• Kolom
  • TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Belajar dari Sejarah, Petani Gen Z di Koloni Soerja-Soemirat Lembang

TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Belajar dari Sejarah, Petani Gen Z di Koloni Soerja-Soemirat Lembang

Kini hanya tinggal segelintir saja warga Lembang yang masih bertahan menekuni usaha perkebunan sayur dan peternakan sapi perah.

Malia Nur Alifa

Pegiat sejarah, penulis buku, aktif di Telusur Pedestrian

Buku Encyclopaedie van Nederlansch-Indie Tweede Druk, yang menuliskan tentang jejak koloni sayur Soerja-Soemirat. (Sumber: delpher.nl)

28 Juni 2025


BandungBergerak.id – Kawasan Lembang hingga kini masih identik dengan sentra sayuran segarnya yang bisa kita dapatkan dengan harga yang terjangkau. Kawasan Lembang memang sangat lekat dengan pertanian, peternakan, dan pariwisata. Namun, kini tidak banyak generasi muda yang merupakan keturunan dari petani dan peternak ingin mengikuti jejak leluhur mereka. Kebanyakan para generasi muda Lembang mengubah lahan  pertanian dan ternak peninggalan orang tua mereka menjadi homestay, karena dirasa bahwa pertanian dan peternakan adalah sesuatu yang ketinggalan zaman.

Menjamurnya homestay di kawasan Lembang disebabkan banyaknya wanawisata kekinian yang menjadikan Lembang sebuah tempat yang sangat menjanjikan untuk berbisnis penginapan sederhana. Salah satu warga menuturkan bahwa menjadi seorang peternak sapi perah memerlukan banyak sekali ketekunan, waktu dan tenaga, belum lagi harus mengurus pembuangan kotoran ternak yang sangat menyita waktu. Begitu pula dengan membuka lahan pertanian sayuran, harus berjibaku dengan naik turunnya harga pupuk dan sayuran tersebut di pasaran hingga harus melakukan kegiatan yang melelahkan seperti mencangkul dan lain sebagainya.

Fenomena ini sudah sangat terasa di kawasan tempat tinggal saya. Kawasan yang tadinya dipenuhi oleh hijaunya lahan perkebunan sayur dan puluhan peternak sapi perah, sekarang hanya tinggal segelintir saja warga yang tetap bertahan.

Saya tinggal di Jalan Tangkuban Parahu, tepatnya di Desa Cibogo, mungkin apabila diukur letak tepatnya kurang lebih dua kilometer dari pintu gerbang wisata Gunung Tangkuban Parahu. Sejarah mencatat dahulu kawasan tempat tinggal saya adalah kawasan hutan penuh semak belukar yang kemudian dibuka oleh pemerintah kolonial semacam Balai Latihan Kerja (BLK) masa kolonial yang diberi nama koloni sayuran Soerja-Soemirat pada tahun 1887.

Dalam buku “Encyclopaedie van Nederlansch-Indie Tweede Druk Onder Redactie  van D. G. Stibbe” tahun 1919 dituliskan  dengan lengkap tentang koloni sayuran Soerja-Soemirat ini. Sebetulnya koloni ini adalah salah satu balai latihan kerja yang dibuat pemerintah kolonial di Semarang. Ada balai latihan untuk pembuatan sepatu, berkebun bunga potong, dan koloni pertanian sayuran dengan memilih Lembang sebagai tempat penyelenggaraannya.

Digagas oleh John Henrij van Blommenstein akhirnya terpilihlah lahan di selatan Tangkuban Parahu untuk dibuka menjadi lahan pertanian. Didatangkan 11 keluarga yang ditugaskan untuk membuka lahan pertanian tersebut, namun ternyata bukan hanya 11 keluarga itu saja, ada beberapa  puluh buruh yang didatangkan dari Cirebon untuk membantu.

Hingga ketika saya melakukan kroscek ke lapangan, saya mewawancarai beberapa sesepuh di kampung Cibogo ini yang ternyata memang para leluhur sesepuh tersebut kebanyakan berasal dari Cirebon dan ada beberapa yang berasal dari Semarang.

Ketika ibu saya membeli lahan untuk dijadikan rumah tinggal di Kampung Cibogo ini, kami akhirnya menempati lahan yang ibu beli dengan harga yang terbilang murah, untuk tahun 1996 harga tanah di kampung Cibogo ini hanya 50 ribu rupiah pers meternya. Kami menempati lahan yang kami tinggali kurang lebih 650 meter persegi, yang dahulu merupakan bagian dari koloni pertanian Soerja-Soemirat tersebut.

