PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Tertolong Buku dan Lagu
Diskusi “Aku dan Buku-buku Pram” menguak pengalaman personal para pramis di Bandung. Tertolong setelah menjual buku-buku Pram untuk mengatasi masalah finansial.
Penulis Resha Allen Islamey 11 Februari 2025
BandungBergerak.id - “Di dinding sunyi, kau ukir hidup. Keterasingan tak meredam aksara. Menembus gelap, membakar batas”. Nukilan lagu berjudul “Untuk Pram” tersebut dibuat musikus balada Abah Omtris untuk merayakan seabad kelahiran Pramoedya Anata Toer, sastrawan sayap kiri masyhur yang sempat dimiliki Indonesia.
Selama hidupnya Pram pernah dipenjara di bawah kepemimpinan rezim yang berbeda-beda, mulai dari era kolonial, kepemimpinan Sukarno, dan Suharto. Pram seolah tak kenal lelah menelurkan semangat perlawanan meski menghabiskan hidupnya di penjara.
Tubuhmu terkurung kelam
Tapi jiwamu tetap merdeka
Suaramu kini mengalir jauh
Di buku
Di hati
Di tanah manusia
Katamu api
Kata katamu bara.
Karya-karya Pram yang bagi Abah Omtris mengandung “api dan bara” meski ditulis beberapa dekade lalu, masih terus relevan dengan kondisi saat ini. Sejak membaca Bumi Manusia empat tahun lalu sejak itu pula Pram berpengaruh terhadap karya musik Abah Omtris.
Selain Bumi Manusia, karya Pram lainnya Larasati menginspirasi Omtris menelurkan lirik tentang perempuan. Dalam karyanya Pram selalu memperlihatkan kegelisahan dan kegaduhan yang mendalam dari tubuh perempuan. Kalau membongkar lebih jauh, kata Omtris, dalam karya Pram selalu ada kontradiksi dalam diri perempuan.
“Yang menarik bagi saya, Pram itu humanis, selain dia juga seorang feminis,” kata Omtris, menceritakan Pram sebagai sumber-sumber pengkaryaannya, selepas memainkan tiga lagu tentang Pram sebagai pembuka diskusi Sabtu Sore #16 di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu, 8 Februari 2025. Diskusi kali ini, mengahadirkan Deni Rachman, penulis sekaligus pengkliping
Selepas Omtris memainkan tiga lagu tentang Pram sebagai pemubuka Sabtu Sore Ke-16 di Bunga di Tembok, Bandung disusul dengan diskusi “Aku dan Buku-Buku Pram”, Sabtu, 8 Februari 2025.
Sabtu Sore bertajuk “Aku dan Buku-Buku Pram” itu mengahadirkan Deni Rachman, penulis sekaligus pengkliping Pram; Galuh Pangestri Larasati penari yang mengalihwahanakan novel Larasati ke dalam seni tari; dan Reita Ariyanti editor dan penerjemah.
Aku dan Buku-buku Pram
Galuh Pangestri Larasati pertama kali mengenal nama Pram ketika poster-poster yang memberitakan kematiannya terpampang di dinding kampus. Kala itu ramai diskusi tentang perseteruan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dengan Manifes Kebudayaan. Namun, Galuh memilih membaca Larasati, buku yang kebetulan judulnya sama dengan nama belakangnya. Ia kemudian mengalihwahanakan novel Larasati menjadi seni tari.
Menurut Galuh, tokoh-tokoh perempuan dalam buku Pram masih relevan dengan permasalahan yang dihadapi perempuan saat ini. Pram menguliti isu yang dihadapi perempuan seperti perdagangan manusia, pernikahan dini, dan pekerja perempuan.
Bagi Galuh, Nyai Ontosoroh dalam tetralogi Pulau Buru masih menjadi sosok yang paling menggugah dan layak menjadi panutan. “Kita bisa banyak belajar untuk menjadi perempuan kuat,” kata Galuh.
Sementara Reita Ariyanti mengatakan, buku Pram yang selalu bertengger di benaknya adalah Gadis Pantai. Cerita Gadis Pantai bahkan hingga mengganggu pikirannya ketika ia sedang bekerja. Jika bertemu Pram, ia ingin selalu diceritakan banyak tentang Gadis Pantai melalui penuturan langsung penulis kelahiran Blora.
