• Berita
  • Di Balik Lensa Merangkai Ratna Asmara, Sutradara Perempuan Pertama di Indonesia

Di Balik Lensa Merangkai Ratna Asmara, Sutradara Perempuan Pertama di Indonesia

Film dokumenter “Merangkai Ratna Asmara” mengenalkan peran perempuan di peta sinematografi Indonesia yang didominasi laki-laki.

Efi Sri Handayani (kiri), periset/arsiparis, Ersya Ruswandono (kanan), sutradara film dokumenter Merangkai Ratna Asmara, dalam pemutaran dan diskusi film dokumenter di Gedung Fakultas Filsafat Unpar, Bandung, Jumat, 17 November 2023. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergak.id)

Penulis Fitri Amanda 21 November 2023


BandungBergerak.id - Di kancah yang kerap kali didominasi laki-laki, Ratna Asmara menjadi pengecualian. Di peta sinematografi Indonesia ia adalah sosok yang komplet. Berkiprah sejak tahun 1940 hingga 1955, Ratna menekuni sutradara, aktris, sekaligus produser film.

Peran Ratna di bidang seni peran ini dipaparkan dalam film dokumenter “Merangkai Ratna Asmara”yang diputar pada Jumat, 17 November 2023, di Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan (Unpar), Bandung.

Selain memperkenalkan sosok Ratna Asmara dan rekam jejak karyanya, film dokumenter garapan sutradarai Ersya Ruswandono menyajikan proses kerja kreatif Kelas Liarsip yang merupakan kelompok periset dan arsiparis film dalam menelusuri sosok Ratna Asmara melalui telusur arsip-arsip yang tersisa. Kelas Liarsip menemukan jawaban dari pertanyaan besar mengenai sosok sutradara perempuan pertama di Indonesia.

Ersya selaku sutradara film dokumenter “Merangkai Ratna Asmara” mengaku memiliki pengalaman personal yang sejalan dengan Ratna Asmara. Hal tersebut menjadi pendorongnya dalam memutuskan membuat film dokumenter ini. Perjuangan Ersya dalam mencapai posisi sutradara menciptakan ikatan emosional yang mendalam antara dirinya dengan Ratna Asmara.

“Setelah membaca profil ibu Ratna Asmara yang dituliskan oleh Umi Lestari dalam sebuah jurnal waktu itu, saya merasa kayak ‘oh kayaknya saya punya pengalaman personal yang sama nih dengan Bu Ratna’,” ungkap Ersya dalam diskusi pemutaran film dokumenter “Merangkai Ratna Asmara”.

Alasan lain yang mendorong Ersya membuat film dokumenter berdurasi 66 menit tersebut karena kemirisannya terhadap situasi sinematik Indonesia, pusat penyimpanan arsip film saat ini yang masih jauh dari kata ideal. Dalam upayanya menghidupkan kesadaran dalam pengarsipan dan pelestarian warisan film di Indonesia, Ersya juga menyoroti realitas betapa kurangnya perhatian terhadap warisan sinematik di film dokumenter ini. Ersya memperlihatkan bahwa arsip film di Indonesia mungkin berada dalam bahaya.

“Jadi ketika akhirnya hal ini terekam dalam film dan film ini banyak ditonton oleh temen-temen, mahasiswa, terus kemudian penikmat film, arsiparis, ataupun penggerak-penggerak budaya yang mungkin akhirnya bisa menekan pihak-pihak tertentu untuk ‘ayo dong kita punya dong sinematek yang proper,’ gitu,” ucap Ersya.

Dengan melalui proses yang cukup panjang, film dokumenter “Merangkai Ratna Asmara” yang sebelumnya sudah ditayangkan di Kineforum dan Pekan Kebudayaan Nasional di Galeri Nasional, Ersya membagi perjalanan eksplorasi Ratna Asmara menjadi lima babak yang sejalan dengan yang disajikan dalam buku bertajuk “Ratna Asmara, di Dua Sisi Kamera” yang ditulis oleh Kelas Liarsip mengenai perjalanan mereka menelusuri sosok Ratna Asmara.

Pada 15 menit pertama, penonton akan disuguhi informasi-informasi mengenai perjalanan Ratna Asmara dari awal ia meniti kariernya.

"Babak pertama adalah pengenalan tentang siapa sebenarnya Ratna Asmara. Karena sebelum kita masuk ke konteks yang lebih dalam, kayaknya kita harus tahu nih, terkait dengan sosok ini siapa, apa yang dia lakukan selama masa hidupnya, berbagai-bagai perjalanan hidupnya," jelas Ersya.

Setelah memperkenalkan sosok Ratna Asmara, di babak kedua Ersya membawa penonton untuk menelusuri jejak berharga yang ditinggalkan Ratna Asmara. Penelusuran itu mengarah pada penemuan salah satu karya Ratna Asmara yang tersisa, film "Dr. Samsi" yang rilis pada tahun 1952. Babak ini mengupas bagaimana film garapan Ratna Asmara dan konten-konten seperti apa yang ia tampilkan.

Baca Juga: Merefleksikan Persoalan Sungai dan Sampah melalui Film Dokumenter
Menonton dan Mendiskusikan Film Dago Elos Never Lose, Menggaungkan (Kembali) Suara Perlawanan
Film Kejarlah Janji: antara Cinta, Kepala Kambing, dan Golput

Selanjutnya, Ersya Ruswandono membawa penonton ke dalam proses alih media di mana film klasik "Dr. Samsi" mengalami transformasi menjadi format digital. Di sini, film dokumenter memperlihatkan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh tim Kelas Liarsip dalam upaya digitalisasi karya Ratna Asmara dan menghidupkan kembali warisan film yang hampir terlupakan.

Setelah melalui proses digitalisasi yang panjang, dalam babak keempat Ersya memperlihatkan bagaimana "Dr. Samsi" dipresentasikan di khalayak khususnya di panggung internasional, saat itu tim Kelas Liarsip mendapatkan kesempatan mereka mempresentasikan “Dr. Samsi” di Eye Filmmuseum pada tahun 2022.

Babak kelima yang ditampilkan Erysa dalam film dokumenternya menjadi penutup yang memperkenalkan sosok-sosok sutradara perempuan masa kini, mengungkapkan pandangan mereka tentang peran perempuan dalam dunia film. Dengan demikian, film ini bukan hanya dokumenter yang memperkenalkan sosok Ratna Asmara, tetapi juga panggilan untuk melanjutkan dan merayakan peran perempuan dalam perfilman Indonesia.

Ersya menyatakan bahwa film dokumenter “Merangkai Ratna Asmara” bukan sekadar karya dokumenter biasa; film ini adalah pencapaian pertama dalam memvisualisasikan sosok Ratna Asmara. Melihat fakta bahwa hanya satu film karyanya yang tersisa, dokumentasi visual ini menjadi langkah penting untuk meresapi siapa sebenarnya Ratna Asmara. Sebelumnya, jejak dokumenter tentang Ratna Asmara hanya dapat ditemui dalam halaman majalah dan surat kabar lawas, tanpa adanya bentuk audio visual kecuali melalui film-film yang pernah diperankan oleh Ratna Asmara.

Dengan minimnya sumber visual dan dokumenter, Ersya mengungkapkan bahwa film ini dapat menjadi sebuah rekonstruksi biografi. Melalui penelusuran dalam arsip film yang terbatas, Ersya berusaha menggambarkan lebih dari sekadar perjalanan seorang sutradara. Film ini menjadi jendela yang membuka ruang untuk memahami visi dan misi Ratna Asmara, juga memperlihatkan peran perempuan dalam industri film Indonesia.

Film dokumenter ini juga mengubah pandangan penonton mengenai stereotip perempuan di dunia sinematografi Indonesia, termasuk Zelika Fatwa (20 tahun) yang merupakan mahasiswi Film dan Televisi di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

Zelika menyatakan, film dokumenter “Merangkai Ratna Asmara” mengubah pandangannya mengenai peran perempuan di dalam dunia sinema. Film dokumenter ini tidak hanya sekedar menampilkan kisah seorang sutradara perempuan, tetapi juga dapat menjadi pendorong yang mengubah pandangan Zelika terhadap peran perempuan di industri film.

“Merangkai Ratna Asmara” menyadarkan Zelika bahwa sutradara tidak harus selalu laki-laki. Pandangannya mengenai stereotip bahwa sutradara adalah ranah dominasi laki-laki mulai berubah. Zelika juga mengungkapkan pandangannya bahwa perempuan ternyata juga mampu mengambil peran-peran teknis di balik layar yang lebih dari sekedar penulis naskah.

“Dari lingkungan aku sendiri yang dimana perempuan itu cuman masih dalam lingkup (yang) perempuan itu jarang yang ada di teknis kayak megang kamera jarang, pasti rata-rata penulis atau pasti nanti produser, tentang paper gitu pastinya kan. Mungkin dari pandangan aku di perfilman, perempuan itu masih dalam hal itu. Tapi setelah menonton film ini, mungkin perempuan bisalah mengambil (peran) ke teknisnya, lebih ke megang lighting atau jadi kameramen,” ucap Zalika.

Film ini memberikan pandangan baru bagi Zalika, bahwa perempuan juga memiliki potensi untuk menciptakan, mengarahkan, dan terlibat langsung dalam aspek-aspek teknis dalam produksi film. Maka, “Merangkai Ratna Asmara” bukan hanya sekedar kisah tentang Ratna Asmara, tetapi juga dapat menjadi pemicu refleksi mendalam tentang potensi besar perempuan di dunia sinema.

Foto bersama di acara film dokumenter Merangkai Ratna Asmara, dalam pemutaran dan diskusi film dokumenter di Gedung Fakultas Filsafat Unpar, Bandung, Jumat, 17 November 2023. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergak.id)
Foto bersama di acara film dokumenter Merangkai Ratna Asmara, dalam pemutaran dan diskusi film dokumenter di Gedung Fakultas Filsafat Unpar, Bandung, Jumat, 17 November 2023. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergak.id)

Sutradara Perempuan Pertama di Indonesia

Bernama asli Suratna, Ratna Asmara yang lahir pada tahun 1913 di Sawah Lunto, Sumatera Barat, mungkin masih terdengar asing di telinga sebagian masyarakat, terkhusus pada mereka yang awam dalam sejarah dan perkembangan dunia sinema di Indonesia. Ratna Asmara berhasil mengembangkan sayapnya di dunia sinema Indonesia sebagai sutradara perempuan pertama di Indonesia.

Aktif pada zaman awal kemerdekaan Indonesia (1950-an), Ratna tidak semerta-merta langsung menjadi sutradara. Ratna memulai kariernya sebagai pelakon di usia 17 tahun dan kemudian bersama saudaranya, Suhara, Ratna mendirikan kelompok sandiwara "Suhara Opera" pada tahun 1930 yang melakukan rangkaian pentas di Jawa.

Dalam melakukan rangkaian pentas Suhara Opera, Ratna kemudian bertemu dengan Abisin Abbas atau Andjar Asmara yang merupakan bagian dari Dardanella. Tak selang berapa lama dari pertemuan pertama mereka, Ratna dan Andjar menikah. Dari pernikahan inilah Ratna mendapatkan nama panggungnya "Ratna Asmara".

Ratna kemudian memutuskan menggabungkan Suhara Opera dengan Dardanella. Ratna berhasil mengelilingi kawasan Asia bersama Dardanella dengan berperan sebagai aktris panggung menggunakan nama Dewi Ratna.

Pada tahun 1936, produksi film "Dr. Samsi" berlangsung di India dan ini merupakan kali pertama Ratna menjadi aktris film. Sayangnya, setelah memproduksi "Dr. Samsi", Dardanella mengalami krisis yang kemudian membuat Ratna dan Andjar hengkang dari Dardanella dan pulang ke Jawa. Ratna dan Andjar kemudian mendirikan Sandiwara Balero.

Ratna dan Andjar lantas bergabung pada The New Java Industrial Film pada tahun 1940. Dalam kurun waktu dua tahun, Ratna mendapatkan peran di film Kartinah, Noesa Penita, dan Ratna Moetoe Manikam.

Pada masa penjajahan Jepang, Ratna mendirikan kelompok sandiwara Tjahaja Timoer dan pada tahun 1948 Ratna kembali aktif dan berperan di film Djauh di Mata sebagai pemeran utama setelah kependudukan Jepang di Indonesia.

Tahun 1950 Ratna melakukan debutnya sebagai sutradara film yang bertajuk Sedap Malam yang kemudian rilis pada tahun 1951. Ratna dan Andjar kemudian mendirikan Asmara Film. Namun, kabar perceraian Ratna dan Andjar mengudara pada saat Ratna menggarap film keduanya yang berjudul Musim Bunga di Selabinta.

Setelah perceraiannya dengan Andjar, Ratna kemudian menggarap naskah drama yang ditulis oleh Andjar yang berjudul "Dr. Samsi" menjadi film. Selain menjadi sutradara, Ratna juga mengambil peran sebagai Sukaesih di film ini.

Ratna lalu mendirikan Ratna Film pada tahun 1953. Ia menyutradarai film Nelajan (1953, Dewi dan Pemilihan Umum di 1955.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Fitri Amanda, atau tulisan-tulisan tentang film

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//