Menurut penuturan warga yang telah menetap lama di kampung Cibogo, lahan tempat tinggal saya dahulunya adalah lahan tempat ritual para penduduk koloni, tempat memberikan persembahan berupa kepala kerbau dan sesajen lainnya. Ketika kami sekeluarga menempati lahan luas tersebut, masih banyak warga yang keheranan kenapa kami mau tinggal di sana. Namun perkembangan zaman yang kami rasakan sekarang, lahan-lahan yang dahulunya ditakuti warga atau kurang diminati karena terdapat cerita cukup mistis sebelumnya kini malah berubah menjadi jejeran vila-vila mewah yang selalu dipenuhi wisatawan di setiap akhir pekannya.

Usaha pembibitan jamur tiram yang dilakukan adik dan anak saya di rumah. (Foto: Malia Nur Alifa)
Usaha pembibitan jamur tiram yang dilakukan adik dan anak saya di rumah. (Foto: Malia Nur Alifa)

Baca Juga: TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Pelarian Calon Pewaris Grand Hotel Lembang #1
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Selamat Ulang Tahun Lembang #1
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Selamat Ulang Tahun Lembang #2

Petani Gen Z   

Karena almarhum ibu adalah seorang peneliti sayuran di Balai Penelitian Tanaman dan Sayuran, ketika memasuki masa pensiun, ibu berbisnis pembibitan jamur tiram. Ibu membangun usaha sederhana di rumah dengan lab kecil di belakang rumah. Para pelanggan ibu adalah petani-petani jamur tiram dari seluruh daerah di Jawa Barat, namun yang paling mendominasi adalah kawasan Parongpong, Cisarua, dan Subang.

Sepeninggal ibu dan ayah, saya dan adik saya bertekad untuk meneruskan kembali jejak mereka dalam perkembangan pertanian, khususnya jamur tiram. Saya memiliki anak yang beranjak dewasa, ketika kedua anak saya akan memasuki Sekolah Menengah Atas, saya menyekolahkan mereka berdua  ke sekolah kejuruan pertanian, memang tujuan saya adalah menumbuhkan kesadaran kepada anak-anak saya untuk jangan malu menjadi petani. Kami tinggal di kawasan sarat akan sejarah pertanian yang kental, jadi mengapa tidak kita belajar dari sejarah untuk kembali menggaungkan pertanian dari lingkup terkecil.

Memberikan pemahaman kepada anak-anak saya bahwa berbisnis di sektor pertanian adalah ceruk yang abadi. Kasarnya, bisnis ini tidak akan mati karena sampai kiamat pun, manusia masih membutuhkan bahan makanan terutama sayuran.

Memang semua hal ada risikonya, namun apabila kita yakin, jujur dan terus berjuang untuk pengembangan diri maka sudah dipastikan kesuksesan tersebut akan datang. Akhirnya usaha peninggalan almarhum ibu dapat kembali berjalan dan memberikan kepercayaan diri pada anak-anak saya dan adik saya bahwa anak muda Gen Z dapat menjadi petani yang bukan hanya sukses, namun bisa melestarikan sejarah kawasan tempat tinggal kami bahwa dahulu di kawasan tempat kami bernaung ini telah harum oleh sebuah koloni pertanian yang membuat nama Lembang terkenal sebagai sentra pertanian sayuran.

Doa Leluhur

Banyak yang bertanya, bagaimana cara saya meyakinkan generasi muda sekarang terutama anak-anak saya sehingga mau bersekolah dan bergelut dalam bidang pertanian?

Salah satu wejangan almarhum kakek dan ibu saya kepada saya yang sekarang wejangan itu dilajukan saya kepada anak- anak saya adalah, bahwa kami adalah keturunan “Wong Kalang” Kotagede, Jogjakarta. Yang terkenal dengan bisnis dalam ceruk- ceruk yang tidak biasa, dalam kata lain ketika arus pertumbuhan ekonomi di Lembang sedang mabuk pada wisata kekinian dan sektor lain pendukungnya, kami mampu tetap teguh berdiri dalam ceruk-ceruk bisnis jangka panjang yang penuh dengan dedikasi dan identitas masa lalu.

Semoga semangat kami ini dapat tertular pada generasi muda lainya, mari kembalikan Lembang menuju jati dirinya dengan berjuang dalam langkah-langkah kecil yang kita mulai dari rumah.  

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Malia Nur Alifa, atau tulisan-tulisan lain tentang Sejarah Lembang

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//