ARA Chronicle of A Moving, Menginterogasi Pramoedya Anta Toer Melalui Tarian
Berangkat dari novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer, ARA Chronicle of A Moving menghadirkan tubuh para penari sebagai teks yang terbuka untuk ditafsirkan.
Penulis Insan Radhiyan Nurrahim, 5 Agustus 2025
BandungBergerak.id - Perayaan 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer tidak hanya berlangsung di ranah literasi saja. Di Bandung, sebuah karya tari bertajuk ARA: Chronicle of A Moving mencoba menghadirkan tafsir berbeda terhadap warisan Pramoedya, khususnya novel Larasati.
Pertunjukan tari ARA: Chronicle of A Moving akan digelar pada Kamis, 7 Agustus 2025 pukul 19.00–21.00 WIB di Tjap Sahabat, Jalan Cibadak No.168A, Karanganyar, Bandung. Pertunjukan dengan koreografer Galuh Pangestri Larashati dan produser Zen RS ini dipentaskan oleh 10 penari dari Tarang Karuna: 7 penari perempuan dan 3 penari laki-laki.
Galuh menjelaskan, pertunjukan tari ini berakar dari novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer yang berlatar masa pascakolonial. Hal itu menjadi pijakan penting dalam berlangsungnya pertunjukan ini. Baginya, tokoh Larasati tidak hanya menarik, tetapi juga memiliki keterhubungan erat dengan kondisi perempuan hari ini.
Perempuan selalu menghadapi tantangan dalam memperjuangkan suara dan ruangnya sendiri. Seperti Ara yang menolak diperalat, perempuan masa kini juga dituntut berdaya menghadapi stereotip, diskriminasi, dan keterbatasan yang kerap membatasi pilihan hidupnya. Cerita ini menjadi pengingat bahwa keberanian perempuan untuk menentukan jalan dan melawan arus dalam dinamika kehidupan.
“Kerja tubuh penari itu seperti penulis yang mengekspresikan isi pikirannya. Dalam pertunjukan ini penari bergerak seperti merangkai karangan pikirannya,” ujar Galuh.
Proses kreatif yang dilalui sepuluh penari tidak terpaku pada latihan teknik gerak saja. Mereka terlebih dahulu membaca novel Larasati, kemudian mencoba menangkap dan merasakan apa yang tersirat dari bacaan tersebut. Dari situ, tubuh mereka ditantang untuk menuliskan kembali refleksi pribadi dalam bentuk gerak, suara, maupun tegangan.
“Dalam pertunjukan ini, para penari belajar menuliskan apa yang mereka baca, apa yang mereka tangkap tentang Larasati, apa yang mereka rasakan. Intinya, kita menggali potensi para penari,” lanjut Galuh.
Pendekatan ini dikenal sebagai korpografi, sebuah praktik koreografi yang tidak menghadirkan tubuh sebagai tokoh atau alur cerita, melainkan sebagai subjek yang aktif menulis. Tubuh penari menjadi teks yang terbuka, bisa ditafsirkan beragam oleh penonton. Konsep ini masih jarang dipakai di Indonesia, sehingga pertunjukan kali ini menjadi ruang eksperimen yang menantang sekaligus inovatif dalam seni pertunjukan di Indonesia.
Zen RS, produser eksekutif, menambahkan bahwa karya ini punya posisi unik dalam cara merayakan Pramoedya. Menurutnya, kebanyakan karya seni yang terinspirasi Pramoedya cenderung sekadar menerjemahkan atau mengadaptasi tulisannya ke medium lain.
“Karya ini tidak berhenti menerjemahkan. Niat saya justru untuk menginterogasi isi kepala Pramoedya. Kita memeriksa ulang, bahkan menentang sebagian pikirannya, terutama soal bagaimana ia menulis tentang perempuan,” kata Zen.
