• Kolom
  • TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Pelarian Calon Pewaris Grand Hotel Lembang #2

TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Pelarian Calon Pewaris Grand Hotel Lembang #2

Bruno Treipl membuat banyak terobosan sehingga nama Hotel Lembang menjadi kesohor dan banyak peminatnya.

Malia Nur Alifa

Pegiat sejarah, penulis buku, aktif di Telusur Pedestrian

Grand Hotel Lembang pada 2021. (Foto: Malia Nur Alifa)

8 Juni 2025


BandungBergerak.id – Minggu lalu entah kenapa rasanya malas sekali ke mana-mana, hanya ingin rebahan di rumah dan membaca buku-buku. Dilalah buku yang saya ambil dari rak adalah buku karya Haryoto Kunto yang berjudul “Balai Agung di Kota Bandung“. Ketika memasuki halaman 37, betapa terkejutnya saya karena dalam sebuah paragraf ditulis seperti ini, “A. F. Aalbers (arsitek bangunan hotel Homann, gedung BPD Braga (sekarang BJB Naripan), beberapa vila modern di jalan Pagergunung, Jalan Dipatiukur, Jalan Dago, dan Grand Hotel Lembang.”

Setelah “bengong“ beberapa detik, saya langsung “make sure“ kepada salah satu orang teman yang juga aktif meriset, yaitu Ryzki Wiryawan. Ketika saya tanyakan ternyata benar bahwa terdapat nama Aalbers yang menjadi seorang arsitek yang “ mempercantik” Hotel Lembang yang kemudian menjadi Grand Hotel Lembang. Ryzki bahkan menambahkan bahwa salah satu pengelola dari Grand Hotel Lembang adalah Mr. Van Es yang juga mengambil alih pengelolaan Hotel Homann dan Vila Isola, hal ini menjadikan lebih masuk akal mengapa nama besar Aalbers termasuk ke dalam arsitek yang ikut mempercantik Grand Hotel Lembang.

Area hijau yang dirindukan warga Lembang di kawasan Grand Hotel Lembang. (Foto: Malia Nur Alifa)
Area hijau yang dirindukan warga Lembang di kawasan Grand Hotel Lembang. (Foto: Malia Nur Alifa)

Baca Juga: TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Bandung Utara #4
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Cerita Di Balik Buku 9 Kisah Wanita Pribumi Lembang di Masa Lalu
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Pelarian Calon Pewaris Grand Hotel Lembang #1

Kisah Bruno Treipl Selanjutnya

Masih dari buku karya Kodar Solihat yang berjudul “Rekam Jejak Nazi di Indonesia” yang diterbitkan Granesia 2016 silam. Berikut kelanjutan kisah Bruno Treipl. Ia tiba di Hindia Belanda menumpang kapal “Conte Verde“.

Setelah tiba di pelabuhan tanjung Priok, Batavia, Bruno langsung menuju Lembang. Di sana, ia bekerja sebagai asisten pengelola hotel yang pada saat itu sedang dikelola oleh paman dan bibinya. Mereka tidak memiliki anak sehingga berencana untuk mewariskan pengelolaan hotel tersebut pada Bruno.

Pada masa-masa itu Bruno membuat banyak terobosan sehingga nama Hotel Lembang sangat kesohor dan banyak peminatnya. Ia juga bekerja sama dengan sejumlah paket wisata yang dikelola sejumlah pengelola perkebunan teh di utara kota Bandung dan di selatan Subang, di mana para wisatawan ditawari fasilitas menginap di Hotel lembang yang lama kelamaan menjelma menjadi Grand Hotel Lembang saat dikelola Bruno.

Tampaknya, inovasi bisnis oleh Bruno saat itu juga ditunjang dengan masa keemasan tahun-tahun kunjungan wisata di Kota Bandung. Apalagi sejumlah kalangan di Hindia Belanda kemudian membentuk perkumpulan Bandoeng Vooruit, semacam perkumpulan promosi wisata Kota Bandung.

Koneksivitas orang-orang Jerman di utara Bandung juga sudah muncul pada tahun-tahun itu. Ada Walther Hewel yang merupakan sahabat pentolan Partai Nazi yaitu Adolf Hitler yang sudah terpilih menjadi kanselir Jerman. Walther Hewel sendiri sudah meniti karier di perkebunan milik Inggris yaitu Pamanoekan & Tjiasem Land yang dikelola Anglo Ducth Plantations of Java Ltd.

P&T Lands mengelola perkebunan yang mayoritas mengusahakan teh dan kopi di selatan Subang yaitu, Perkebunan Ciater, Perkebunan Tambakan, Perkebunan Sarireja, Perkebunan Kasomalang, Perkebunan Bukanagara, dan Perkebunan Serangsari. Di Bandung Utara terdapat pula perkebunan teh, kopi dan kina lainnya namun milik Belanda, yaitu Perkebunan Sukawana, Perkebunan Jayagiri, Perkebunan Bukittunggul, Perkebunan Gunung Kasur, Perkebunan Cikapudung, dan Perkebunan Panglipur Galih.

Bruno kerap mengundang para administratur perkebunan berikut keluarganya untuk bersantai di Grand Hotel Lembang. Karena erat hubungan dengan para petinggi perkebunan juga, Bruno kemudian ditarik sebagai pegawai di perusahaan Francis peak and Co di Batavia, yang merupakan agen pemasaran produk-produk perkebunan Anglo Dutch Plantation of Java Ltd. Dimasa inilah pengelolaan Grand Hotel Lembang dipindahkan kepada Mr. Van Es dan arsitek kenamaan Aalbers yang mulai mempercantik bagian gedung utama yang sering disebut dengan gedung “Melia” oleh warga sekitar.  

