• Kolom
  • TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Ketiban FOMO Wisata Kekinian

TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Ketiban FOMO Wisata Kekinian

Kemacetan menjalar ke jalan-jalan kampung dan banjir datang tanpa permisi. Harga yang harus dibayar demi FOMO wisata kekinian agar Lembang dikatakan “surga wisata”.

Malia Nur Alifa

Pegiat sejarah, penulis buku, aktif di Telusur Pedestrian

Tanjakan Cibogo Lembang tahun 1972. (Foto: KITLV)

5 Juli 2025


BandungBergerak.id – Menurut Wikipedia, FOMO adalah singkatan dari “Fear of Missing Out”, yang dalam bahasa Indonesia berarti “ takut ketinggalan”. FOMO adalah perasaan cemas atau khawatir bahwa orang lain sedang mengalami pengalaman yang menyenangkan atau menarik dan tidak ikut serta. Ini bisa berupa pengalaman sosial, tren terbaru, berita atau kesempatan lain yang sedang ramai dibicarakan.

Setelah saya menuliskan  tulisan “Selamat Ulang Tahun Lembang #2” dua minggu lalu, banyak para pembaca setia kolom saya yang kembali bertanya melalui pesan singkat tentang kehidupan Lembang saat saya kecil. Rupanya banyak sekali yang merasa penasaran dan menginginkan sebuah memori ketika Lembang masih berselimutkan kabut hingga pukul 9 pagi, Lembang yang sepi dan hanya terdengar suara delman yang khas dikejauhan.

Saya  akan bercerita apa- apa saja yang jauh berbeda sejak saya tinggal di Lembang pada 1996, hingga Lembang “ kiwari” yang kepalang ketiban FOMO. Untuk para pembaca yang juga mengalami masa-masa indah itu, mungkin tulisan kali ini dapat menjadi alat pengingat kembali masa tersebut.

Alun-alun Lembang. (Foto: Malia Nur Alifa)
Alun-alun Lembang. (Foto: Malia Nur Alifa)

Baca Juga: TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Selamat Ulang Tahun Lembang #1
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Selamat Ulang Tahun Lembang #2
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Belajar dari Sejarah, Petani Gen Z di Koloni Soerja-Soemirat Lembang

Lembang Kini

Saya menuliskan tulisan ini pada tanggal 2 Juli 2025 di mana sedang memasuki liburan anak sekolah. Ketika jari jemari saya berkelana dalam keybord notebook tua ini, terdengar jelas beberapa bus yang melintas di depan Jalan Raya Tangkuban Parahu, padahal jarak rumah saya ke jalan raya lumayan agak jauh. Ya, karena suara “telolet“ yang sangat memekakkan telinga itu terus menerus terdengar sejak pagi. Jujur saya sangat terganggu fenomena ini!

Fenomena ini sekarang adalah makanan sehari-hari warga Lembang apabila memasuki akhir pekan atau liburan panjang. Kita sebagai warga Lembang harus pintar-pintar melihat tanggal merah di dalam kalender. Apabila ada liburan panjang di akhir pekan, maka sejak satu hari sebelumnya kami para warga kebanyakan akan menyetok perlengkapan makanan kami lebih awal, akan menuntaskan tugas-tugas pekerjaan dalam minggu tersebut lebih cepat agar ketika libur itu tiba, kami akan terbebas dari stess kemacetan yang sangat di luar nalar. Bahkan kemacetan tersebut menjalar hingga jalan-jalan kampung yang dahulu merupakan jalan tempat kami bermain bak bocah petualang.

Apabila terpaksa kami harus beraktivitas dalam liburan tersebut, kami akan pergi jauh lebih pagi, sebelum “ kegilaan” itu terjadi dan akan pulang malam sekalian, setelah “ kegilaan” itu selesai. Maka tak heran apabila saya sedang ada tugas memandu ke kawasan Bandung dikala liburan panjang, saya akan pergi pukul setengah 6 pagi dan pulang ketika lewat Isya. Namun dalam kasus tertentu, misalkan liburan Lebaran dan akhir tahun, kemacetan Lembang akan berlangsung hingga 24 jam nonstop.

Belum lagi fenomena “kegilaan“ selanjutnya adalah banjir yang datang tanpa permisi. Saya masih ingat ekspresi wajah teman-teman saya dari ibu kota yang keheranan bahwa Lembang banjir. Jangankan mereka, saya juga merasa aneh.

Ada sebuah pengalaman menegangkan ketika saya harus terjebak hujan besar di dalam angkutan umum, ketika telah sampai di tujuan saya tidak dapat ke mana-mana, padalah tinggal menyeberang dan memasuki gang beberapa meter saja, saya telah sampai ke rumah. Ketika saya terpaksa harus meneduh di salah satu toko penjual plastik, karena jalan raya tidak mungkin dilintasi karena Jalan Raya Tangkuban Parahu tepatnya Desa Cibogo berubah menjadi sungai berarus deras. Terkejutnya saya saat itu melihat sampah yang terbawa hanyut dari arah Cikole, karena sampah yang dimaksud adalah sebuah kuali kecil yang biasa dipakai orang kamping. Kuali tersebut mengalir bersama derasnya air dengan sampah-sampah lainnya, juga bercampur dengan kotoran sapi dari para peternak yang tidak bertanggung jawab.

Fenomena-fenomena “gila“ ini kami rasakan sekarang. Sebuah harga yang harus dibayar mahal karena Lembang terlanjur ketiban FOMO. FOMO yang saya maksud adalah wisata kekinian yang terus menjamur tak terkendali, demi FOMO agar dikatakan “surga wisata” namun kami warganya sangat tidak nyaman, bahkan merasa muak.

Tanjakan Cibogo Lembang tahun 1972. (Foto: KITLV)
Tanjakan Cibogo Lembang tahun 1972. (Foto: KITLV)

Lembang Dahulu

Dahulu ketika kita tiba di Lembang, kita akan disambut hangat oleh jajaran penjual ketan, colenak, dan jagung bakar yang memanjang di sepanjang Jalan Raya Lembang. Para penjual seperti melalukan tarian indah padahal sedang mengayunkan kipas mereka saat membakar ketan dan jagung, namun aroma khasnya yang sekarang sangat dirindukan. Kini, penjual ketan dan jagung bakar tidak sebanyak dulu. Mereka kalah saing dengan mulai menjamurnya kedai-kedai kopi kekinin yang lebih digandrungi.

Ada yang paling saya rindukan saat “jajan” ketan dan jagung bakar di kawasan pecinan Lembang, yaitu senandung dari angklung yang dimainkan sang penjual cendera mata. Ia akan memainkan lagu-lagu Sunda hingga lagu-lagu “zaman bareto“ dengan sangat apik, dan hal itu tidak akan didapatkan lagi sekarang.

Fenomena yang juga telah punah di Lembang adalah delman atau keretek. Warga semakin melupakannya dan berganti ke moda transportasi yang lebih cepat. Padalah dulu delman adalah salah satu kekhasan yang dijumpai di Lembang. Saat liburan tiba, keliling Lembang dengan delman adalah kenikmatan tersendiri.

Baru saja kemarin saya berbincang dengan komikus Yaya Riyadin dalam pesan singkat, beliau sekeluarga sebetulnya memiliki tanah di utara Lembang, yang tadinya akan dibangun untuk rumah peristirahatan. Namun melihat fenomena kegilaan ini, beliau akhirnya menjual tanah tersebut dan mulai tidak tertarik untuk menjadi warga Lembang, melihat Lembang yang semakin FOMO saja.

Lembang telah kehilangan jati dirinya sebagai kota syahdu, tenang dan romantis. Entah sampai kapan ini akan terus terjadi, namun saya berharap adanya kesadaran dari semua pihak bahwa Lembang kita ini tengah sangat sekarat.

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Malia Nur Alifa, atau tulisan-tulisan lain tentang Sejarah Lembang

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//