• Indonesia
  • Pendidikan Perempuan Muda Belum Cukup Menghapus Ketimpangan di Sektor Pertanian

Pendidikan Perempuan Muda Belum Cukup Menghapus Ketimpangan di Sektor Pertanian

Ketimpangan kelas dan gender menjadi wajah pertanian Indonesia. Perempuan muda dan orang muda di perdesaan kesulitan mengakses sumber daya pertanian.

Warga menjemur padi dari sawah yang dilanda kekeringan di Rancaekek, Rabu, 11 Oktober 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Alwi Anas19 Agustus 2025


BandungBergerak.idMeskipun pendidikan perempuan muda di Indonesia meningkat pesat dalam tiga dekade terakhir, hal ini masih belum cukup untuk mengatasi ketimpangan kelas, gender, dan generasi di sektor pertanian. Sektor pertanian Indonesia memang menjadi salah satu pilar utama perekonomian, menyerap 39,45 juta pekerja atau 28,22 persen dari total angkatan kerja (BPS, 2023). Namun, meski perannya sangat penting, perempuan dan generasi muda, khususnya di pedesaan, masih menghadapi berbagai hambatan dalam mengakses sumber daya dan peluang di sektor ini.

Hal itu terungkap dalam hasil riset yang dipaparkan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada acara Diseminasi Hasil Penelitian "Orang Muda, Perempuan, dan Masa Depan Pertanian Indonesia" yang diselenggarakan oleh AKATIGA, Komisi X DPR RI, dan BRIN di Hotel Savoy Homann, Bandung, 9 Agustus 2025.

Gutomo Bayu Aji, peneliti BRIN, dalam paparan risetnya menyebutkan bahwa petani muda (usia 19-39 tahun) hanya mencakup sekitar 21,93 persen dari total petani di Indonesia, dengan sebagian besar menggarap lahan sempit dan bekerja dalam status informal.

Petani muda yang lebih berorientasi teknologi dan bisnis masih prematur dan belum berdampak signifikan secara sosial. Ia menambahkan bahwa kebijakan, norma budaya patriarki, serta media yang belum sepenuhnya setara gender, menjadi faktor yang menghambat partisipasi petani muda, khususnya perempuan.

Diseminasi Hasil Penelitian bertema Orang Muda, Perempuan, dan Masa Depan Pertanian Indonesia yang diselenggarakan oleh AKATIGA, Komisi X DPR RI, dan BRIN di Hotel Savoy Homann, Bandung, 9 Agustus 2025. (Foto: Alwi Anas/BandungBergerak)
Diseminasi Hasil Penelitian bertema Orang Muda, Perempuan, dan Masa Depan Pertanian Indonesia yang diselenggarakan oleh AKATIGA, Komisi X DPR RI, dan BRIN di Hotel Savoy Homann, Bandung, 9 Agustus 2025. (Foto: Alwi Anas/BandungBergerak)

Baca Juga: Dilema Orang-orang Muda Bandung di Bentala Pertanian
Melihat Dampak Memprihatinan PLTU Batu Bara terhadap Ekonomi dan Pertanian di Indramayu

Riset ini juga menunjukkan bahwa perempuan petani sering kali terjebak dalam pekerjaan informal, terutama di sektor pasca-panen, pengolahan, dan pemasaran lokal. Mereka tidak memiliki akses yang memadai terhadap modal, teknologi, atau pelatihan. Data Sensus Pertanian 2023 menunjukkan bahwa hanya sekitar 17 persen perempuan dewasa di sektor pertanian yang memiliki hak kepemilikan lahan yang aman, jauh dibandingkan dengan 52,92 persen pada laki-laki dewasa.

Hambatan ini lebih berat bagi perempuan muda. Dalam banyak kasus, sistem waris patrilineal di wilayah seperti Flores membatasi akses mereka terhadap tanah. Perempuan muda juga sering kali tidak diundang dalam penyuluhan atau perencanaan program pertanian, dan jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan di kelompok tani atau lembaga terkait.

Hetifah Sjaifudian, MPP dan Ketua Komisi X DPR RI, menekankan perlunya kebijakan afirmatif untuk mendukung regenerasi petani muda dan kesetaraan gender di sektor pertanian. "Ruang yang penting untuk dipikirkan ke depan adalah regulasi tentang bagaimana orang muda bisa mengakses sumber daya pertanian ini," ujar Hetifah, saat memberikan sambutan terkait diseminasi hasil riset ini.

Apalagi, ketimpangan ini diperburuk dengan rendahnya minat generasi muda untuk menjadi petani, yang disebabkan oleh kurangnya penghargaan terhadap pendidikan vokasi pertanian. Ketidaktertarikan terhadap profesi petani, ditambah dengan masih dominannya petani berusia 40-60 tahun, membuat regenerasi petani berjalan lambat. Dalam hal ini, pendidikan yang lebih berorientasi kewirausahaan dan teknologi serta akses yang lebih baik terhadap sumber daya seperti lahan dan permodalan menjadi hal yang sangat dibutuhkan.

Sementara itu, Aprilia Ambarwati, seorang narasumber dalam acara tersebut, menekankan bahwa proses menjadi petani adalah perjalanan panjang yang dipengaruhi oleh migrasi, pendidikan, gender, dan kelas. "Regenerasi petani bukan hanya soal kemauan, tetapi juga soal akses dan politik pengakuan," ujarnya.

Meskipun pendidikan perempuan muda semakin meningkat, ketimpangan struktural yang ada dalam sektor pertanian Indonesia masih memerlukan perhatian serius. Seperti yang disimpulkan dalam riset BRIN, meski ada kemajuan, kelompok perempuan muda pedesaan tetap menjadi yang paling terpinggirkan dalam sektor ini.  

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//