang pada tahun 2045 kelak, apabila sebagian dari mereka tetaplah gelandangan dan masih hidup di jalanan.

Kita tidak boleh menganggap normal eksploitasi anak di jalanan ini dengan mengandalkan argumen: "Ya nasib setiap orang beda-beda. Itu mah tanggung jawab orang tuanya aja gak sih. Harusnya anaknya gak disuruh hidup di jalan". Sadarlah, orangtua mereka pun korban dari kemiskinan struktural. Tidak ada satu orangtua pun yang mau anaknya hidup di jalanan. Ini bukan teori konspirasi. Ini kenyataan, bahwa kemiskinan itu heriditer, tapi tidak genetik.

Anak yang terlahir dari keluarga yang miskin, hidupnya akan cenderung menjadi miskin pula. Kemungkinan untuk anak miskin seperti bocah di persimpangan Kopo itu bisa mengubah nasibnya, hampir nol.

Maka dari itu, sangat diperlukan kehadiran negara dan kota untuk membantu anak-anak jalanan. Negara perlu hadir agar bocah-bocah papa itu tidak lagi hidup sengsara. Pemerintah kota berserta pejabat dan jajarannya harus bisa membuat produk kebijakan konkret yang sama sekali baru agar masalah ini tercabut sampai ke akar.

Karena memang untuk itu negara dan pemerintahan kota ada. Untuk melahirkan kemungkinan-kemungkinan baru yang hasilnya bukan hanya sebatas "membantu", tapi juga "menyelesaikan" masalah. Melahirkan inovasi dan solusi yang menembus imajinasi manusia biasa sehingga bisa melewati batas ketidakmungkinan. Untuk alasan itulah para pejabat dan aparatur negara dibayar dan diberikan fasilitas, kekuasaan, dan akses terhadap instrumen pemerintahan.

Terakhir, sebuah pertanyaan: ketika presiden, gubernur, bupati, atau wali kota dalam perjalanan darat mereka melihat anak-anak sedang mengamen di persimpangan lampu merah, akankah mereka mempertahankan pandangan atau justru mengalihkannya ke sisi lain jendela mobil mewah mereka?

 

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//