Resesi ekonomi dunia muncul sekitar tahun 1938-1939, membuat banyak perusahaan perkebunan tak mampu untuk menggaji para pekerja. Sehingga Bruno kembali ke Lembang untuk mengelola Grand Hotel Lembang, di mana ia sangat terkagum-kagum pada keindahan Lembang dan utara Bandung.

Pada tahun 1940 saat sedang berburu binatang buas di selatan Subang,  ia memergoki seorang Jepang di tengah hutan. Ternyata orang Jepang itu sedang mengintai sumber material mentah, seperti minyak, metal, karet yang kemudian saat sudah melakukan invasi, berbagai material itu pun dikuasai Jepang saat mulai merangsek masuk ke Lembang pada Maret 1942.

Bruno mengatakan sebelum masuknya Jepang menuju Lembang dan Bandung dirinya sudah menjadi incaran pemerintah kolonial untuk diciduk. Belanda menangkapi orang-orang Austria, Jerman dan Italia, walau pun sebagian besar adalah warga sipil.

Pendudukan pasukan Nazi pada 10 Mei 1940, membuat orang-orang Belanda di Bandung kalang kabut.  Bruno saat itu sedang mengendarai mobil dari Lembang menuju Bandung untuk mengunjungi seorang teman yang merupakan warga keturunan Italia yang bernama Gottlieb Meister, namun di tengah jalan diberhentikan pihak militer yang berjaga.

Bruno sudah mengetahui, bahwa para orang Jerman sudah ditangkapi, Namun sebelum ditangkap, ia sempat kembali ke Grand Hotel Lembang dan menyembunyikan mobilnya di sana. Ia mengingat sebuah pengalaman menyebalkan, saat ditangkap oleh tentara KNIL, ia dipaksa merangkak dan diludahi sebelum dikurung dalam sebuah gudang besar bersama orang-orang Jerman lainnya yang kemungkinan gudang tersebut adalah sebuah gudang tua di kawasan Gudang Selatan, Bandung.

Saat berada dalam interniran pihak Belanda, Bruno termasuk yang dikirimkan ke Sibolga pada 1941. Ia diangkut menggunakan kapal SS Ophir dan ditempatkan di dek bagian terbawah yang tak dikenali sebagai angkutan para tahanan Jerman.

Kapal SS Ophir sampai dengan selamat di pelabuhan Bombay, di mana para tahanan Jerman langsung ditangani pihak Inggris dan langsung diangkut oleh rangkaian panjang kereta api menuju ke Ranchi.

“Kami diberi makan yang layak, saya ingat sering memperoleh minuman coklat panas. Di Ranchi kami ditempatkan pada sebuah kamp besar, yang panasnya bukan main, sekitar 40-50 derajat Celcius, sampai kemudian dipindahkan ke kamp pusat di Dehra Run, “ ujar Bruno di buku Rekam Jejak Nazi di Indonesia (2016).

Sementara itu, Grand Hotel Lembang kemudian dijadikan markas pasukan ABDACOM          (America, British, Dutch Command) sebagai komando penghalau serangan pasukan Jepang yang mulai menyerang Asia Tenggara pada Januari 1942. Namun kota Subang selaku pusat pertahanan terakhir dari pihak sekutu di Hindia Belanda pada akhirnya jebol setelah pasukan Jepang mendarat di pantai utara pada Maret 1942.

Tahun 2021, sebagian besar bangunan Grand Hotel Lembang sudah diratakan pada tahun. (Foto: Dokumentasi Malia Nur Alifa)
Tahun 2021, sebagian besar bangunan Grand Hotel Lembang sudah diratakan pada tahun. (Foto: Dokumentasi Malia Nur Alifa)

Grand Hotel Lembang Riwayatmu Kini

Dari asalnya merupakan perkebunan kina Baroe Adjak kemudian bertransformasi menjadi pesanggrahan sederhana hingga akhirnya menjadi hotel mewah. Bahkan menjadi hotel nomor satu di Lembang pada masa kolonial, hingga kisah nama besar seorang arsitek kenamaan yaitu Aalbers pun ternyata menorehkan kisah di Grand Hotel Lembang. Lalu ada kisah Bruno  Treipl yang sangat mendebarkan hingga diangkat menjadi buku hingga film.

Nama-nama  para pembesar dan keluarga ternama dari perkebunan-perkebunan di sekitar Bandung Raya juga pernah mewarnai hari-hari di masa keemasan Grand Hotel Lembang. Di masa pasca Kemerdekaan pun kawasan Grand hotel Lembang masih kesohor sebagai hotel yang menyajikan kenyamanannya. Namun, apa yang terjadi hari ini? Kawasan bersejarah ini telah sekarat dan hendak dibangun wana wisata kekinian yang sama sekali tidak berpihak kepada lingkungan hidup, karena dengan adanya wisata kekinian yang bertambah terus menerus tak terbendung di Lembang. Kemacetan dan bencana banjir adalah wajah baru bagi kawasan Lembang yang dahulu sangat dibanggakan.

Saya berharap generasi mendatang masih dapat menikmati indah dan nyamannya Lembang, semoga pihak pemerintah dapat mengerti keluh kesah warga yang sangat merindukan kembalinya Lembang seperti dahulu lagi. Semoga dengan adanya kisah-kisah masa lalu ini dapat menjadi pertimbangan pihak terkait untuk menghentikan proyek yang hanya akan memperpanjang “ luka “ bagi lingkungan dan alam Lembang. 

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Malia Nur Alifa, atau tulisan-tulisan lain tentang Sejarah Lembang

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//