• Buku
  • RESENSI BUKU: Pramoedya Menggugat Praktik Feodalisme dalam Novel Gadis Pantai (1)

RESENSI BUKU: Pramoedya Menggugat Praktik Feodalisme dalam Novel Gadis Pantai (1)

Pergulatan perempuan dalam kehidupan feodalisme di Jawa. Perjalanan Gadis Pantai.

Buku Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer terbit tahun 2000 oleh penerbit Hasta Mitra. (Foto: Andika Yudhistira Pratama)

Penulis Andika Yudhistira Pratama1 Desember 2022


BandungBergerak.id—Feodalisme belum hilang di “Bumi Manusia”, setiap wilayah memiliki corak feodalisme yang berbeda-beda, pun di zaman modern ini feodalisme seakan kekal bersemayam dalam kehidupan masyarakat. Dalam alam feodalisme harga dari seorang manusia ditentukan berdasarkan status sosial. Manusia yang terlahir sebagai manusia yang status sosialnya berada di lapisan paling bawah, melata di hadapan manusia yang berkuasa atasnya sudah menjadi keharusan. Hal itulah yang ditampilkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam karya fiksinya berjudul “Gadis Pantai”, sekaligus Pramoedya menyindir manusia-manusia dari status sosialnya yang tinggi dalam feodalisme Jawa.

Kisah dalam karya fiksi Gadis Pantai mengisahkan mengenai kehidupan feodalisme di Jawa. Tokoh Gadis Pantai berasal dari masyarakat pesisir yang mayoritas mengandalkan kehidupannya sebagai nelayan dan dianggap status sosialnya rendah, sekalipun Gadis Pantai terlahir sebagai bunga Kampung Nelayan sepenggal pantai keresidenan Jepara Rembang.

Sedangkan tokoh Bendoro Bupati, seorang bangsawan dan representasi dari Priyayi Jawa yang dalam kehidupan feodalisme Jawa kedudukannya tinggi dan berhak untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia yang berasal dari daerah pesisir. Roman Keluarga Gadis Pantai ini termasuk dalam edisi pembebasan dan terbagi ke dalam 4 bagian kisah perjalanan dari si Gadis Pantai.

Baca Juga: RESENSI BUKU: Menghayati Hidup dan Karya Jung Lewat Jung Café
RESENSI BUKU: Pertentangan Kelas Zaman Kolonial
RESENSI BUKU: Di Balik Senyuman Para Eksil

Bagian Pertama

Di bagian pertama ini, diawali dengan kisah singkat dari kelahiran si Gadis Pantai itu sendiri, yang empat belas tahun kemudian setelah kelahirannya Gadis Pantai dibawa kedua orang tuanya untuk dinikahkan dengan Bendoro yang berada di Kota, setelah malam sebelumnya sudah dinikahkan dengan sebilah keris. “Kini ia istri sebilah keris, wakil seseorang yang tak pernah dilihatnya seumur hidup.” (hlm. 2).

Dalam alam feodal pernikahan menjadi satu jalan untuk meningkatkan status sosial terutama bagi masyarakat yang berasa dari status sosial yang rendah seperti keluarga si Gadis Pantai. Hal semacam ini terdapat dalam Percakan Emak dalam perjalanan untuk pelaksanaan pernikahan, bagi si Gadis Pantai pernikahan ini berarti kehilangan kehidupannya yang dia cintai dan terpisahkan dari kampung nelayan yang dicintainya.

“Ssst. Jangan Nangis. Mulai hari ini kau tinggal di gedung besar, nak. Tidak lagi di gubuk. Kau tak lagi buang air di pantai. Kau tak lagi menjahit layar dan jala, tapi sutera, nak. Sst, ssst. Jangan nangis.” (hlm. 2)

“Aku dan Bapakmu banting tulang biar kau rasakan pakai kain, pakai kenaya, kalung, anting seindah itu. Dan gelang ular itu ...”, sekarang emaknya terhenti bicara, menahan sedan. Kemudian meneruskan, “Uh-uh-uh, tak pernah aku mimpi anakku pernah mengenakannya.” Dan sekarang meledak tangisnya yang tertahan. (hlm. 3)

Merupakan hal yang lumrah bila dalam alam feodal pernikahan menjadi suatu momentum yang tepat untuk menaikkan status sosial seseorang. Sebaliknya raja-raja dana pejabat-pejabat lokal memiliki istri dari daerah sekitar kekuasaannya bahkan meminang wanita dari luar wilayah kekuasaannya adalah bentuk politis untuk melegitimasi kekuasaan raja/pejabat.

