• Opini
  • Menggadaikan Hutan Mangrove Pantura Demi Tambak: Siapa yang Benar-Benar Diuntungkan?

Menggadaikan Hutan Mangrove Pantura Demi Tambak: Siapa yang Benar-Benar Diuntungkan?

Tulisan ini bukan antiketahanan pangan. Hutan mangrove adalah benteng terakhir ekosistem pesisir yang tak bisa ditukar dengan rupiah atau apa pun.

Fahrullah

Penjaga lapak Perpusjal Baca Kami

Kampung nelayan Cemara Kulon, Indramayu, penduduknya sebagian besar berprofesi sebagai nelayan, petani garam, dan pengolah ikan asin. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

4 Agustus 2025


BandungBergerak.idPemerintah baru saja menetapkan sebuah kebijakan yang mengejutkan dan mengkhawatirkan: sekitar 20.413 hektare kawasan hutan lindung di pesisir utara Jawa.

Barat (Pantura) akan dialihfungsikan untuk tambak ikan nila salin. Kebijakan ini tertuang dalam SK Menteri Kehutanan No. 274 Tahun 2025 dan menyasar empat kabupaten: Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu. Narasinya adalah ketahanan pangan nasional—tapi di balik angka-angka produksi 1,56 juta ton dan proyeksi omzet triliunan rupiah, tersembunyi krisis ekologi yang mengintai kita semua.

Hutan mangrove bukan sekadar deretan pohon pinggir laut. Ia adalah benteng hidup yang menyerap karbon lebih efisien dibanding hutan daratan, menahan abrasi, meredam tsunami, dan menjadi rumah bagi ratusan spesies biota laut dan burung. Saat ini, menurut data Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat, 90 persen dari sekitar 43.000 hektare hutan mangrove Pantura sudah rusak. Maka ketika pemerintah memilih menebang 16 ribu hektare tambahan demi tambak, kita patut bertanya: siapa yang benar-benar diuntungkan, dan siapa yang akan menanggung kerusakan?

Mengangkat bendera ketahanan pangan untuk membenarkan pembabatan hutan lindung adalah bentuk kontradiksi. Ketahanan pangan sejati tidak menabrak keberlanjutan lingkungan. Ia semestinya menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan daya dukung alam. Sebab ketika mangrove hilang, yang datang bukan hanya kolam ikan, tapi juga banjir rob, intrusi air laut, hilangnya keanekaragaman hayati, serta rusaknya sumber penghidupan nelayan tradisional yang bergantung pada ekosistem pesisir.

Kita semua tahu, proyek tambak skala besar sering dikemas dengan janji manis: menciptakan lapangan kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, hingga mendongkrak ekspor. Namun, sejarah mencatat bahwa proyek semacam ini kerap hanya menguntungkan segelintir pihak: pemilik modal, pengusaha tambak besar, dan elite yang berada di lingkar kebijakan. Sementara masyarakat lokal, yang semestinya jadi subjek utama pembangunan, justru hanya menjadi penonton—atau lebih parah: korban dari perubahan lingkungan yang tak mereka kehendaki.

Ironisnya, izin menebang di kawasan lindung kini bisa diperoleh cukup dengan membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Seolah kerusakan lingkungan bisa ditebus dengan angka rupiah. Padahal, ekosistem mangrove tidak bisa diganti begitu saja. Pemulihannya bisa memakan waktu puluhan tahun, dan itu pun belum tentu bisa mengembalikan fungsi ekologisnya secara utuh.

Baca Juga: Seremonial Menanam Mangrove di Subang ketika Hutan di Pantura Jabar Terancam SK Kemenhut
Revitalisasi Tambak Pantura Jabar oleh Pemerintah Pusat akan Memicu Kerusakan Hutan Mangrove dan Pesisir

Pembangunan yang merusak bukanlah kemajuan. Solusi yang merobohkan pondasi alam justru menciptakan masalah baru yang lebih kompleks. Maka pertanyaannya: mengapa tidak memanfaatkan lahan tidur, bekas tambak mangkrak, atau zona-zona nonhutan yang lebih sesuai? Mengapa hutan lindung selalu jadi sasaran pertama dalam skenario pembangunan skala besar?

Kita tidak antitambak. Kita mendukung ketahanan pangan. Tapi tidak dengan menukar benteng terakhir ekosistem pesisir dengan kolam-kolam yang hanya menguntungkan segelintir elite. Kita mendambakan pembangunan yang berakar pada keadilan ekologis dan sosial, bukan proyek yang menambah luka pada bumi yang sudah rapuh.

Masyarakat berhak tahu, berhak bertanya, dan berhak bersuara. Karena jika publik terus diam, maka preseden ini akan jadi pintu masuk bagi lebih banyak kawasan lindung untuk dikorbankan atas nama pembangunan. Hari ini hutan mangrove, besok bisa jadi gunung, laut, atau hutan tropis yang tersisa.

Pembangunan sejati bukan soal mengganti pohon dengan uang. Tapi soal bagaimana kita hidup berdampingan dengan alam, menjaga warisan ekologis untuk generasi mendatang, dan memastikan bahwa setiap kebijakan berpijak pada prinsip keadilan, keberlanjutan, dan partisipasi publik.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//