Baginya, perayaan 100 Tahun Pramoedya akan lebih bermakna jika dibuat relevan dengan masa kini, bukan sekadar seremoni. Salah satunya lewat seni gerak tubuh, yang masih jarang digunakan untuk mengingat Pramoedya.
“Harapannya karya ini terbebas dari belenggu nama besar Pramoedya. Kita tidak membawa dia ke altar atau persembahan besar, tapi membawanya ke meja depan untuk sejajar dengan kita, berdiskusi, bahkan beradu argumen,” tegas Zen.
ARA: Chronicle of A Moving tidak memberi jawaban atau solusi bagi penonton. Tapi pertunjukan ini justru menghadirkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana tubuh dibaca, bagaimana ia menulis, dan bagaimana pengalaman personal bisa dihadirkan di panggung. Kalimat tersirat yang menjadi semacam pengingat bagi para penari maupun penonton adalah: “Jika tubuhmu selama ini hanya dibaca, kapan kamu mulai menulis kalimatmu sendiri?”
Pertunjukan ini sekaligus menjadi ajakan reflektif bagi penonton untuk melihat ulang karya Pramoedya, tidak hanya sebagai penulis yang dipuja, tetapi juga sebagai ruang kritik dan perdebatan. Lewat tari, tubuh penari menghadirkan kemungkinan tafsir baru atas warisan Pramoedya, menegaskan bahwa karya besar tidak selalu harus diterima apa adanya, melainkan juga bisa dipertanyakan kembali.
Dengan memadukan bacaan sastra, latihan tubuh, dan kesadaran kritis, ARA Chronicle of A Moving berusaha memberi kontribusi baru pada cara masyarakat merayakan 100 Tahun Pramoedya. Ia mengajak publik untuk lebih dekat, lebih berani, dan lebih terbuka dalam menafsirkan ulang warisan pemikiran sang sastrawan. Publik diharapkan hadir tidak sekadar sebagai penonton, melainkan sebagai pembaca yang ikut menafsirkan “tulisan tubuh” para penari di atas panggung.
Baca Juga: Tarian Larasati dalam Arus Revolusi di IFI Bandung, Sebuah Adaptasi dari Novel Pramoedya Ananta Toer
PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Tertolong Buku dan Lagu

Karakter Larasati
Larasati, atau akrab disapa Ara, adalah tokoh utama dalam novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer yang pertama kali terbit sebagai cerita bersambung di surat kabar Bintang Timur tahun 1960. Dalam novel ini, Larasati digambarkan sebagai sosok perempuan yang kuat, teguh, dan penuh semangat perjuangan.
Larasati adalah potret perempuan republiken yang berdiri kokoh di tengah kekacauan revolusi. Ia bukan hanya tokoh pasif yang menyaksikan sejarah, melainkan menjadi bagian aktif dari perjuangan bangsa. Di tengah situasi Indonesia yang baru merdeka namun terancam kembali dijajah oleh Belanda antara tahun 1946–1949, Larasati tetap yakin bahwa republik akan menang. Ia memegang teguh keyakinannya bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hak mutlak rakyat, dan bahwa bangsa ini harus bebas dari cengkeraman feodalisme dan imperialisme.
Larasati tak gentar ikut terjun langsung ke medan pertempuran bersama para pemuda republik. Dalam salah satu adegan yang kuat dalam novel, Larasati bersama pemuda lain nekat mencegat truk patroli militer. Aksi ini menunjukkan keberanian luar biasa seorang perempuan yang tak sekadar mendukung dari belakang, tetapi hadir di garis depan perjuangan.
Larasati adalah gambaran perempuan Indonesia yang tidak tunduk pada nasib atau kekuasaan penjajah. Ia melawan, berjuang, dan berdiri sejajar dengan laki-laki dalam mempertahankan republik. Melalui tokoh ini, Pramoedya menghadirkan suara yang sering dilupakan dalam narasi sejarah: suara perempuan, suara rakyat biasa, yang tak pernah berhenti mencintai tanah airnya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB