Mengenal Ratna Asmara di Perpustakaan Bunga di Tembok, Mengungkap Peran Perempuan di Belantara Perfilman Indonesia yang Serba Maskulin
Ratna Asmara disebut sutradara perempuan pertama di Indonesia. Namanya tenggelam di industri film nasional yang serba maskulin dan abai terhadap sejarah.
Penulis Alwi Anas7 Agustus 2025
BandungBergerak.id - Ia terlahir dengan nama Suratna di Sawahlunto, Sumatra Barat, 1913. Di dunia film ia memakai nama panggung Ratna Asmara. Salah satu film yang ia sutradarai berjudul Sedap Malam (1951) yang berkisah tentang solidaritas perempuan untuk korban kekerasan seksual jugun ianfu di masa penjajahan Jepang. Sebagai sutradara perempuan pertama di Indonesia, sosok Ratna tenggelam di tengah arus perfilman nasional yang serba ‘kebapakkan’ atau maskulin.
“Tak dapat dipungkiri bahwa proses kanonisasi film Indonesia selama Orde Baru menggunakan logika Bapak. Ada Bapak Film Nasional. Ada Bapak Industri Film Nasional. Ada Bapak Artis Film Nasional. Ada pula Bapak Film Komedi. Proses kanonisasi pada figur laki-laki dan filmnya dalam industri film di Indonesia perlahan-lahan menutup akses pada film yang dibuat para puan,” tulis Umi Lestari dan Lisabona Rahman.
Kutipan tersebut diambil dari buku “Ratna Asmara Perempuan di Dua Sisi Kamera” yang disusun tim Kelas Liarsip, sebuah kolektif yang terdiri dari enam perempuan dan non-biner dengan latar belakang beragam dengan fokus pada praktik penelitian arsip film karya dan sosok perempuan dalam sejarah sinema Indonesia. Kelas Liarsip terdiri dari Umi Lestari, Julita Pratiwi, Efi Sri Handayani, Imelda Taurina Mandala, Lisabona Rahman, dan Siti Anisah. Buku ini diterbitkan Indonesian Visual Art Arvhieve.
Umi Lestari dalam bab 1 buku berjudul Ratna Asmara menulis, debut pertama Ratna sebagai sutradara film adalah Sedap Malam (1951). Film ini diproduksi sejak bulan September 1950, diluncurkan 14 Februari 1951.
“Sebagai film pertama yang disutradarai Ratna maupun film pertama Perseroan Artis Indonesia (Persari) yang didirikan oleh Bapak Industri Film Nasional, Djamaluddin Malik (1917-1970), film ini merupakan dobrakan di industri film pada tahun 1950-an. Filmnya tidak hanya membicarakan kisah perempuan penyintas jugun ianfu, tetapi juga disutradarai oleh seorang perempuan,” tulis Umi, diakses dari buku “Ratna Asmara Perempuan di Dua Sisi Kamera”, Kamis, 7 Agustus 2025.
Berdasarkan buku “Ratna Asmara Perempuan di Dua Sisi Kamera”, Kelas Liarsip kemudian menyusun film dokumenter bertajuk Merangkai Ratna Asmara. Film ini diputar di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Jumat, 1 Agustus 2025. Audiesn film yang didominasi orang-orang muda disodorkan sejarah yang tidak banyak diungkap, tentang peran perempuan dalam dunia perfilman nasional yang dibiarkan lapuk dan dilupakan.
Melalui riset selama lebih dari lima tahun, kelompok Kelas Liarsip merekonstruksi sejarah dan karya Ratna Asmara dengan mengandalkan sumber-sumber tak konvensional yang tersebar, tidak lengkap, dan jauh dari dokumentasi resmi.
Buku “Ratna Asmara Perempuan di Dua Sisi Kamera” menjadi pijakan awal penelitian dokumenter ini. Dalam pengumpulan data, para peneliti Kelas Liarsip menemukan beragam sumber sekunder seperti iklan film, sinopsis dari publisis, ulasan media massa, hingga kolom gosip. Sumber-sumber ini diperlakukan sebagai arsip penting, namun memerlukan interpretasi yang hati-hati agar tidak terjebak dalam bias narasi dominan.
Baca Juga: Di Balik Lensa Merangkai Ratna Asmara, Sutradara Perempuan Pertama di Indonesia
Kematian Rakyat Seperti di Film-film

Salah satu tantangan utama adalah minimnya dokumentasi resmi yang mencatat kontribusi perempuan dalam industri perfilman. Banyak informasi penting justru tersembunyi di sumber informal dan tidak terorganisir, yang sering kali lebih menyoroti sisi pribadi daripada profesionalisme atau kreativitas Ratna Asmara.
Melalui pendekatan feminis, Kelas Liarsip sengaja menampilkan arsip dalam kondisi aslinya—terlapuk, tidak utuh, bahkan "mentah". Keputusan ini menunjukkan bagaimana sejarah mengalami pelapukan, kehilangan, dan bagaimana upaya pelestariannya tak melulu soal digitalisasi dan pembersihan. Ini menjadi bagian penting dari presentasi riset mereka hingga ke ranah internasional.
Selain memulihkan jejak Ratna Asmara, riset ini juga mengungkapkan bagaimana aspek-aspek penting dalam sejarah perfilman Indonesia, seperti peran sponsor Tionghoa, pemeran, dan kru film, turut terhapus dari catatan resmi. Informasi yang hilang tersebut membuat sejarah perfilman Indonesia menjadi tidak utuh.
Pemutaran film tentang Ratna Asmara mendapat sambutan beragam audiens. Sylvie Tanaga, penulis, menilai proses menemukan kisah Ratna Asmara tidaklah mudah. “Arsip tentang dirinya tersebar dan tidak lengkap, ditemukan bukan di arsip resmi, melainkan di kolom gosip majalah-majalah populer masa kolonial dan awal kemerdekaan Indonesia,” kata Sylvie Tanaga, dalam sesi diskusi setelah pemutaran film.
Menurut Sylvie, film ini menunjukkan betapa sulitnya merekonstruksi sejarah perempuan dalam industri perfilman yang kental dengan peran laki-laki. Tanggapan serupa disampaikan Ema dari komunitas film LayarKita.
“Penelitian ini juga menekankan pentingnya perjuangan untuk mengingat dan merekonstruksi sejarah, karena ingatan bukanlah sesuatu yang otomatis, melainkan harus diperjuangkan,” ujar Ema, mengutip narasi di dalam film.
Ema menambahkan, penelitian ini tidak hanya memberikan gambaran tentang kehidupan Ratna Asmara, tetapi juga memberikan kontribusi penting bagi pemahaman sejarah perfilman Indonesia secara lebih luas dan inklusif. Lebih dari itu, penelitian ini menjadi contoh bagaimana sebuah kelompok kecil dapat berkontribusi besar dalam melestarikan dan menginterpretasikan sejarah yang sering kali terabaikan.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB