Tarian Larasati dalam Arus Revolusi di IFI Bandung, Sebuah Adaptasi dari Novel Pramoedya Ananta Toer
Novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer menjelma dalam bentuk tarian kontemporer. Dibawakan Kelompok Tari Tarang Karuna, penonton bebas menafsirkannya.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah14 November 2024
BandungBergerak.id – Kerlip lampu panggung menyorot sembilan penari yang memulai tariannya tanpa alas kaki. Tangan mereka meliuk-liuk lentur seperti kupu-kupu. Para penonton terpaku dalam balutan pendingin udara, ditemani irama musik beat hiphop tanpa rentetan rima dari seorang rapper.
Di atas turntable, tangan DJ Ways begitu tenang menari. Kepalanya mengangguk-angguk mengikuti gerakan para penari.
Sementara para penari berbalut kebaya kekinian beraneka warna dan corak, terus bergerak memamerkan gerakan lentur. Mereka membagi tempat dan waktu secara bergiliran. Di babak awal, empat orang di atas panggung, lima orang di lantai. Sang kereografer, Galuh Pangestri pun ikut tampil.
Tarian yang dibawakan para penari muda itu berjudul “Ara 1.0: Kupu-kupu Revolusi”, sebuah tafsir awal novel Larasati karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang dipentaskan di IFI Bandung, Jumat, 8 Oktober 2024. Mereka berasal dari Kelompok Tari Tarang Karuna.
Larasati merupakan novel Pram terbitan Hasta Mitra, Jakarta, April 2000. Sebelumnya, novel ini merupakan cerita bersambung yang dimuat Bintang Timur edisi 2 April 1960 - 17 Mei 1960. Larasati atau Ara ditafsirkan oleh para penari dengan bermacam gerakan. Empat orang berjajar membentangkan tangan, mengangkatnya dan mengepal persis seperti orang yang melambaikan tangan menaiki kereta. Mereka berputar dan kemudian melangkah ke belakang panggung.
Di atas panggung, Galuh Pangestri membawa kursi sambil menari. Penampilannya ini merupakan bagian dari cerita Ara yang digambarkan oleh Pramoedya sebagai sosok artis perempuan di zaman setelah proklamasi Indonesia di tengah kecamuk revolusi.
Deni Rachman, salah seorang penonton sekaligus penulis buku “Pram dalam Kliping” mengatakan, Larasati sebetulnya ada di zaman revolusi fisik. Kisah ini melibatkan tokoh bernama Ara. Ketika republik pindah ke Yogyakarta, Ara diposisikan harus melawan arus ke daerah pendudukan NICA (Netherlands Indies Civil Administarition).
"Di proses itu diperlihatkan rumitnya suasana revolusi yang karu-karuan, ditafsirkan menjadi musik dan tarian. Tadi dilihat ada satu kursi kosong bahwa di situ ada kepemimpinan yang kosong, mungkin ada daerah-daerah yang kosong pimpinan karena semua terpusat di Jogja,” kata Deni Rachman.
Bagi Deni, sosok Ara atau Larasati merupakan tokoh yang teguh memegang pendirian. Ia tetap menjadi orang republik saat gejolak revolusi bergulat dengan batinnya. “Pramoedya menulis sejarah dari suara warga, dari bintang film biasa, tersisihkan karena dia tidak bisa pentas, tidak bisa berkarya, tapi dia tetap teguh pada republik,” ujar Deni.
Deni juga terlibat pada proses close reading sebelum pementasan tarian ini dimulai. Ini kali kedua ia melihat anak rohani Pramoedya Ananta Toer dialihwahanakan menjadi gelaran seni di IFI Bandung. Sebelumnya, tahun 1999 karya lain dari Pram, Mangir menjadi lakon teater yang dipentaskan di IFI (dulu CCF) Bandung juga.
“Jadi gini, di sini (IFI Bandung) sangat legend. Melihat Pram di sini pada tahun 1999 Manggir oleh Stema ITB dan tari kontemporer oleh Teh Galuh. Berharap nanti ada lagi,” tutur Deni.
Penampilan Kelompok Tari Tarang Karuna ini juga disaksikan putri Pramoedya Ananta Toer, Astuti Ananta Toer.
Baca Juga: Merayakan Pramoedya Ananta Toer di Bandung
BANDUNG HARI INI: Orasi Budaya Pramoedya Ananta Toer di Gedung Indonesia Menggugat
RESENSI BUKU: Pramoedya Menggugat Praktik Feodalisme dalam Novel Gadis Pantai (1)
Tarian Kontemporer Menuju Satu Abad Pramoedya Ananta Toer
Tidak mudah membawakan karya sastrawan masyhur ke dalam tarian. Koreografi Galuh Pangestri mengatakan, Kelompok Tari Tarang Karuna memerlukan waktu selama enam bulan untuk mengadaptasi novel Larasati ke dalam tarian. Mereka harus mengekstrak energi tokoh Larasati dan peristiwa di dalam novel menjadi sebuah tarian kontemporer.
Seni tari kontemporer sendiri tak diatur dengan pendekatan adegan, melainkan lebih memaknai konteks tanpa menghilangkan asal-usul dan inspirasinya. Di tarian Larasati ini para penonton pun bisa bebas menafsirkan tarian yang tidak banyak memainkan simbol-simbol properti ini.
Galuh menyebut, tokoh Ara mengajarkan apa arti perubahan dan perjuangan yang sering kali menjadi diskusi panjang saat proses latihan bersama para penari.
“Kita mempertanyakan revolusi itu apa. Maka dari itu ada lima tahun yang penuh situasi, ada Renville ada pembagian wilayah Indonesia Serikat. itu kemudian kita coba tarik, apa itu revolusi, perubahan itu apa, perjuangan itu apa,” beber Galuh.
Ara sendiri sama seperti rakyat biasa di masa sekarang yang terus berada dan berjuang dalam pusaran revolusi. Tarian ini pun dilakukan untuk menyambut seabad Pramoedya Ananta Toer.
Mengenal Kelompok Tarang Karuna
Kelompok Tarang Karuna terdiri dari penari-penari muda asal Kota Bandung. Sintas Mahardika mengatakan, kelompok tari ini bisa membawakan tarian novel Larasati tak lepas dari inisiatif Galuh Pangestri.
Di tengah kesibukannya sebagai Manajer Program Sasikirana, kelompok tari dari Kota Bandung, Galuh rutin melakukan latihan seminggu tiga kali yaitu Senin, Selasa, dan Kamis (Wicara Larasati: Sehimpun Opini Perkawanan Penari yang dimuat dalam zine Ara 1.0 (2024)).
Sejak awal, tarian ini memang dibuat untuk menyambut seabad Pramoedya Ananta Toer pada 2025 nanti. Tarian ini dibawakan sembilan penari Tarang Karuna yaitu, Angline Azhar, Utamy Tyas, Wening Sari, Meytha Artha, Salmalia Larassari, Hilmi Dwi, Galuh Pangestri, Dansiel Lebang, dan Wanti Septiani.
Selama latihan, lanjut Sintas, para penari diberikan keleluasaan untuk bereksplorasi. Tiap penari mendapatkan ruang menafsirkan Larasati sebagai sebuah novel dan kemungkinan perluasannya sebagai sebuah karya tari.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Pramoedya Ananta Toer