Membaca Wajah Indonesia dari Beragam Buku Bersama Kembang Kata Book Club
Salah satu buku yang dibaca komunitas Kembang Kata Book Club berjudul Api dan Jeruji yang membeberkan kondisi tak manusiasi para tahanan di penjara.
Penulis Rita Lestari18 Agustus 2025
BandungBergerak.id - Kembang Kata Book Club Volume 23 bergulir dengan Edisi Kemerdekaan di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, 15 Agustus 2025. Salah satu buku yang dibaca berjudul Api dan Jeruji: Kerusuhan Penjara dan Pemberontakan Tahanan di Indonesia 2012–2022 yang ditulis Jungkir Maruta, seorang mantan narapidana yang menulis dengan nama samaran.
Acara komunitas baca ini berlangsung dalam suasana dingin Kota Bandung belakangan ini. Agenda dibuka Winda dan Sahla selaku MC. Disebutkan, Kawan Kata, sebutan bagi para pegiat komunitas Kembang Kata Book Club, mencoba memahami Indonesia lewat membaca. Seperti biasa, acara dilanjutkan dengan membaca senyap selama 40 menit, dilanjutkan dengan sesi diskusi. Para peserta membaca buku-buku dengan genre beragam tapi semuanya bermuara pada satu tema: Membaca Wajah Indonesia.
Reza, salah satu Kawan Kata yang membaca buku Api dan Jeruji menjelaskan bahwa buku ini mencoba membuka sisi gelap kehidupan penjara Indonesia yang jarang tersorot publik. Penulis membedakan antara kerusuhan dan pemberontakan. Kerusuhan sering dianggap spontan, sedangkan pemberontakan lebih terorganisasi dan lahir dari tekanan sistemik.
Menurut Reza, buku Api dan Jeruji menarik karna ditulis berdasarkan pengalaman pribadi dan penyintas. “Jungkir Maruta itu karena dia seorang residivis, residivis itu mantan tahanan penjara, jadi dia punya relasi ke para penyintas,” kata Reza, di sesi diskusi Kembang Kata Book Club.
Buku tersebut dibagi ke dalam beberapa bagian. Bagian pertama diawali dengan sejarah sistem penjara di Indonesia yang ternyata adalah warisan dari kolonialisme Belanda. Buku ini memotret rentang waktu 2012. Saat itu Presiden Jokowi mendeklerasikan war on drug atau perang terhadap narkoba. Dampak kebijakan ini membuat tahanan penjara meningkat 250 persen sehingga menimbulkan kelebihan kapasitas di penjara-penjara. Kondisi semakin runyam ketika praktik brutalitas dan komersialisasi oleh sipir menyeruak.
“Misalnya saya punya keluarga di tahanan, saya tuh bawa kue untuk keluarga saya yang di tahanan, misal bawa sekotak, tapi waktu sampai ke keluarga saya ga segitu. Terus disajikan pake piring kotor yang ga dicuci. Nah hal-hal kecil itu teh bisa memicu sebuah pemberontakan,” jelas Reza.
Terkait hari kemerdekaan, Reza menyampaikan pandangan kritis. Ia merasa Indonesia tidak bergerak ke mana-mana—bahkan mungkin mundur—melihat berbagai kondisi yang mengkhawatirkan. Hal itu tampak dari hal-hal kecil dalam keseharian, seperti pelarangan bendera One Piece, hingga persoalan besar seperti penggusuran, kriminalisasi, dan turunnya daya beli masyarakat.
“Saya hanya berharap di masa mendatang, media alternatif makin banyak bermunculan. Semakin banyak orang berani menulis, berani membaca, berani mengorganisir diri sesuai kemampuan masing-masing, dan berani melepaskan atribut atau warna politiknya untuk lebih membaur dengan masyarakat,” ujar Reza.
