• Cerita
  • Menyemai Generasi Perempuan Pemelihara Bumi di Aisyiyah Boarding School Bandung

Menyemai Generasi Perempuan Pemelihara Bumi di Aisyiyah Boarding School Bandung

Aisyiyah Boarding School Bandung membentuk santriwati yang memahami bahwa bumi adalah titipan yang harus dijaga, bukan warisan untuk dihabiskan.

Pesantren Aisyiyah Boarding School Bandung, Rabu, 6 Agustus 2025. (Foto: Alifah Zahira Sofwa/BandungBergerak)

Penulis Adi Marsiela19 Agustus 2025


BandungBergerak.id – Pagi hari, ketika matahari mulai menyusup dari sela-sela atap asrama Aisyiyah Boarding School (ABS), Bandung, Rabu, 6 Agustus 2025, para santriwati sudah berbaris di dekat deretan keran bak cuci piring sambil membawa piring dan gelas bekas sarapan. Satu per satu mereka membasahi piring di bawah pancuran air, mengeruk sisa nasi dengan sendok, lalu menggosoknya perlahan dengan sabun dan spons hingga licin. Aroma sabun bercampur sisa-sisa makanan menguar.

Di samping bak cuci piring tersedia dua jenis tong sampah. Yang berwarna hijau khusus untuk sampah makanan dan organik. Yang kuning untuk sampah plastik atau jenis sampah anorganik lainnya. Tanpa perlu instruksi, tangan-tangan santriwati itu sudah telaten memisahkan daun pisang dari pembungkus plastik, memindahkan potongan tulang ayam ke tong organik, lalu menaruh plastik bekas kerupuk ke tempat anorganik.

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan sekolah asrama ABS Bandung yang padat, pemandangan bernuansa lingkungan itu menjadi ritme harian. Di sini para santriwati tidak hanya mengejar setoran hafalan Al Quran atau nilai akademis, tetapi juga berlomba dalam kebaikan menjaga lingkungan. Botol plastik tidak lagi dianggap sampah, sisa makanan menjadi berkah bagi makhluk lain. Kebersihan bukan sekadar slogan, melainkan bagian dari karakter yang ditanamkan setiap hari. Semangat inilah yang ditanamkan di ABS untuk melahirkan generasi perempuan penjaga bumi.

Santriwati makan bersama di ruang makan Pesantren Aisyiyah Boarding School Bandung, Rabu, 6 Agustus 2025. (Foto: Hakim Muttaqie Azka)
Santriwati makan bersama di ruang makan Pesantren Aisyiyah Boarding School Bandung, Rabu, 6 Agustus 2025. (Foto: Hakim Muttaqie Azka)

Floreen Maheswari dan Ayumi Fauzia merupakan dua santriwati di antara ratusan siswa yang menghuni Pondok Pesantren Aisyiyah. Mereka sudah terbiasa dengan perilaku menjaga lingkungan seperti memilah sampah makanan.

“Setelah makan, kami langsung memilah sampah. Mana sisa makanan, mana yang dapat didaur ulang. Ini sudah menjadi kebiasaan,” ungkap Ayumi, siswi kelas 1 SMA atau kelas 4 Aisyiyah Boarding School.

Ayumi adalah salah satu santriwati yang terlibat aktif dalam budidaya maggot, memanfaatkan sampah organik menjadi pakan ternak yang membawa manfaat ekonomi. Ada pula Floreen yang mengikuti kegiatan membuat kerajinan tangan dari bekas sampah plastik, mengubah limbah menjadi sesuatu yang bernilai.

“Kami pernah membuat kerajinan tangan dari plastik. Juga terlibat dalam budidaya maggot. Ternyata, maggot memiliki nilai ekonomi,” kata Floreen sambal tersenyum mengingat pengalamannya.

Memilah sampah bukan sekadar rutinitas pesantren bagi mereka, melainkan wujud nyata rasa syukur dan tanggung jawab pada bumi titipan Tuhan yang harus dijaga dengan sepenuh hati. Kisah mereka adalah cermin dari karakter pendidikan yang membumi, di mana tangan yang memegang mushaf juga mampu memilah sampah dan memberi kehidupan baru pada benda yang dianggap tak berguna.

Pesantren putri ABS Bandung didirikan pada 16 April 2013. Di awal berdirinya pesantren baru menerima jenjang pendidikan SMP. Berselang dua tahun, barulah jenjang SMA dibuka. Kepercayaan masyarakat yang terus tumbuh mendorong berkembangnya ABS menjadi dua lokasi.  Kampus I berlokasi di Gumuruh untuk santriwati jenjang pendidikan SMP di lahan seluas ±2.100 meter per segi, dan Kampus II di Baleendah di atas tanah wakaf seluas ±18.000 meter per segi yang diperuntukkan bagi santriwati SMA. Kedua kampus ini menjadi ruang belajar yang memadukan pendidikan agama, ilmu pengetahuan, dan nilai-nilai kepedulian lingkungan yang menjadi ciri khas ABS.

Tempat pemilahan sampah di Pesantren Aisyiyah Boarding School Bandung, Rabu, 6 Agustus 2025. (Foto: Hakim Muttaqie Azka/BandungBergerak)
Tempat pemilahan sampah di Pesantren Aisyiyah Boarding School Bandung, Rabu, 6 Agustus 2025. (Foto: Hakim Muttaqie Azka/BandungBergerak)

Suara yang Menanam Akar Perubahan

“ABS tidak dibangun hanya dengan tembok dan kurikulum, tetapi juga dengan pepohonan, udara bersih, serta prinsip kehidupan ramah lingkungan,” ujar Ia Kurniati, Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah (PWA) Jawa Barat, sekaligus penggerak utama berdirinya ABS, Selasa, 5 Agustus 2025.

Ia Kurniati menerangkan, Aisyiyah adalah organisasi perempuan yang memiliki semangat membawa rahmat bagi seluruh alam. Berdirinya pesantren ABS dengan program kepedulian lingkungan merupakan perwujudan nyata dari semangat tajdid (pembaruan Islam), cara berpikir dan bertindak yang sesuai dengan tantangan zaman.

Kepala SMP ABS sekaligus anggota Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana PWA Jawa Barat Fitma Fitria Iqlima mengatakan, pendirian ABS yang memilih fokus pada isu Zero Waste bukan hanya sekadar mengikuti tren belaka, melainkan bentuk tanggung jawab terhadap tragedi masa lalu dan harapan masa depan.

Santriwati makan bersama di ruang makan Pesantren Aisyiyah Boarding School Bandung, Rabu, 6 Agustus 2025. (Foto: Hakim Muttaqie Azka/BandungBergerak)
Santriwati makan bersama di ruang makan Pesantren Aisyiyah Boarding School Bandung, Rabu, 6 Agustus 2025. (Foto: Hakim Muttaqie Azka/BandungBergerak)

“Peristiwa meledaknya TPA Leuwigajah menjadi peringatan keras bagi kami bahwa pengelolaan sampah bukan perkara remeh. Dari sanalah kami ingin membentuk generasi yang memiliki kesadaran lingkungan,” kata Fitma, ketika ditemui di Kantor SMP ABS, Senin, 6 Agustus 2025.

Kesadaran tersebut pun diterjemahkan ke dalam sistem yang terstruktur dan setiap sudut ABS dirancang untuk mendukung gaya hidup minim sampah. Tempat sampah disediakan berdasarkan kategorisasi jenisnya. Plastik tidak serta-merta dibuang, melainkan diolah kembali. Sementara sampah organik diolah melalui program budidaya maggot yang pernah menghasilkan pakan ternak dan memberikan nilai ekonomi.

Di lingkungan ABS semangat nol sampah (zero waste) bukan hanya tercetak di papan pengumuman atau diucapkan dalam rapat, melainkan mengalir di setiap aktivitas penghuni di dalamnya. Langkah-langkah kecil yang konsisten menjelma menjadi kebiasaan kolektif.

“Dulu masih banyak plastik berserakan karena para pedagang berasal dari luar. Sekarang, seluruh penjual berasal dari internal ABS dan telah berkomitmen mengurangi penggunaan plastik,” jelas Fitma.

Kebijakan ini mengubah wajah kantin pesantren hampir 180 derajat. Jajanan tak lagi tersaji dalam kantong kresek, dan santri yang ingin membeli tanpa membawa wadah pribadi harus siap menyantapnya langsung dari tusuk sate. Fitma berpendapat, terdapat keunggulan menerapkan kebiasaan zero waste di ABS, yaitu karena seluruhnya adalah perempuan. Baginya, kekuatan perempuan bukan hanya dalam mengasuh, tetapi juga dalam memimpin perubahan sosial. Setiap santriwati adalah bibit pemimpin yang akan tumbuh di masyarakat, membawa nilai-nilai yang telah mereka pelajari di pesantren.

“Karena semuanya perempuan, pendekatannya lebih menyentuh empati. Pendidikan pun lebih cepat diterima. Mereka dapat menjadi agen perubahan bahkan ketika sudah berada di luar pesantren,” ungkapnya.

Wakil Mudir Bidang Pendidikan dan Pengasuhan Teguh Mulyadi menyatakan, pendidikan karakter dan disiplin positif menjadi fondasi utama program ini. Di samping itu, sistem dibangun menggunakan pendekatan utama melalui edukasi. Seperti melalui bimbingan musyrifah, kegiatan organisasi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), hingga peringatan momen besar seperti Milad ABS, nilai-nilai ramah lingkungan ditanamkan secara berkelanjutan. Bahkan diterapkan pula pembatasan jumlah pakaian dan sandal yang boleh dibawa ke asrama. Hal itu dilakukan bukan untuk membatasi hak santri, melainkan guna menghindari penumpukan barang yang dapat berujung menjadi limbah.

“Kami ingin seluruh santriwati terbiasa dengan kebiasaan baik. Mereka membawa tumbler, mencuci alat makannya sendiri, dan memahami bahwa sampah merupakan tanggung jawab pribadi,” ungkapnya.

Baca Juga: Beribadah, Mengelola Sampah
Jalan Mengimani Ayat-ayat Lingkungan Melalui Pengolahan Sampah

Peralatan makan santriwati yang sudah dicuci dan ditata di ruang makan Pesantren Aisyiyah Boarding School Bandung, Rabu, 6 Agustus 2025. (Foto: Hakim Muttaqie Azka)
Peralatan makan santriwati yang sudah dicuci dan ditata di ruang makan Pesantren Aisyiyah Boarding School Bandung, Rabu, 6 Agustus 2025. (Foto: Hakim Muttaqie Azka)

Buah Manis dari Zero Waste

Membangun budaya tak bisa hanya sekadar menempelkan himbauan melalui pengumuman. Kesabaran, ketelatenan, dan keyakinan dibutuhkan dari setiap langkah untuk menyukseskan program zero waste. Sebagai Wakil Mudir ABS Teguh Mulyadi memahami hal ini dengan baik. Makanya, konsistensi menjadi kunci utama. “Kami tidak boleh lelah. Edukasi harus terus dilakukan setiap bulan,” katanya dengan takzim.

Itulah sebabnya para akademisi ABS menyimpan satu harapan besar untuk para santriwati dan alumni untuk tidak sekadar pulang dengan tas penuh catatan pelajaran dan hafalan, tetapi juga dengan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai itu.

“Lebih baik seorang santri menghafal satu hadis tentang kebersihan namun mengimplementasikannya, daripada menghafal 40 hadis tetapi tidak mencerminkannya dalam perilaku,” ungkap Teguh Mulyadi.

Program Zero Waste di ABS terus dijalankan, tak pernah berhenti meski fasilitas berganti atau ruang dapur dibongkar. Budidaya maggot kini sedang dibenahi, siap melanjutkan pengolahan sampah organik menjadi pakan ternak yang bernilai. Tidak lupa juga, kampanye hidup ramah lingkungan terus menggema melalui poster-poster di dinding asrama, aksi bersih-bersih yang melibatkan seluruh warga, hingga keteladanan para guru dan musyrifah. Ini bukan program yang bergantung pada satu figur, melainkan gerakan kolektif di mana semua elemen ikut berkontribusi.

Di sini, perempuan tidak hanya berperan di ruang domestik, tetapi memimpin dari barisan terdepan dalam gerakan menjaga bumi. Dari para ibu penggerak yang menyusun kebijakan, guru yang memberi teladan, petugas kebersihan yang bekerja tanpa lelah, hingga santriwati yang dengan sabar memilah sampah, semuanya adalah bagian dari satu rantai yang kokoh.

Setelah berjalan beberapa tahun, dampak baik dari penerapan pengelolaan sampah ini pun terlihat. Sebelum aturan ketat diterapkan, ABS menghasilkan sekitar 20 kilogram sampah organik dan 15 kilogram sampah anorganik per hari. Angka itu kini mengalami penurunan jumlah yang drastis, yaitu 10-15 kilogram sampah organik dan 3-5 kilogram anorganik per hari. Penurunan ini bukan sekedar hasil regulasi, melainkan buah manis dari kebiasaan yang tumbuh dari kesadaran bersama.

“Dulu sampah dari asrama langsung dibakar. Sekarang, sudah dipilah dan diambil untuk diproses lebih lanjut. Para santri pun sudah cukup disiplin dalam membuang sampah sesuai dengan jenisnya,” ungkap Yani Nur Hayani, salah satu petugas kebersihan di Pesantren ABS.

Konsistensi santriwati dalam pengelolaan sampah ibarat denyut nadi yang menjaga ritme kebersihan pesantren. Yang ibaratnya hening dalam kerja, namun besar dalam dampak. Dan dari sinilah, dari sebuah pesantren yang dibangun bukan hanya dengan batu bata dan semen, tetapi juga dengan keyakinan dan cinta pada bumi. Dari iman yang mengalir di hati para penghuninya diharapkan lahir generasi baru yang paham bahwa bumi bukanlah warisan untuk dihabiskan, melainkan titipan untuk dijaga. Menjaga titipan itu bukan pilihan, melainkan bagian yang tak terpisahkan dari pengamalan agama.

*Liputan ini dikerjakan Hakim Muttaqie Azka dan Alifah Zahira Sofwabagian dari program SMILE (Strengthening Youth Multifaith Leader Initiative on Climate Justice through Ecofeminism) yang diinisiasi Eco Bhinneka Muhammadiyah dan berkolaborasi dengan BandungBergerak 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//