Selain itu dalam bagian pertama ini, terdapat penggambaran kondisi di mana feodalisme berkolaborasi dengan kolonial Belanda, serta merendahkan manusia yang berasal dari status sosial yang dianggapnya rendah. Seperti dalam percakapan antara Si Gadis Pantai yang sudah mendapat gelar Mas Nganten dengan pelayannya (Bujang) yang dipanggil Mbok.

 

“Mbok kan pernah kawin, Mbok?”

Mbok terkejut dan buru-buru duduk. “Pernah, Mas Nganten. Dua kali.”

 “Tidak Punya Naka?”

 “Mestinya punya, Mas Nganten.”

 “Mati laki Mbok?”

“Ya, mas Nganten. Begitulah cerita orang kebanyakan seperti sahaya ini. Sahaya kawin, dan karena sudah Kawin lantas dianggap dewasa oleh lurah. Lantas sahaya dikirim ke Jepara sana buat kerja rodi, tanam coklat. Suami sahaya ikut. Empat bulan lamanya, Mas nganten. Anak sahaya gugur sebelum dapat menghiruo udara, Mas Nganten. Perut sahaya disepak mandor. Ya, apa mau dikata. Waktu itu kepala sahaya pening. Duduk berteduh di bawah pohon. Dia datang, dia – mandor. Tiba-tiba datang seorang pembesar Belanda dengan beberapa orang kompeni. Mandor menarik-narik tangan sahaya supaya kerja lagi. Tapi sahaya sudah lemas. Dia sepak perut sahaya. Pemandangan sahaya berputar-putar. Tapi masih sahaya dengar laki sahaya datang berlari-larian, memekik seperti orang gila. Lantas sahaya tak sadarkan diri.” (hlm. 45)

 

Bagian Kedua

Setahun setelah tinggal di Pendopo, Gadis Pantai mulai terbiasa dengan kehidupan barunya, meskipun kesedihan dan kenangan akan kedua orang tuanya dan kampung nelayannya masih menghampiri alam pikiran si Gadis Pantai, dan mulai merasakan kesepian apabila ditinggalkan pergi berhari-hari oleh Bendoro. Pramoedya Ananta Toer sebagai penulis dalam roman keluarga ini, melemparkan kritik terhadap kesenian Wayang, mengutip dari Asep Samboja dalam Kumparan dalam buku Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir (Depok: Komunitas Bambu, 2008), Pramoedya Ananta Toer mengatakan kepada Kees Snoek bahwa sejak berumur 17 tahun, dirinya sudah menolak wayang, karena wayang pada dasarnya hanya omong kosong belaka.

Kenapa Pramoedya menilai wayang hanya omong kosong belaka? Menurut Pram, masyarakat Jawa dibesarkan oleh kisah Mahabarata dan mendapatkan inspirasi darinya. Dan, klimaks Mahabarata adalah pembantaian yang dilakukan saudaranya sendiri. Jadi, Pram menyimpulkan, pendidikan budaya Jawa terdiri dari perang saudara. “Oleh karena itu, orang Indonesia tidak pernah akan menang melawan bangsa asing,” katanya. (https://malang.kompas.com/read/2009/06/09/00592273/kenapa.pramoedya.menolak.wayang).

Kritik Pramoedya terhadap kesenian wayang terdapat ketika Gadis Pantai (Mas Nganten) menanyakan kehebatan dari Suaminya, Bendoro sehingga orang-orang pada takut kepada Bendoro  yang memiliki penampilan yang langsing, langsat, dan pucat, serta sehalus itu kepada Mbok (pelayang/bujang). Si mBok memulai dengan bercerita:

 

“Mas Nganten dalam setiap peperangan raksasa selamanya dikalahkan oleh satria yang kurus-kurus gepeng dan layu. Gergaji cakil yang gesit penuh api sekali tersenggol jari kelingking satria, dia rubuh takkan bangun lagi. Dan satria itu hampir-hampir tidak pernah beranjak dari tempatnya, sedang si cakil berputar melompat, berjungkir balik meledek.”

“Wayangkah itu?”

“Di tempat Mas Nganten tak ada wayang?”

“kami hanya pernah dengar. Tak ada gambar wayang di rumah-rumah kami di kampung nelayang.”

“Lha, mengapa?”

“Sekali seorang kota membawa wayang kulit ke kampung nelayan. Kakek tua marah. Dipukulnya orang itu dengan tongkatnya. Orang itu juga jadi marah kena pukul. Digelandangnya kakek. Waktu hendak diguguhkan tinjunya pada mulut kakek, nampak ia tak sampai hati, dan didorongnya kakek sampai sampai terjatuh di atas pasir. Kakek keparat, kata orang itu. Apa dosaku? Apa dosa wayang ini? Kakek mengerang-ngerang. Waktu itu aku ada di situ. Mereka berhadap-hadapan di sebuah jalan kecil yang terapit barisan semak-semak. Tak ada orang lain lagi yang melihat. Aku hampiri kakek, mencoba mendirikannya. Orang kota itu melihat padaku, kemudian membantu aku mendirikan kakek. Dosamu, orang kota berangasan, kau mau tipu kami dengan wayangmu. Tipu? Pekik orang kota. Benar, tipu! Kakek menjerit. Kau mau menjual omong kosong. Kau mau buali orang kampung dengan kehebatan selembar kulit kerbau yang kau pahati dan kau lukisi berwana-warni, kau akan katakan pada mereka, wayangmu, sangat berkuasa, tak ada bandingan. Bohong! Di sini Cuma laut yang berkuasa. Bukan wayang-wayang itu.”

“Sombong benar kakek kampung itu. Kalau dia di sini, dia akan tegeletak tak dapat berkutik seperti batu yang habis dibelah.”

“Nelayan dari kampung-kampung lebih-lebih lagi malah tidak mau menyebut kata wayang mBok. Mereka tak suka.”

“Mereka tidak mengerti, Mas Nganten. Wayang itu nenek moyang kita sendiri.”

“Nenek moyang mBok sudah tidak ada, tapi laut tetap ada.”

“Uh-uh. Mas Nganten, kita tidak bakal ada kalau nenek moyang tidak ada.”

“Kakek itu pernah bilang mBok, segalanya bersumber di laut. Tak ada yang lebih berkuasa dari laut. Nenek moyang kami juga bakal tidak ada kalau laut tidak ada.”

“Entahlah, Mas Nganten entahlah,” jawab pelayan itu sopan dengan kejengkelannya

Dan tanpa disadari, semua pertanyaan Gadis Pantai tak lain dari ucapan cemburu hatinya. Ia ingin ketahui segala tentang suaminya yang sekaligus juga tuan dan majikannya, tapi itu takan mungkin ia berani tanyakan pada Bendoro Sendiri (hlm, 67-68)

 

Selain kritik terhadap kesenian wayang, di bagian kedua ini Pramoedya ingin menunjukan budaya patriarki yang melekat dalam alam feodal, masih dalam percakapan yang dimulai dari pernyataan si Gadis Pantai kepada mBok:

 

“Apakah di kota suami-istri tidak pernah bicara?”

“Ah, Mas Nganten, di kota, barangkali di semua kota – dunia kepunyaan lelaki. Barangkali di kampung nelayang tidak. Di kota perempuan berada dalam dunia yang dipunyai lelaki, Mas Nganten.

“Lantas apa yang dipunyai perempuan kota?”

“Tak punya apa-apa, mas Nganten Kecuali ...”

“Ya?”

“kewajiban menjaga setiap milik lelaki.”

“Lantas milik perempuan itu sendiri apa?”

“Tidak ada, Mas Nganten. Dia Sendiri hak-milik lelaki.” (hlm. 69)

 

Kemudian, terdapat percakapan antara Bendoro dengan Gadis Pantai, selepas Bendoro pulang dari pekerjaannya. Di mana dalam percakapan tersebut menunjukkan arogansi dari seorang Priyayi yang merendahkan masyarakat di pesisir pantai yang mayoritas seorang nelayan, termasuk ayah dari si Gadis Pantai yang notabene mertua dari Bendoro.

 

“Mas Nganten. Mutiara, kau pernah lihat mutiara?”

“Belum, Bendoro.”

Bendoro tertawa terbahak sekali ini, senang, terbuka.

“Anak laut yang tak pernah lihat intan laut.” Sekali lagi ia tertawa. “ Bapakmu bagaimana, pernah lihat mutiara?”

“Cerita pun tidak pernah Bendoro.”

Kembali bendoro tertawa terbahak. “Cuma orang-orang berani bisa dapatkan mutiara, Mas Nganten. Dia selami laut sampai ke dasarnya. Dibaliknya setiap karang di dasar sana, diangkatnya setiap tiram ....”

Gadis Pantai merasa jantungnya terhenti berdetak, dan sebilah sembilu mengiris ujung hatinya. “Bapak sahaya, Bendoro, mungkin kurang berani, mungkin juga tidak menyelam,” katanya hati-hati. “kasihan bapak sahaya, Bendoro. Kasihan memang. Tapi dia memang buka cari mutiara, tapi cari nasi, jagung buat anak-bininya.”

“Salah,” Bendoro menggunting. “Mencari jagung tidaklah di laut.”

“Sahaya Bendoro. Mungkin itulah yang disebut takdir bagi orang-orang rendahan yang bodoh.” (hlm. 83-84)

 

Sebagian besar dari kita sering mendengar istilah “seorang yang tidak memiliki kekuasaan, lemah di hadapan hukum”. Istilah itu berlaku juga dalam satu adegan dalam satu peristiwa di bagian kedua ini, ketika Gadis Pantai (Mas Nganten) kehilangan uangnya yang dicuri oleh agus-agus (calon priyayi) yang tinggal di kediaman Bendoro.

Ketika Gadis Pantai tersadarkan bahwa uang belanja hilang dan mBok yang mengetahui peristiwa itu segera melaporkan kepada Bendoro. Tetapi karena agus-agus sebagai calon priyayi status sosialnya lebih tinggi dan orang dari status rendahan seperti mBok tidak layak menggugat agus-agus tersebut di hadapan Bendoro, hingga berakibat pengusiran terhadap mBok.

 

“mBok, kau mau lawan kejahatan ini dengan tanganmu, tapi kau tak mampu. Aka itu kau lawan dengan lidahmu. Kau pun tak mampu. Kemudian kau Cuma melawan dengan hatimu. Setidak-tidaknya kau melawan.

“Sahaya Bendoro.”

“Itu baik sekali.”

“Siapa ajari kau berbuat begitu”

“Pengalaman dan perasaan seumur hidup inilah, Bendoro.”

“Kalau begitu pengalaman dan perasaan itu belum lagi cukup.”

“Sahaya, Bendoro.”

“Tahu kau di mana kekurangannya?”

“Kalau tidak khilaf, tahulah sahaya Bendoro.”

“Aku ingin tahu kekurangan itu.”

“Kekurangan sahaya ialah .... ialah ....ialah karena sahaya terus berusaha bersetia pada Bendoro dan melakukan segala yang dijadikan kewajiban sahaya, karena itu sampai-sampai berani menggugat agus-agus bendoro-bendoro muda.”

“Tepat.”

“Sahaya Bendoro.”

“jadi kau tahu hukumannya.”

“Bagi orang semacam sahaya, Bendoro, sebenarnya tidak ada hukuman lagi. Hidup pun sudah hukuman.”

“Syirik! Tak tahu bersyukut pada Tuhan.”

“Sahaya, Bendoro.”

“Pergi kau. Sekarang juga tak perlu injakan kaki di rumah ini, jangan pula di pekarangannya.” (hlm. 96-97).

 

Betapa rendahnya harga sebuah kebenaran dan kesetiaan dari mBok dihadapan Bendoro, hingga diusir dan digantikan oleh wanita muda dari kota Demak bernama Mardinah yang menggantikan peran mBok untuk melayani Gadis Pantai (Mas Nganten). Permasalahan baru bagi Mas Nganten (Gadis Pantai). Begitulah feodalisme yang bagi masyarakat dari status sosial yang rendah hidup seakan hanya sebuah hukuman, bahkan untuk berlaku adil pun tetap salah di hadapan individu-individu yang berstatus sosial yang lebih tinggi.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//