TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Selamat Ulang Tahun Lembang #2
Saya berharap Lembang berhenti berubah terlalu jauh. Lembang kini beranjak melupakan jati dirinya, bergerak menuju modernisasi yang tanpa arah.

Malia Nur Alifa
Pegiat sejarah, penulis buku, aktif di Telusur Pedestrian
21 Juni 2025
BandungBergerak.id – Masih banyak yang mengirimkan pesan singkat ke media sosial saya atau ke nomor kontak saya tentang rasa penasaran para pembaca soal “kedekatan saya dengan Lembang”. Mereka kebanyakan mengira bahwa saya asli Lembang.
Saya bukan orang Lembang asli. Persentuhan saya dengan Lembang terjadi karena almarhum ibu bekerja di Lembang sebagai peneliti tanaman sayuran (buncis, bawang putih, dan jamur) di Balai Penelitian Tanaman dan Sayuran sejak 1981. Ketika kecil, saya sering diajak mengikuti kegiatan ibu di tempat kerjanya. Untuk kisah sejarah Balai Penelitian Tanaman dan Sayuran, akan ditulis terpisah.
Saya lahir dan dibesarkan di sebuah rumah tua yang dibangun tahun 1880 di sebuah perkampungan tua di barat Braga, untuk kisah masa kecil saya akan saya tulis secara terpisah nanti. Banyak pengalaman yang menyenangkan ketika melalukan perjalanan dari Braga menuju Lembang di masa kecil saya.
Karena saat itu ibu masuk kerja pukul 8 pagi, kami berdua harus pergi pukul setengah 6 pagi untuk menunggu angkutan kota Lembang-St. Hall di kawasan Viaduct, Kota Bandung. Bukan karena takut kemacetan lalu-lintas seperti yang sekarang kerap terjadi, namun karena jumlah angkutan kota menuju Lembang saat itu masih sangat terbatas.
Lucunya, saya dan ibu harus membawa baju salin, karena di dalam perjalanan kami menuju Balai tempat ibu bekerja, kami akan satu angkutan dengan para warga yang membawa sayuran bahkan unggas. Jadi setibanya di kantor ibu, kami berganti pakaian, dan ketika akan pulang pun kami berganti pakaian kembali memakai pakaian pertama kami.
Karena hampir tiga kali dalam seminggu ikut ibu ke tempat kerjanya, saya jadi sangat hafal bangunan bahkan setiap belokan demi belokan menuju Lembang. Di mana saya sangat jatuh cinta pada gedung Isola, yang menurut saya pada saat itu seperti kue ulang tahun raksasa.

Baca Juga: TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Pelarian Calon Pewaris Grand Hotel Lembang #1
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Pelarian Calon Pewaris Grand Hotel Lembang #2
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Selamat Ulang Tahun Lembang #1
Pindah ke Lembang
Singkat cerita, ketika tahun 1994 rumah kami di Braga terkena musibah kebakaran hebat dan kami pun pindah ke kawasan Lengkong Besar, rumah keluarga alm. ayah. Namun, karena kesehatan ibu yang memburuk akibat kelelahan, akhirnya kami sekeluarga memutuskan untuk pindah ke Lembang di tahun 1996 agar ibu tidak terlalu jauh menuju tempatnya bekerja. Saat itu saya masih bersekolah di SDN Merdeka 5 Bandung, dan kembali setiap harinya harus bolak-balik Bandung-Lembang untuk bersekolah karena tanggung ketika itu sudah kelas 6. Lagi dan lagi saya “dipaksa“ akrab dengan jalur Lembang-Bandung yang berkelok, semua terekam jelas dalam benak saya perkembangan demi perkembangan jalur ini.
Barulah sejak 1997 saya bersekolah di Lembang. Saya menjadi siswa SMPN 1 Lembang, sekolah dengan bangunan kunonya yang sangat megah. Lagi dan lagi saya selalu bersinggungan dengan hal yang berbau “jadul”.
Sebetulnya, saya agak kesusahan dalam beradaptasi pada awal kepindahan saya ke Lembang. Di mana saya awalnya sangat terbiasa dengan lingkungan pusat kota yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki, kini harus pindah ke pedesaan yang selalu berkabut, sepi, bahkan untuk bepergian pun diperlukan perjuangan waktu.
Namun, saya telah jatuh cinta pada pedesaan ini, di mana semua terasa sangat ramah, hangat, dan penuh kesederhanaan. Setiap pagi saya pergi sekolah selalu diiringi gelak tawa para peternak sapi yang mengantre menyetorkan hasil perahan susu ternak mereka kepada petugas Koperasi Susu. Aroma susu murni pun menjadi keseharianku saat itu. Dikala para tetangga yang berkebun sayur sedang panen, saya dikagetkan dengan hantaran para tetangga yang tak tanggung-tanggung memberikan hasil panennya kepada kami sekeluarga. Terkadang bukan keresek atau karung, tetapi keranjang (tolombong).
Kehangatan itu terus menjalar dalam kehidupan saya pribadi, berteman dengan warga desa yang sangat hangat menyambut saya yang saat itu kurang bisa berbahasa Sunda. Setiap minggu pagi biasanya saya di Braga menghabiskan waktu di Balai Kota dengan segala hirup pikuknya. Namun ketika telah tinggal di Lembang, saya menghabiskan hari minggu saya dengan berkuda menyusuri Baru Ajak, mendaki Gunung Batu, atau memetik rasberi di kebun di kawasan Soeryasumirat. Lembang, telah mengubah sudut pandang saya, mengubah perjalanan hidup saya, dan yang paling utama Lembang mengajarkan saya apa itu “membumi”.
Hal inilah yang sangat mendasari saya untuk terus mencari kisah Lembang secara utuh, namun hal yang dulu saya temukan kini telah hilang. Sepi dan hangatnya Lembang kini tinggal kenangan. Sebagian orang pun merasakan apa yang saya rasakan pada saat itu. Kini, Lembang beranjak melupakan jati dirinya, bergerak menuju modernisasi yang tanpa arah, melupakan kodratnya sebagai pedesaan yang menenangkan.
Dalam hari jadinya tahun ini, saya berharap Lembang akan berhenti berubah terlalu jauh, bagaimanapun perubahan yang terjadi akan sangat merusak lingkungan bahkan berpotensi menghadapi bencana. Biarlah para petani tetap menggarap tanah mereka dengan sederhana, biarlah para peternak melalukan aktivitasnya seperti dahulu, biarlah udara Lembang menembus tulang seperti dahulu, biarlah semuanya tetap pada kodratnya, biarlah semua tetap membumi.
Saya berharap hari jadi Lembang ini dapat dijadikan momentum bagi para pemangku kepentingan untuk mulai berhenti dan mulai melihat Lembang di masa lalu, kita semua warganya sangat merindukan Lembang seperti dahulu kembali.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Malia Nur Alifa, atau tulisan-tulisan lain tentang Sejarah Lembang