Peserta Kembang Kata Book Club yang lain Nidan turut menanggapi. Ia mengatakan, berbicara tentang tahanan kisah demonstran yang ditangkap sewenang-wenang menggunakan pasal keliru saat aksi May day, Sukahaji, dan RUU TNI.“Bahkan ngomongin prosedur penahanannya juga udah ga masuk akal gitu, kacau banget,” ungkap Nidan.
Nidan turut mendampingi korban penahanan. Dari keterangan dampingannya, diketahui bahwa tanahan tersebut kerap tidur di lantai. Dia tinggal di salam sel yang diisi 27 orang. WC di sel tak berpintu dan ia harus menahan bau pesing setiap harinya. Jatah air pun hanya diberikan 1 dirigen dengan kualitas buruk. Jumlah air tersebut harus cukup untuk 27 orang.
Ada pula tahanan yang mendapat kekerasan hingga komersialisasi karena segalanya serba bayar. “Ga serta merta hidup di penjara tuh gratis, bahkan pindah ke rutan pun harus bayar,” kata Nidan.
Kawan Kata lainnya, Suci, membaca buku Manusia Indonesia karya Mochtar Lubis. Buku ini merupakan pidato Mochtar Lubis di era Orde Baru. Jurnalis harian Indonesia Raya tersebut melihat karakter-karakter buruk manusia Indonesia sebagai bahan berbenah dan refleksi.
“Bukan pengin menjatuhkan manusia Indonesia tapi pengin ngasih awareness atau kesdaran berubah,” ucap Suci.
Menurut Mochtar Lubis, terdapat 6 sifat buruk manusia Indonesia yang harus diubah, di antaranya munafik/hipokrit, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, kurang disiplin, artistik tapi lebih menekankan simbol, emosional, dan melihat bentuk luar daripada isi dan tindakan nyata.
Baca Juga: KABAR DARI REDAKSI: Membaca dan Menulis Bersama Komunitas Kembang Kata Book Club
PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Kembang Kata Book Club Edisi Gema Perlawanan Pramoedya Ananta Toer
Pesan untuk Indonesia
Sajatining Guru Waspada Pernama Tinggal merupaka buku yang dibaca Hirza. Buku tersebut merupakan kumpulan ajaran leluhur Sunda yang dibalut dengan apik dengan disisipkan berbagai karya seni di dalamnya. Selain memberikan berbagai hal yang didapat dari buku tersebut, Hirza juga membacakan kutipan yang menarik:
“Jangan sepatutnya kita merasa paling mulia tapi di saat yang bersamaan kita harus merasa berharga,” ujarnya. Buku ini juga menjelaskan meski manusia bagian kecil dari dunia tapi mereka memiliki peran besar.
Giliran Yanti yang berbagi pengalamannya selama acara membaca senyap. Ia membaca buku “Babad Blora dan 3 Cerita Legenda yang diterjemahkan Koesalah Soebagyo Toer dan Soesilo Toerserta dengan komentar oleh Pramoedya Ananta Toer.
“Sebenernya bingung bawa buku Indonesia apa, karna aku bingung sebenernya arti jadi Indonesia itu apa,” ujar Yanti, sontak membuat Kawan Kata lain bersorak.
Dalam buku tersebut ia mengetahui kisah manusia Nusantara yang lebih suka mendengar daripada membaca. Oleh karenanya ia merasa kegiatan membaca, berdiskusi, dan menulis seperti yang diadakan Kembang Kata Book Club amat penting dan bermanfaat.
Sementara Fay, peserta Kembang Kata Book Club lainnya memilih membaca buku tentang Munir. Munir dikenal sebagai aktivis HAM yang tewas diracun pada tahun 2004. Ia pernah mengadvokasi kasus Marsinah, penculikan aktivis 1998, serta turut membentuk KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), di antara berbagai kiprah penting lainnya.
Fay lalu membacakan salah satu kutipan favoritnya dari buku tersebut dengan penuh penghayatan:
“Tidak ada pembenaran atas alasan apa pun bahwa orang boleh membunuh dan menculik. Sebab, itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap persatuan dan tekad kita membangun bangsa yang benar dan kuat.”
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB