• Kolom
  • TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Menjelajahi Lembang Bersama Walking With Nurul dan Disgiovery

TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Menjelajahi Lembang Bersama Walking With Nurul dan Disgiovery

Mempelajari sejarah Lembang membawa saya berkenalan dengan kawan-kawan lain yang memiliki minat yang sama. Berbagi kisah dan cerita dengan menjelajahi Lembang.

Malia Nur Alifa

Pegiat sejarah, penulis buku, aktif di Telusur Pedestrian

Suvenir Walking with Nurul. (Foto: Malia Nur Alifa)

9 Agustus 2025


BandungBergerak.id – Setelah pekan lalu saya menceritakan kisah penjelajahan Lembang bersama Walking With Nurul, pada bulan Juli lalu saya kembali memandu secara privat Walking With Nurul, namun kali ini bersama konten kreator Disgiovery. Pada dasarnya kami semua di satukan oleh kecintaan kami pada kisah masa lalu dan peninggalannya berupa bangunan serta kawasan.

Kali ini para peserta tur privat memilih menginap di salah satu tempat istimewa di Jayagiri. Kali ini saya memandu mereka selama dua hari, sehingga cakupan penjelajahan kami pun semakin leluasa.

Pagi itu saya diantarkan anak lelaki saya menggunakan sepeda motor menuju hotel tempat mereka menginap. Dari sana, petualangan kami pun dimulai di objek pertama yaitu di sebuah rumah yang dulunya merupakan rumah dinas dokter yang bertugas di klinik malaria dan cacar air tahun 1920. Rumah dinas tersebut masih berdiri kokoh dengan cerobong asapnya yang cantik.

Baca Juga: TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Belajar dari Sejarah, Petani Gen Z di Koloni Soerja-Soemirat Lembang
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Ketiban FOMO Wisata Kekinian
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Menjelajahi Lembang Bersama Walking with Nurul

Dari Klinik Malaria, Kampung Bewak, hingga Pemakaman Sirna Rasa

Dahulu di kawasan ini berdiri sebuah klinik malaria dan cacar air yang membentang hingga selatan Jayagiri. Klinik tersebut tidak menggunakan bangunan permanen seperti klinik pada umumnya, namun menggunakan bivak-bivak yang berjajar membentang hingga selatan. Dari pemandangan deretan bivak-bivak saat itu, akhirnya kawasan ini sekarang terkenal dengan sebutan Kampung Bewak, sebuah toponimi dari pelafalan bivak.

Lalu kami mengunjungi objek kedua kami yaitu Kerkof Jayagiri, sebuah pemakaman Kristen yang telah ada sejak tahun 1900-an. Sang  ibu penjaga makam mengantarkan kami ke sebuah makam ibunda dari legenda Persib yaitu Robi Darwis hingga mengantarkan kami ke makam lama yang sudah kurang lebih 60 tahun tidak pernah ada yang datang menyambangi. Di nisan lama itu hanya tertera tulisan yang hampir sepenuhnya tertutupi lumut. Di nisan tersebut tertulis “J. V. Houf 1864” dan tulisan lainnya sudah tidak terlihat.

Menurut penuturan sang ibu penjaga makam, Houf ini adalah seorang Jerman yang lahir entah di mana dengan tahun kelahiran disebutkan di nisan itu tahun 1864. Satu-satunya informasi yang sang ibu penjaga makam peroleh adalah J. V. Houf ini adalah kerabat pengelola Grand Hotel Lembang.

Setelah saya cocokan dengan data riset saya, ternyata  keluarga Jerman yang pernah mengelola Grand Hotel Lembang adalah keluarga Treipl. Selain itu tercatat juga  keluarga Perusia yaitu keluarga Von Winning pernah mengelola Grand Hotel Lembang ketika masih menjadi sebuah pesanggrahan sederhana.

Objek kami yang ketiga di pemakaman itu adalah sebuah bak penampungan air  yang cukup tua, di bak tersebut ditulis “ Bak Untuk Mengumpulkan Air  1936”. Lalu kami melanjutkan perjalanan dengan melihat lokasi lapangan yang ketika masa kolonial pernah terjadi penembakan anggota pasukan KNIL yang bernama Aernout yang ditembak mati karena berhasil membuka kasus korupsi di dalam tubuh KNIL. Kisah ini dibukukan dengan judul De Zaak Aernout.

Lalu di dalam sebuah gang kecil di pemakaman itu, kami menemukan sebuah makam istri dari administratur Onderneming Djayagiri yang bernama Alexander Jansz. Makam nyonya Jansz tersebut berada tepat di depan rumah warga, dan dilengkapi dengan bangku untuk peziarah.

Perjalanan dilanjutkan kembali ke sebuah pemakaman  umum terbesar di Lembang yang bernama Pemakaman Sirna Rasa. Di pemakaman ini kita akan melihat makam-makam pindahan dari pemakaman umum pertama yang ada di Lembang yang bernama Pemakaman Tjijeruk yang telah ada sejak 1900-an. Pada tahun 1972, hampir 1.500 kerangka dipindahkan ke Pemakaman Sirna Rasa, dengan biaya satu makamnya yaitu 25 rupiah, namun yang terdata valid ternyata hanya 400-an makam saja sehingga sisanya merupakan makam-makam pindahan tanpa nama.

Selain itu di Pemakaman Sirna Rasa, kita dapat menemukan makan Abah Emen yang terkenal dengan tragedi “tanjakan Emen“ di Cicenang, Subang. Ternyata Abah Emen adalah seorang sopir oplet jurusan Bandung-Subang di tahun 1950-an dan beliau adalah warga Jayagiri.

Setelah itu kami rehat di sebuah warung yang tidak jauh dari pos tiket menuju Gunung Tangkuban Parahu, puncak Jayagiri, dan Gunung Putri. Saya menyebutnya Warung Ema Tutut, karena andalan warung sederhana itu adalah tutut yang dipadupadankan dengan lontong dan gorengan serta teh tawar panas. Setelah istirahat, kami melanjutkan perjalanan menuju Biara Karmel karena kerinduan semua peserta kepada syahdunya kawasan Karmel. Seperti biasa, kami disapa hangat Pak Jefri yang merupakan sekuriti biara yang sudah kami anggap seperti saudara.

Selain berwisata kuliner di kawasan Karmel, kami juga menyambangi wisata kuliner di utara Lembang yaitu selai keluarga Monteiro dan kulineran Rumah Jendral. Di sana saya memperkenalkan salah satu penganan khas onbij walanda Bandoeng yang masih ada hingga sekarang yaitu selai stroberi Monteiro. Opa Monteiro adalah bekas pensiunan KNIL yang membuka usaha pengolahan selai stroberi sejak tahun 50-an dan masih eksis hingga hari ini, bahkan kini kita dapat membelinya di toko-toko online.

Ketika saya mengajak peserta privat tur menuju kulineran Rumah Jendral, terlebih dahulu kami sambangi Rumah Maria yang berada persis di sebelah rumah keluarga Monteiro. Rumah Maria ini dahulunya adalah rumah seorang Jepang yang berbisnis telur untuk dipasok ke hotel-hotel terkemuka di Lembang dan Bandung. Tak tanggung-tanggung langganan sang Jepang ini adalah hotel Homann, Preanger, hingga Grand Hotel Lembang, namun ternyata sang Jepang ini adalah seorang mata-mata. Ketika memasuki tahun 1942, penjual telur ini menampakkan wujud aslinya, yaitu seorang komandan angkatan laut Jepang. Kisah ini semua tertulis juga dalam buku Pans Schoemper yang berjudul “Selamat Tinggal Hindia”. Ketika tahun 1945, rumah indah ini dihuni oleh seorang wanita bernama Maria Bakker, info ini saya dapat dari berbagai narasumber dan setelah saya lacak di situs wereledculturen.nl, ternyata terdapat surat kematian di sebuah rumah dengan alamat yang sama dengan rumah sang Jepang ini dengan nama jenazah Maria Bakker.

Lambang Keluarga Blommestein di Baroe Adjak. (Foto: Dokumentasi Malia tahun 2022).
Lambang Keluarga Blommestein di Baroe Adjak. (Foto: Dokumentasi Malia tahun 2022).

Dari Kulineran, Taman Junghun, hingga Baroe Adjak

Lalu kami pun istirahat kembali di kulineran Rumah Jendral, sebuah tempat yang dahulunya merupakan kawasan peternakan sapi dan kambing gibas milik Tuan Meyer, dia adalah salah satu dari belasan pejuang Boer yang didatangkan Van Blommestein ke Lembang. Kedua tempat tersebut (Rumah Maria dan kulineran Rumah Jendral) pasca kemerdekaan diambil alih oleh Pak Mashudi, eks gubernur Jawa Barat, pada tahun 60-an.

Di hari kedua, saya mengajak peserta tur privat ke Taman Junghuhn yang sekarang telah menjadi kawasan hutan lindung. Perizinannya lumayan memakan waktu. Di sana kami diantar Kang Hariban, putra juru kunci terdahulu yaitu almarhum Abah Asep. Di Taman Junghun, kami melihat satu-satunya pohon kina lama yang merupakan bibitan asli dari kina-kina yang ditanam Junghuhn semasa hidupnya.

Lalu kami menyambangi makam Tuan De Vrij yang merupakan kawan Junghuhn. Kami menemukan kawasan yang dahulunya adalah lorong bawah tanah menuju monumen Junghun dan menuju sebuah tempat lainnya.

Tepat di selatan monumen Junghuhn terdapat tiga makam yang bertuliskan keluarga Walter. Jejak Walter ini tidak lepas dari kisah sejarah perkembangan peternakan sapi di masa kolonial. Nama peternakan keluarga ini adalah “De Bataafsche Boer” yang ketika tahun 1920-an hingga 1930-an memiliki hampir 500 ekor sapi perah dengan kualitas susu yang baik.

Setelah puas berkeliling, akhirnya saya ajak semua peserta untuk menyambangi kawasan terakhir yaitu Baroe Adjak. Kawasan ini memang selalu memberikan kesan tersendiri bagi siapa saja yang menyambanginya. Dan sebagai penutup privat tur kali ini kawasan Baroe Adjak menjadi pelengkap dari seluruh keseruan kami menapaki residual kolonial di tanah Lembang selama dua hari tersebut.

Selain memberikan banyak kisah dan ceritanya, belajar sejarah Lembang ternyata menggiring saya berkenalan dengan  kawan-kawan lain yang memiliki minat yang sama. Belajar sejarah Lembang menggiring saya untuk terus berbagi informasi masa lalu dalam bingkai canda tawa yang menyenangkan.

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Malia Nur Alifa, atau tulisan-tulisan lain tentang Sejarah Lembang

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//