• Berita
  • Aksi Kamisan Bandung Bersolidaritas untuk Warga Sukahaji

Aksi Kamisan Bandung Bersolidaritas untuk Warga Sukahaji

Selain menolak lupa pelanggaran HAM di masa lalu, Aksi Kamisan Bandung mengabarkan tujuh warga Sukahaji yang ditahan terkait konflik tanah di kampung halaman.

Aksi Kamisan Bandung menyuarakan solidaritas untuk warga Sukahaji, di Gedung Sate, Bandung, Kamis sore, 7 Agustus 2025. (Foto: Insan Radhiyan Nurrahim/BandungBergerak)

Penulis Insan Radhiyan Nurrahim, 11 Agustus 2025


BandungBergerak.idTepat di depan Gedung Sate, sekumpulan orang berpakaian hitam berjejer rapi, payung-payung hitam terbuka di bawah langit cerah Bandung, Kamis sore, 7 Agustus 2025. Mereka bergantian melakukan orasi kekecewaannya pada aparat yang masih menahan 7 warga Sukahaji, suara mereka menembus deru kendaraan di Jalan Diponegoro dan disaksikan warga yang sedang jogging di depan Lapanga Gasibu.

Terilhat pula mobil polisi dengan sirine melewati kencang di depan Aksi Kamisan Bandung dan disambut sorakan hujatan oleh peserta yang mengekspresikan kekecewaan terhadap aparat. Di tempat ini mereka bukan hanya mengenang peristiwa pelanggaran HAM masa lalu, tetapi membawa kabar genting terkait tujuh warga Sukahaji ditahan karena mempertahankan tanah tempat mereka tinggal.

Di antara massa tersebut ada seorang anak muda berdiri berdiri tegak di tengah barisan peserta kamisan. Dialah Kiki, satu-satunya warga Sukahaji yang hadir di Aksi Kamisan Bandung kali ini.

“Kalau bukan saya yang menyuarakan, siapa lagi? Saya lahir di sini, sudah 20 tahun hidup di Sukahaji. Nenek dari ibu saya orang asli sini. Rumah ini satu-satunya aset yang kami punya. Kalau digusur, kami nggak punya tempat lagi,” ujarnya pelan, namun tegas.

Kiki bercerita tentang momen yang paling membekas baginya, aksi di depan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bandung pada 19 Juni lalu. “Penjagaan ketat sekali. Polisi mengepung, intensitas tinggi. Ada dorong-dorongan di pintu BPN. Kami cuma mau memastikan surat sertifikat itu dan melihatnya, tapi jawabannya dari BPN sama sekali tidak memuaskan,” katanya.

Aksi Kamisan Bandung menyuarakan solidaritas untuk warga Sukahaji, di Gedung Sate, Bandung, Kamis sore, 7 Agustus 2025. (Foto: Insan Radhiyan Nurrahim/BandungBergerak)
Aksi Kamisan Bandung menyuarakan solidaritas untuk warga Sukahaji, di Gedung Sate, Bandung, Kamis sore, 7 Agustus 2025. (Foto: Insan Radhiyan Nurrahim/BandungBergerak)

Di sisi lain Kiki merasa tak sendiri, selalu ada teman teman yang membantunya setiap aksi. IA merasakan kehangatan setiap kali warga Sukahaji bertemu dengan kawan-kawan Dago Elos dan ARAP (Aliansi Rakyat Anti Penggusuran). Mereka saling menguatkan layaknya keluarga, berbagi cerita tentang tanah, rumah, dan masa depan yang sedang mereka pertahankan.

“Kalau ketemu, rasanya kayak udah lama kenal. Kita sama-sama ngerti rasanya takut kehilangan tempat tinggal, jadi nggak perlu banyak penjelasan buat saling menguatkan,” ucapnya.

Meski menghargai dukungan dari berbagai pihak, Kiki tak menutupi rasa kesalnya terhadap sebagian teman solidaritas. Baginya, perjuangan warga Sukahaji bukanlah panggung untuk kepentingan kelompok tertentu.

Aksi Kamisan ini yang pertama bagi Kiki. Sebelumnya, ia adalah sosok yang apatis tidak mau mengenal politik, kebijakan atau urusan pemerintahan. Baginya, hal-hal itu terasa jauh, seperti urusan orang lain yang tak ada kaitannya dengan hidupnya. Ia memilih fokus pada keseharian di kampungnya Sukahaji, tempat ia lahir dan besar.

Namun segalanya berubah ketika konflik tanah menimpa kampungnya sendiri. Kebijakan dan keputusan politik yang selama ini terasa asing, justru datang mengetuk pintu rumahnya, merenggut rasa aman yang telah ia miliki selama puluhan tahun. Saat itulah ia sadar, kebijakan yang buruk bukan sekadar berita di layar televisi, tetapi sesuatu yang bisa menghancurkan rumah, tanah, dan masa depan kita.

“Saya sedih. kalau memang tanah itu milik mereka, kenapa baru sekarang dipermasalahkan? Kami sudah banyak membangun rumah, membesarkan anak, bahkan satu-satunya aset. Kasihan warga yang sudah mengorbankan segalanya,” ucap Kiki.

Baca Juga: Konflik Tahan Sukahaji, Warga Melayangkan Surat Penangguhan Penahanan untuk Enam Orang yang Ditahan Polisi
Konflik Agraria Sukahaji: Tujuh Warga Ditetapkan Jadi Tersangka

Aksi Kamisan Bandung menyuarakan solidaritas untuk warga Sukahaji, di Gedung Sate, Bandung, Kamis sore, 7 Agustus 2025. (Foto: Insan Radhiyan Nurrahim/BandungBergerak)
Aksi Kamisan Bandung menyuarakan solidaritas untuk warga Sukahaji, di Gedung Sate, Bandung, Kamis sore, 7 Agustus 2025. (Foto: Insan Radhiyan Nurrahim/BandungBergerak)

Membangun Solidaritas

Sondang peserta Aksi Kamisan yang aktif dalam jaringan solidaritas menyebut kriminalisasi warga Sukahaji adalah bagian dari pola lama untuk menyingkirkan atau membuat takut warga terdampak penggusuran. Namun ndenga kekuatan solidritas rakyat setidaknya kita bisa saling menguatkan. Bagi Sondang, penangkapan warga adalah upaya membungkam.

“Cara-cara seperti ini biasanya dilakukan di pinggiran kota, di hutan atau kebun. Sekarang dipraktikkan di tengah kota Bandung. Ini tanda rezim semakin serakah. Seakan-akan semua gerakan rakyat dianggap berbahaya, dan salah. Mereka ingin memberi pesan kalau masyarakat akar rumput bersuara, bisa dipenjara. Apalagi ditambah RKUHAP dengan pasal-pasal aneh yang bisa mempersulit kita mengekspresikan kekecewaan, baik di sosmed maupun secara langsung,” ujarnya.

Sondang menegaskan, solidaritas menjadi kunci untuk melawan penggusuran. “Kami saling menguatkan di beberapa aksi, mengawal sidang, memantik bahwa kita nggak salah. Kasus Halmahera, Dago Elos, Sukahaji semuanya selalu ada komunikasi sampe sekarang. Kami belajar dari Dago Elos bahwa kita bisa bertahan, meski dikriminalisasi terang-terangan,” katanya.

Sondang mengingatkan juga bahwa ancaman penggusuran bisa menimpa siapa saja, bukan hanya warga yang saat ini terdampak. Menurutnya, persoalan tanah berkaitan erat dengan hak asasi manusia, lingkungan, dan masa depan masyarakat.

Ia menambahkan, pentingnya merawat perjuangan bersama. Meski sebagian orang awalnya ikut aksi hanya karena penasaran, langkah selanjutnya adalah terus berjuang dan mengorganisir perlawanan, karena perjuangan rakyat hanya bisa diperkuat oleh rakyat itu sendiri, bukan bergantung pada DPR atau partai politik, bahkan pejabat di pemerintah sekalipun.

Beranjak petang dan dikumadangkannya azan, mereka menutup aksi dengan membacakan siaran pers Forum Sukahaji Melawan dan tuntutannya terhadap pemerintah. Forum mencatat, enam warga ditahan pada 30 Juli 2025 setelah pemeriksaan panjang di Unit Jatanras Satreskrim Polrestabes Bandung. Mereka dijerat Pasal 167 KUHP tentang memasuki pekarangan tanpa izin, Pasal 169 KUHP tentang perkumpulan jahat, hingga Pasal 389 KUHP tentang merusak tanda batas pekarangan. Forum menilai tuduhan ini dipaksakan.

“Pelapor bukan pemilik sah lahan, hanya kuasa. Legal standing-nya belum jelas. Ini kriminalisasi murni,” tulis Forum Sukahaji Melawan.

Payung-payung hitam mulai ditutup, tapi suara perlawanan belum mati. Di tengah intimidasi, warga Sukahaji berjanji akan terus melawan.  

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//