Konflik Agraria Sukahaji: Tujuh Warga Ditetapkan Jadi Tersangka
Kuasa hukum warga Sukahaji, Bandung mempertanyakan pasal dan dasar penetapan tersangka, termasuk meragukan keberadaan dua alat bukti.
Penulis Tim Redaksi30 Juli 2025
BandungBergerak.id - Sebanyak tujuh warga Sukahaji, Kecamatan Ciparay, Kota Bandung, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polrestabes Bandung. Mereka disangka memasuki pekarangan rumah, melakukan perkumpulan terlarang, hingga penyerobotan tanah.
Penetapan tersangka ini menjadi babak baru dalam kasus agraria di Sukahaji. Tujuh warga tersebut merupakan anggota aktif Forum Sukahaji Melawan yang lantang menyuarakan penolakan penggusuran yang mengancam ruang hidup mereka, yang terdiri dari RJG, PS, AS, WY, S, YR, dan CS.
Pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat mereka antara lain Pasal 167 KUHP tentang memasuki pekarangan atau rumah orang lain secara melawan hukum, Pasal 169 tentang keikutsertaan dalam perkumpulan terlarang, Pasal 389 tentang perusakan atau pemindahan tanda batas pekarangan, dan Pasal 385 tentang penyerobotan tanah.
Surat pemanggilan pertama dikeluarkan dengan Nomor: S.Pgl/1125/VII/RES.1.2/2025/Reskrim. Ketujuh warga akan menjalani pemeriksaan pada 29–30 Juli 2025.
Tuduhan Dipertanyakan
Tuduhan memasuki pekarangan rumah bermula dari peristiwa pada 24 Februari 2025, ketika warga mengadakan sosialisasi di Gedung Serbaguna yang kini telah dihancurkan. Pertemuan siang itu membahas soal tanah garapan yang mereka tempati, dan dihadiri perwakilan RT, RW, serta pihak pengklaim tanah, Junus Jen Suherman.
Sosialisasi tersebut, menurut warga, hanyalah penyampaian sepihak agar mereka segera mengosongkan rumah. Saat itu, kuasa hukum Junus menyampaikan bahwa tanah tersebut bukan milik warga.
YR, salah satu dari tujuh warga yang kini menjadi tersangka, menyatakan bahwa dirinya tidak pernah melakukan tindak pidana. “Ya itu mah kan bukan rumah yang aku masukin kan itu mah gedung serbaguna,” ujarnya usai konferensi pers, Selasa, 29 Juli 2025. Ia juga menambahkan bahwa puluhan warga turut hadir karena diundang oleh pihak RW.
“Padahal kan, yang terjadi waktu tanggal 24 bulan Februari 2025 itu bukan penyerobotan kita semua warga di sini dipanggil sama RW,” kata YR. Setelah pertemuan itu, YR telah lima kali dipanggil polisi untuk dimintai keterangan terkait kepemilikan rumah. Pada pemanggilan keenam, statusnya berubah menjadi tersangka tanpa ia mengetahui kesalahannya.
Perempuan tersebut membandingkan penetapan tersangkanya dengan lambannya proses hukum terhadap dugaan kekerasan yang terjadi pada 21 April. “Yang anehnya pihak lawan kan melakukan kriminalnya, pidananya udah jelas, videonya ada, saksinya banyak. Kok enggak ada prosesnya gitu,” tuturnya.
Ia menegaskan bahwa tidak seharusnya dirinya dijadikan tersangka. “Harusnya dipikir lagi kalau mau bertindak gitu, kecuali kelihatan saya tuh nyopet, saya tuh mukul orang tuh gimana, ini kan enggak,” katanya.
Sementara itu, Polrestabes Bandung saat dikonfirmasi BandungBergerak menyatakan bahwa kasus ini sedang dalam proses penyidikan oleh Sat Reskrim Polrestabes Bandung.

Kuasa Hukum Pertanyakan Barang Bukti
Faris Hamka, Asisten Pengabdi Bantuan Hukum dari LBH Bandung, menyebut penetapan tersangka ini berasal dari laporan pihak pengusaha yang mengklaim tanah Sukahaji. Namun, Faris menilai proses tersebut janggal karena belum jelas apa dua alat bukti yang dijadikan dasar penetapan tersangka.
“Nah, ini yang belum kami ketahui tuh dua alat buktinya apa?” katanya dalam konferensi pers di Sukahaji, Selasa, 29 Juli 2025.
Menurutnya, pasal-pasal yang dikenakan adalah pasal-pasal yang sering digunakan untuk menjerat warga yang memperjuangkan ruang hidup. “Sehingga pasal yang pertama ini (167) masuk ke dalam kategori pasal yang berpotensi atau memang melakukan kriminalisasi,” ujarnya. “Pasal yang sering digunakan oleh kuasa penguasa gitu untuk mengkriminalisasi masyarakat,” lanjutnya.
Kasus sengketa agraria di Sukahaji menambah daftar kriminalisasi terhadap warga dalam konflik agraria. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2022 terdapat 497 kasus kriminalisasi terhadap pejuang hak atas tanah. Sebanyak 38 kasus melibatkan penganiayaan, 3 kasus luka tembak, dan 3 orang meninggal dunia. Selama tahun itu, terjadi 212 konflik agraria yang mencakup 1.035.613 hektare lahan dan berdampak pada 346.402 kepala keluarga.
Konflik agraria terbanyak terjadi di lima provinsi: Jawa Barat (25 kasus), Sumatera Utara (22 kasus), Jawa Timur dan Kalimantan Barat (masing-masing 13), serta Sulawesi Selatan (12 kasus). Atas dasar itu, warga menuntut agar status tersangka terhadap tujuh warga dicabut, dan kriminalisasi dihentikan.
Baca Juga: Warga Sukahaji Mencari Keadilan, Duduk Perkara Sosial dan Hukum di Wilayah Paling Padat Penduduk di Kota Bandung
Warga Sukahaji Berhak Mendapatkan Perlindungan Hukum dari Polisi, Bukannya Intimidasi
Teror Menjelang Konferensi Pers
Warga Sukahaji juga melaporkan adanya teror berupa pelemparan batu yang terjadi pada Selasa, 29 Juli 2025 dini hari, pukul 00.00–03.00 WIB. Sejumlah rumah warga mengalami kerusakan pada bagian atap akibat lemparan batu berukuran besar.
Alwi, salah seorang warga, mengisahkan bahwa selama malam itu warga terus diteror. “Lebih dari 15 kali kita dilempar batu sekepalan tangan orang dewasa,” katanya.
Karena khawatir dengan keselamatan, warga berjaga sepanjang malam. Hingga pagi, pelaku pelemparan batu tidak diketahui identitasnya. Teror tersebut mengganggu persiapan warga menjelang konferensi pers yang digelar hari itu.
“Sebelum kita mengadakan konferensi pers hari ini mereka mengganggu kami untuk menulis mengerjakan isi pers untuk hari ini membuang-buang stamina kita untuk beraktivitas hari ini seperti itu,” tutupnya.
Diketahui, Suakahaji yang sudah ditempati selama berpuluh-puluh tahun oleh warga kini menjadi pusat konflik tanah. Konflik bermula ketika jongko-jongko penjual kayu di Sukahaji diklaim oleh Junus Jen Suherman dan Juliana Kusnandar. Klaim lalu melebar ke permukiman padat penduduk.
Pihak pengklaim membawa dokumen sertifikat, Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT), dan bukti pembayaran PBB. Sementara warga yang menempati lahan mempertanyakan keabsahan dokumen-dokumen itu.
*Reportase ini dikerjakan reporter BandungBergerak Yopi Muharam dengan mendapatkan dukungan data dari Muhammad Akmal Firmansyah