Buku Gadis Pantai mulanya merupakan cerita yang dimuat bersambung pada 1962–1965. Namun, akibat pergantian rezim naskah yang akan dibukukan tersebut dimusnahkan. Untungnya, naskah pertama Gadis pantai ditemukan pada tahun 2003 dan diterbitkan pertama kali oleh penerbit Lentera Dipantara.
Lain hal dengan dengan Deni Rachman, buku-buku fisik Pram menyelamatkan hidupnya. Deni menjual hampir seluruh buku-buku yang ditulis oleh Pram maupun tentang Pram demi sesuatu yang haarus ia bayar. Buku langka seperti Keluarga Gerilya dan Arus Balik pun turut ia jual.
Tri Joko Her Riadi, Pemimpin Redaksi Bandung Bergerak, turut bercerita berkenaan buku Pram. Ketika awal-awal ia menjadi wartawan, seorang pedagang buku memanggilnya dan menawarkan sebuah buku berwarna hijau berjudul Keluarga Gerilya. Sialnya, ia harus menjualnya ketika butuh uang hanya untuk keperluan harian.
Baca Juga: PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Membaca Dalam Hati di The Room 19, Pameran Patung di Blora
PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Bercerita Jalan Raya Pos di Panti Wreda
PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Kembang Kata Book Club Edisi Gema Perlawanan Pramoedya Ananta Toer
Sumber-sumber Pengkaryaan Pram
Karya terlaris Pram, Bumi Manusia, terinspirasi dari kehidupan Tirto Adhi Soerjo, tokoh pers yang memiliki trah Bupati Blora. Deni Rachman yang pernah berkunjung ke rumah Pram menceritakan bahwa Pram menyebut-nyebut suatu proses biokimia yang terjadi dalam sebuah karya. Setelah Pram melakukan riset panjang terjadi proses biokimia di kepalanya yang bercampur dengan imajinasi untuk menghasilkan sosok dan karya yang kuat.
Untuk mencari asal-usul kepengarangan Pram, Deni menyebut Pram banyak melakukana riset ketika ia masih menjadi jurnalis. Maka setelah berselang sepuluh tahun lamanya Pram bisa menulis banyak buku ketika ia dipenjara di Pulau Buru.
“Kalau mau mengurut mata airnya, sebetulnya bukan Pramis, tapi Tirtois. Jadi Pram itu nge-fans banget sama Tirto. Jadi cerita dalam Bumi Manusia ada Minke, Nyai Ontosoroh, segala macam, menurut saya itu biokimia Pram dan imajinasi terhadap tokoh Tirto Adhi Soerjo,” kata Deni, menegaskan kuatnya pengaruh Tirto terhadap kepengarangan Pram.
Deni juga menjelaskan proses kratif Pram yang berasal dari kebiasaannya mengkliping dan mencari sumber sejarah ke perpustakaan nasional. Selain itu, Pram menggunakan teknik wawancara sebagai sumber sejarah lisan. Misalnya, buku Perawan dalam Cengkeraman Militer berasal dari wawancara dengan para tahanan politik.
Pram ketika menulis karakter perempuan yang sangat kuat pun masih berhubungan dengan Tirto. Deni membayangkan sosok Nyai Ontosoroh merupakan nenek dari Tirto yang suaminya disingkirkan oleh pemerintahan kolonial. Dalam catatan sejarah, sosok nenek Tirto pernah melawan kolonialisme Belanda melalui jalur hukum dan menolak pesangon dari pemerintah.
Di samping itu sosok ibu Pram sendiri turut menginspirasi tokoh-tokoh perempuan dalam karyanya. Bersama ibunya dan keluarga Pram mengalami kemisikan pada tahun 20-an yang membuatnya kesulitan bertahan hidup.
Pram memilih melawan penderitaan yang ia alami sejak kecil dengan cara menulis. Baginya menulis adalah melawan.
*Kawan-kawan bisa menyimak reportase lain dari Resha Allen Islamey, atau tulisan lain tentang Perayaan Seabad Pram di Bandung