• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Kampung Pulo dan Candi Cangkuang, Simbol Persatuan di Tengah Keberagaman

NGULIK BANDUNG: Kampung Pulo dan Candi Cangkuang, Simbol Persatuan di Tengah Keberagaman

Kampung Pulo dan Candi Cangkuang menjadi bukti sejarah bahwa toleransi antarumat beragama sudah terjalin sejak dahulu.

Merrina Listiandari

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman

Rakit yang disewakan menuju kompleks situs Candi Cangkuang. (Foto: Merrina Listiandari/Komunitas Djiwadjaman)

1 Agustus 2025


BandungBergerak.id – Kampung yang terletak di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles Kabupaten Garut, Jawa Barat menjadi destinasi pertama dalam rangkaian Tur Promosi Pariwisata, Kementerian Kebudayaan yang dinarasikan sebagai Culture for Future 2025. Kegiatan ini di pusatkan pada wilayah Parahyangan Timur, yang meliputi Kawasan Garut, Tasikmalaya, Ciamis, dan Pangandaran.

Situs Candi Cangkuang merupakan Kawasan Cagar Budaya di Kabupaten Garut. Letaknya berada di sebuah bukit yang dikelilingi danau Situ Cangkuang. Candi Cangkuang seperti terlihat berdiri di tengah-tengah pulau di atas danau.

Untuk mencapai Situs Candi Cangkuang, pengunjung perlu menggunakan rakit bambu yang dikelola penduduk sekitar. Ukuran rakitnya cukup besar dan dapat dinaiki oleh 10 orang sekaligus. Pengunjung cukup membayar 15.000 rupiah per 10 orang untuk menggunakan jasa rakit bambu menuju Candi Cangkuang. Penggunaan rakit ini menjadi daya tarik tersendiri dalam mengakses situs cagar budaya Kabupaten Garut yang sering dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara.

Makam Embah Dalem Arief Muhammad di sebelah Candi Cangkuang, Kabupaten Garut. (Foto: Merrina Listiandari/Komunitas Djiwadjaman)
Makam Embah Dalem Arief Muhammad di sebelah Candi Cangkuang, Kabupaten Garut. (Foto: Merrina Listiandari/Komunitas Djiwadjaman)

Makam Muslim di Sebelah Candi Hindu

Candi Cangkuang merupakan bangunan peninggalan Hindu. Di dalam candi terdapat sebuah arca Siwa sedang menaiki Nandi atau sapi yang dikeramatkan dalam kepercayaan Hindu. Candi ini ditemukan pada tahun 1966 oleh tim peneliti Harsoyo dan Uka Tjandrasasmita setelah membaca laporan Vordeman dalam buku notulen Bataviaasch Genotschap terbitan tahun 1893. Catatan tersebut menyebutkan terdapat sebuah arca yang rusak serta makam kuno di bukit Kampung Pulo, Kecamatan Leles, Garut.

Pada awal penelitiannya Harsoyo dan Uka Tjandrasasmita beserta tim hanya menemukan reruntuhan bebatuan yang dipastikan sebuah candi Hindu. Ditemukan pula serpihan logam, yang merupakan sebuah mata pisau, serta bongkahan-bongkahan bebatuan yang diperkirakan berasal dari zaman Megalitikum. Proses rekonstruksi candi pun dimulai di tahun 1966 hingga kemudian terlihat bentuk Candi Cangkuang.

Pada penelitian selanjutnya di kisaran tahun 1967-1968, tim peneliti berhasil menemukan makam kuno yang disebutkan dalam laporan Vordeman. Lokasi makam kuno ternyata berada persis di sebelah candi. Yang mengejutkan, situs makam tersebut menggunakan ornamen dengan corak yang menunjukkan pengaruh Islam. Belakangan diketahui situs Candi Cangkuang diperkirakan sezaman dengan candi-candi di situs Batujaya dan Cibuaya yang berasal dari abad ke-8 Masehi.

Bentuk rumah di kampung adat Kampung Pulo, Kabupaten Garut. (Foto: Merrina Listiandari/Komunitas Djiwadjaman)
Bentuk rumah di kampung adat Kampung Pulo, Kabupaten Garut. (Foto: Merrina Listiandari/Komunitas Djiwadjaman)

Ijal, pemandu wisata situs Candi Cangkuang, menyebutkan bahwa makam kuno yang dimaksud adalah makam Embah Dalem Arief Muhammad, salah satu pasukan Mataram yang kalah perang. Menghadapi kekalahan itu Arief Muhammad enggan kembali ke Mataram dan memilih untuk menetap dan tinggal di sebuah daratan di seberang danau yang menjadi cikal bakal sebuah kampung adat yang kini dikenal sebagai Kampung Pulo. Di Kawasan kampung itulah Candi Hindu tersebut berdiri.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Hikayat Perjalanan Orang Tionghoa ke Nusantara serta Pasang Surut Perayaan Imlek di Indonesia #1
NGULIK BANDUNG: Hikayat Perjalanan Orang Tionghoa ke Nusantara serta Pasang Surut Perayaan Imlek di Indonesia #2

Arca Siwa dan Nandi di Candi Cangkuang. (Foto: Merrina Listiandari/Komunitas Djiwadjaman)
Arca Siwa dan Nandi di Candi Cangkuang. (Foto: Merrina Listiandari/Komunitas Djiwadjaman)

Larangan di Kampung Adat dan Jumlah Rumah tidak Boleh Bertambah

Kampung Pulo, yang juga situs cagar budaya, merupakan kampung adat yang dihuni masyarakat keturunan dari Arief Muhammad. Kampung Pulo memiliki  beberapa keunikan sendiri. Ijal menjelaskan, Kampung Pulo hanya memiliki tujuh bangunan: 6 rumah yang melambangkan 6 keturunan dari Embah Dalem Arief Muhammad, yang terdiri dari 5 orang perempuan dan 1 orang laki-laki, serta 1 musala.

Sejak awal didirikan, kampung adat tersebut selalu memiliki enam rumah berbentuk jolopong yang tersusun tiga di kanan dan tiga di kiri. Jumlah dan bentuk rumah itu tidak pernah berubah hingga kini. Karena aturan itu, kampung tidak berkembang seperti kampung lain pada umumnya. Meski jumlah penduduk bertambah, mereka harus berpindah dan membangun kehidupan di tempat lain, sementara enam kepala keluarga tetap tinggal sebagai penjaga kampung adat.

Larangan lain yang harus dipatuhi masyarakat adat Kampung Pulo adalah tidak boleh memelihara hewan berkaki empat. Alasan pastinya tidak diketahui, namun menurut Ijal, larangan ini bisa jadi merupakan bentuk penghormatan Embah Dalem Arif Muhammad terhadap tanah yang ia tempati. Saat ia datang, di tempat itu sudah berdiri candi Hindu yang di dalamnya terdapat arca Siwa dan Nandi. Arif Muhammad diyakini memahami bahwa sapi, yang digambarkan sebagai Nandi, adalah hewan suci yang sangat dihormati dalam ajaran Hindu.

Candi Cangkuang, Kabupaten Garut. (Foto: Merrina Listiandari/Komunitas Djiwadjaman)
Candi Cangkuang, Kabupaten Garut. (Foto: Merrina Listiandari/Komunitas Djiwadjaman)

Pergantian Waktu yang Berbeda

Selain jumlah rumah yang tidak pernah berubah, ada aturan adat yang berlaku serta mengikat bagi penduduk Kampung Pulo. Menurut Ijal, kampung adat sangat memuliakan hari Rabu sehingga terdapat aturan yang berkenaan dengan hari tersebut. Kampung ini tidak dapat menerima tamu pada hari Rabu, serta dilarang membunyikan gong besar di hari tersebut.

Ada yang istimewa berkenaan dengan pergantian hari di Kampung Pulo. Bila kita mengenal pergantian hari dimulai setelah pukul 12 malam, maka kampung ini memberlakukan lepas asar (sekitaran pukul 16.00 WIB) sebagai penanda pergantian hari. Maka bila pengunjung datang di hari Selasa dan masih berada di kampung tersebut pada pukul 17.00 WIB, maka ia dianggap telah berada di kampung tersebut selama 2 hari.

Lukisan Embah Dalem Arief. (Foto: Merrina Listiandari/Komunitas Djiwadjaman)
Lukisan Embah Dalem Arief. (Foto: Merrina Listiandari/Komunitas Djiwadjaman)

Menjadi Tempat Peribadatan Umat Hindu

Candi Hindu ini diberi nama Candi Cangkuang, merujuk pada tanaman endemik di wilayah tersebut, yakni tanaman sejenis pandan-pandanan yang memiliki buah lonjong besar, mirip semacam buah merah khas Papua. Tanaman Cangkuang juga dirawat dengan sangat baik oleh masyarakat Kampung Pulo.

Walaupun berdiri di tengah kampung adat yang mayoritas beragama Islam, masyarakat setempat sangat menerima dan menghormati setiap umat Hindu yang ingin beribadat. Candi Cangkuang menjadi simbol yang sangat indah tentang makna  unity in diversity  atau persatuan di antara keberagaman.

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara bandungbergerak dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//