Kain Kasang Tukang #1: Budaya Menenun dalam Tradisi Sunda
Kain tenun yang indah serta rapi buatan tangan mengingatkan pada kain tenun dari wilayah Indonesia bagian timur. Padahal senimannya dari Tatar Sunda.

Merrina Listiandari
Penulis sejarah dan budaya. Bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo
16 Agustus 2025
BandungBergerak.id – Pengetahuan penulis tentang pakaian tradisional Sunda hanya sebatas ingatan saat masa orientasi mahasiswa baru atau bahkan sejak pertama kali memasuki jenjang sekolah menengah di Bandung. Sring kali penggunaan pakaian tradisional diiringi lagu dan lenggak-lenggok tarian di bawah tatapan tajam para senior.
Samping gejed milo
Seupah gedang nu Lagedu
Diangge ku Mojang
Nu rambutan galing muntang
Saha nu ngalangkung
Bari angkat ngadangdeuang
Bari nyepeng saputangan
Siga Mojang ti Priangan
Lagu tersebut menceritakan kain batik panjang (samping, dalam bahasa Sunda) ketat yang digunakan seorang gadis, ia berlenggang-lenggok memegang sapu tangan seperti umumnya gadis dari Priangan. Entah sejak kapan lagu ini menjadi populer dan siapa pencipta aslinya. Apakah ini berasal dari sebuah pantun lama atau memang lagu modern.
Mesin pencari google memberi tahu bahwa ternyata lagu ini banyak dinyanyikan oleh beberapa seniman Sunda dengan berbagai versi. Salah satunya dengan lirik yang agak berbeda dengan judul Mojang Karawang. Walaupun banyak dinyanyikan dengan berbagai versi, tapi terdapat konteks yang sama mengenai pakaian tradisional Sunda samping yang menjadi pengetahuan kolektif masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Jawa Barat sendiri.

Pemahaman ini diperkuat oleh narasi dalam buku Pakaian Tradisional Daerah Jawa Barat terbitan Departemen Pendidikan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, yang ditulis oleh Cornelia Jane Benny dan kawan-kawan (1988). Dalam buku tersebut, mereka mengutip naskah lontar Sunda kuno Carita Ratu Pakuan yang diperkirakan ditulis pada awal abad ke-18, dan diterbitkan dalam buku Ratu Pakuan karya Atja (1970).
Ditawur ku sekar suhun
Kangkalung deung tapok gelung
Sigar deu (ng) pameunteu beuheung
Artinya, kepala dihias bunga, berkalung dan bertusuk konde sebagai penghias kepala dan leher. Bentuk sastra pada naskah tersebut mirip pantun Sunda yang terdapat pada Caritana Lutung Kasarung (Atja, 1970 dari Cornelia Jane Benny dkk., 1988) yang melanjutkan gambaran tentang perempuan Sunda:
sampingna teu pati apik
disampingan sutra kuning
Karembong cinde kediri
salindang ku cinde kembang
(kain samping tak terlalu rapi
diberi samping sutra kuning
karembong (selendang) bermotif kembang
selendang bermotif kembang yang lebat (Cornelia Jane Benny dkk., 1988)).
Pantun tersebut bahkan menyebut kata samping dan karembong yang keduanya berarti kain panjang bermotif batik. Lagu dari naskah kuna itu selaras dengan ingatan penulis mengenai pakaian harian nenek dari garis ibu yang tinggal di Bandung. Nenek bersama kawan-kawan sejawatnya selalu rapi mengenakan berkebaya, selendang, dan kain samping.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Hikayat Perjalanan Orang Tionghoa ke Nusantara serta Pasang Surut Perayaan Imlek di Indonesia #3
NGULIK BANDUNG: Kampung Naga, Kehilangan Jejak Sejarah Akibat Peristiwa Kelam

Kain Kasang
Pandangan penulis bahwa hanya batik panjanglah kain tradisional Sunda pupus saat berkunjung ke daerah Cijulang, Kabupaten Pangandaran, 1 Agustus 2026. Kunjungan hari ke-4 bersama Kementerian Kebudayaan yang dinarasikan sebagai Culture for future, From Eastern Parahyangan membuka banyak perspektif baru tentang warisan budaya benda dan tak benda di Nusantara terutama di wilayah Priangan Timur.
Tak seperti biasa, kunjungan kami ke Pangandaran justru bukan ke daerah pantai yang menjadi andalan wisata kabupaten ini. Bersama rombongan penulis berkunjung ke sebuah galeri sekaligus rumah produksi kain ecoprint Sagati di Cijulang. Di atas meja dengan dudukan mesin jahit tua di galeri ini tergeletak setumpuk kain tenun merah yang warnanya tampak memudar.
Edi Supriadi mewakili pemilik kain tersebut mengisahkan bahwa umur kain tenun ini sudah sangat tua. Kain ini dimiliki oleh leluhur pemiliknya. Namamanya kasang, sebuah kain yang ditenun dari pintalan benang yang berasal dari kapas. Kain kasang disebut asli dari Cijulang hasil tenunan ratusan tahun lalu.
“Orang-orang sini zaman dulu sudah biasa membuat kain seperti ini dan menjadi kegiatan yang biasa sehari-hari pengisi waktu,” kata Edi. “Kain kasang itu ada dua, kasang tukang dan kasang boeh. Bukan barang aneh apalagi Istimewa di zamannya, karena saat itu Masyarakat menggunakan kain kasang dalam kehidupan sehari-harinya,” tambahnya.
Kain tenun buatan tangan itu tampak indah dan rapi, sekilas mengingatkan penulis pada tenun dari wilayah Indonesia timur. Pernyataan Edi pun membawa ingatan penulis pada masyarakat adat di Tatar Sunda yang masih setia memegang tradisi leluhur, seperti masyarakat Badui dengan kain tenunnya yang khas.
Dalam hal pelestarian budaya, masyarakat adat yang tetap menjaga warisan leluhur adalah contoh terbaik sekaligus sumber inspirasi. Perempuan Badui, misalnya, dengan tekun dan telaten duduk selonjor di depan rumah panggung mereka, terampil mengoperasikan gedogan, alat tenun tradisional kuno yang hingga kini tetap digunakan, seolah tak tersentuh waktu.
Masyarakat adat Badui yang hingga kini masih setia menenun tradisional ibarat “bel” bagi penulis. Ya, mereka merupakan gambaran masyarakat Sunda kuno tetap menjalani budaya leluhur termasuk menenun. Tradisi mereka sekaligus meruntuhkan anggapan bahwa kain asli orang Sunda adalah samping batik saja.
Lalu bagaimana dengan kain kasang, sejarah, jenis, motif serta maknanya dalam kebudayaan Sunda? Penulis akan melanjutkannya dalam artikel selanjutnya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB