SABTU SORE #27: Membaca Cerita Perempuan-perempuan yang Melawan di Buku Nyanyi Sunyi Para Puan
Dian Septi Trisnanti dalam bukunya "Nyanyi Sunyi Para Puan" menggambarkan kompleksitas kasus kekerasan seksual yang terstigma di saat berupaya melawan.
Penulis Alwi Anas13 Agustus 2025
BandungBergerak.id - Seorang korban kekerasan seksual terpaksa menerima uang ‘damai’ sebesar 15 juta. Ia membeli ponsel baru dari uang tersebut. Di balik kasus ini tersirat kompleksitas yang membingkai korban kekerasan seksual. Korban sering kali mencabut laporan dan memilih jalan damai meskipun trauma belum sepenuhnya selesai.
Kisah tersebut diceritakan dalam buku "Nyanyi Sunyi Para Puan" yang ditulis aktivis Dian Septi Trisnanti. Dian menekankan pentingnya memahami kondisi korban yang mungkin tidak mampu berpikir jernih dan memfilter informasi dengan baik akibat trauma yang dialaminya. Korban sering kali jatuh berkali-kali pada pelaku yang sama karena trauma kekerasan seksual.
Buku ini bermula dari refleksi panjang Dian Septi Trisnanti tentang perjuangan mengorganisir perempuan, khususnya dalam konteks kekerasan seksual. Pengalaman ini membentuk empati mendalam dan mendorongnya untuk berjuang bagi kelompok yang lebih rentan dan tidak berdaya dalam struktur relasi kuasa.
Dian menyoroti bahwa kekerasan seksual tidak berhenti pada satu kejadian. Kekerasan seksual kerap berlanjut dengan stigma sosial dan intimidasi, bahkan ketika korban mencoba mencari keadilan.
Dian menolak menolak penyelesaian kasus kekerasan seksual dengan jalan damai. Di sisi lain, bagi korban sekadar menjalani hidup sehari-hari saja sudah merupakan perjuangan luar biasa.
“Perubahan tidak selalu terjadi secara damai dan membutuhkan strategi yang tepat,” kata Dian Septi Trisnanti, di diskusi Sabtu Sore: Membaca Cerita-cerita yang Melawan, Diskusi buku Nyanyi Sunyi Para Puan, di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu, 9 Agustus 2025.
Dian dalam bukunya juga menyoroti perjuangan para perempuan untuk mendapatkan kebebasan dari stigma, intimidasi, dan kekerasan, serta merayakan tubuh dan keperempuanan mereka.

Pendampingan Korban Kekerasan Seksual
Melalui bukunya Nyanyi Sunyi Para Puan, Dian Septi Trisnanti menggambarkan kompleksitas dalam mendampingi korban kekerasan seksual dan mendorong perubahan sosial. Dalam proses tersebut, ia menekankan pentingnya menciptakan ruang aman dan nyaman bagi korban.
Menurutnya, kerja pendampingan bukanlah beban individu, melainkan kerja kolektif. Dalam menghadapi mereka yang memiliki posisi kuasa, seperti profesor atau dosen dalam konteks kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, Dian menekankan perlunya strategi. Ia menyarankan pengorganisasian sekutu yang memiliki kesamaan visi, melakukan pemetaan, pendekatan yang strategis, serta komunikasi yang efektif.
Pengalamannya dalam serikat guru dan menghadapi perusahaan yang menolak bernegosiasi menjadi landasan dalam memahami bahwa perjuangan tidak selalu mengandalkan dialog. Dibutuhkan siasat dan taktik yang disesuaikan dengan konteks.
Baca Juga: Kekerasan Seksual Kembali Terjadi di Bandung, Keseriusan Penanganan dan Pencegahan Perlu Dipertajam
Memahami Istilah Konsensual dalam Konteks Kekerasan Seksual Bersama Great UPI
Empati dalam Menulis
Dian juga menjelaskan pendekatannya saat menulis cerita para korban. Ia menjaga etika jurnalistik, menghindari eksploitasi kesedihan, dan memastikan korban merasa nyaman. Ia menyadari adanya bias karena relasi kuasa, dan pentingnya memahami posisi sebagai orang luar (outsider), sambil tetap menjadi bagian dari komunitas yang diadvokasinya.
Penulis berupaya menghadirkan narasi yang sederhana namun menyentuh, agar pembaca dapat memahami posisi korban tanpa menyalahkan mereka. Ia menganalogikan pendekatan ini seperti seorang petani yang memahami sesama petani. Menurutnya, kelompok rentan sangat sensitif terhadap kehadiran outsider, sehingga pendekatan sebagai seorang organizer menjadi penting.
Dian menjelaskan bagaimana ia mengorganisir berbagai kelompok narasumber, mulai dari pekerja seks, pekerja sains, mahasiswa korban kekerasan seksual, hingga buruh perempuan. Ia menekankan bahwa pengorganisasian bukan sekadar merekrut anggota, tetapi juga membangun kesadaran dan pemberdayaan diri.
Bagi Dian, perubahan sosial tidak hanya bergantung pada aksi massa, tetapi juga muncul dari perubahan individu. Ia menyimpulkan bahwa korban kekerasan seksual, setelah melalui proses pendampingan, bisa tumbuh menjadi pribadi yang berbeda dan bernilai dengan cara mereka sendiri. “Perubahan sosial tidak tunggal dan memiliki berbagai bentuk,” kata Dian saat diskusi berlangsung.
Di akhir diskusi, Dian menyampaikan bahwa perubahan bukan proses yang terpusat pada satu individu, melainkan melibatkan banyak aktor. Menulis, baginya, adalah langkah awal untuk mendorong pemahaman, namun tidak menjamin pemahaman akan langsung terbentuk.
Diskusi ini dimoderatori jurnalis BandungBergerak Salma Nur Fauziyah yang menyatakan bahwa buku ini bagian dari perjuangan berat dan kesabaran. “Dibutuhkan untuk mendapatkan cerita dari korban, serta proses kreatif dalam menulis, khususnya menjaga sensitivitas dan menyampaikan kisah personal dan romantis,” kata Salma.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB