Menanam Solidaritas Melalui Gerakan Warga Bantu Warga, dari Nasi Bungkus hingga Pakaian Gratis
Gerakan warga bantu warga di Bandung dilatarbelakangi belum maksimalnya negara dalam mendukung ekonomi warga kelas bawah.
Penulis Yopi Muharam20 Agustus 2025
BandungBergerak.id - Seorang warga meletakkan makanan di atas etalase makanan gratis di pintu masuk Tampra Youth Space atau Taman Pramuka, Bandung, Senin, 18 Agustus 2025. Orang itu menata nasi dan teh tawar berbaris rapi. Isi di dalam bungkusan nasi cukup beragam, mulai dari telur, ayam, sayuran, hingga ikan. Tak lama kemudian para pekerja, pengemudi ojek daring, pedagang kaki lima, petugas kebersihan menyerbu etalase ini.
Etalse makanan gratis hasil inisiatif bersama dari berbagai komunitas atau individu tanpa mengatasnamakan siapa pun. Saat ini ada dua titik etalase serupa di Kota Bandung, yaitu di Taman Pramuka dan Cihapit.
Etalase pertama berdiri sekitar Februari di Taman Pramuka, disusul dua titik lainnya di Sumedang dan Baleendah. Etalase terbuka bagi siapa saja yang mau menyumbangkan makanan dan siapa pun boleh mengambilnya. Gerakan ini murni warga bantu warga, tanpa iming-iming label ataupun program pemerintah.
Angga Ferdiansyah, salah satu pegiat skaters di Tampra Youth Space menjelaskan etalase makanan gratis sebagai bentuk tradisi warga bantu warga yang telah ada di Bandung jauh sebelum masa pageblug. Dulu, di skena hardcore punk, pernah muncuk gerakan Food Not Bombs (FnB) yang menjadi embrio terbentuknya etalase makan gratis. FnB adalah gerakan internasional yang menyediakan makanan gratis bagi orang-orang yang membutuhkan.
Sebagian etalase makanan gratis terbentuk setelah bencana atau krisis kemanusiaan seperti penggusuran. Dalam situasi ini dapur umum darurat biasanya dibentuk untuk menyediakan keperluan pangan.
“Intinya, jika memang selama ini bisa dilakukan oleh warga, mengapa tidak menjadi tradisi keseharian?” ujar Angga, kepada BandungBergerak usai menyimpan makanan di etalase.
Tujuan etalase makanan gratis pun lugas, yaitu memastikan orang-orang di sekitar tidak kelaparan. Saat bencana pandemi Covid-19 yang memberlakukan karantina wilayah (PPKM), orang-orang terpaksa berdiam diri di rumah. Situasi ini jelas menyulitkan orang-orang yang menggantungkan nasib di jalan.
“Berangkat dari situ, kawan-kawan dari komunitas underground berinisiatif mendirikan dapur umum dan membagikan makanan dari rumah ke rumah,” tutur Angga.
Kendati demikian, etalase makanan gratis tidak setiap hari terisi karena sangat mengandalkan masyarakat yang hendak menyisihkan penghasilannya untuk didermakan. Namun Angga optimis semangat warga bantu warga akan terus tumbuh.
“Kami percaya bahwa dengan semangat berbagi dan rasa kolektivitas yang telah terbentuk di kalangan scene, tidak perlu menunggu gerakan besar untuk bertindak. Kami berharap teman-teman di luar scene juga dapat meniru inisiatif ini dengan membuat etalase makanan gratis di titik-titik tongkrongan mereka,” jelas Angga.

Meringankan Beban
Omay Komarudin, pengemudi ojek daring, merasakan langsung dampak dari etalase makanan gratis. Keberadaan etalase makanan telah membantunya mengirit pengeluaran untuk makan selama bekerja. “Jadi ngirit, uangnya bisa disimpan untuk di rumah,” kata laki-laki berumur 38 tahun, kepada BandungBergerak.
Omay sehari-hari bisa mengeluarkan 30 ribu rupiah lebih untuk makan tiga kali. Ia bersama para pengemudi lain sering menunggu orderan di sekitar Taman Pramuka. Dia bersama rekan seprofesinya berencana akan mengisi etalase tersebut jika ada uang lebih. “Tapi kalau misalnya ada rejeki atau lebih, mau aja gitu,” tandasnya. “Tapi sekarang mah penghasilnya lagi minim.”
Wahyu Hidayat, pedagang kaki lima, merasakan juga dampak baik dari etalase makanan gratis. “Sangat membantu, apalagi di sini suka makan bareng sama ojol-ojol,” tutur pria 55 tahun itu.
Posisi etalase makanan gratis memang strategis karena di pusat kota. Selain para pekerja lapangan seperti Omay dan Wahyu, tak jarang tunawisma juga kebagian makanan gratis. Mereka biasa menyimpan gerobak sambil beristirahat dan menyantap hidangan.
Taman Pramuka menjadi terasa lebih hidup dan beragam. Di dalam taman para pemain skateboard dan orang-orang komunitas sibuk beratraksi dengan papan seluncur.
Baca Juga: Merawat Solidaritas Orang-orang Bandung dalam Menolak Penggusuran dan Menyemai Perlawanan
Solidaritas dari Bandung untuk Rempang Galang

Pasar Gratis
Gerakan warga bantu warga tidak hadir dalam bentuk bantuan makanan saja. Jauh sebelum pandemi Covid-19, di Bandung telah muncul inisiatif bernama Pasar Gratis (Partis) yang merespons gaya hidup konsumtif masyarakat dalam membeli pakaian.
Saat pandemi merebak, Partis rutin digelar untuk merespons kebijakan pemerintah yang dinilai mengabaikan kelompok rentan seperti pekerja serabutan dan tunawisma yang kehilangan penghasilan.
Seant Anugrah, salah satu penggerak Partis, menyebut pasar cuma-cuma ini sebagai bentuk perlawanan terhadap ketimpangan sosial. Menurutnya, selama pandemi, banyak warga yang membutuhkan justru tak mendapatkan perhatian dari negara. Pemerintah membatasi mobilitas warga tanpa solusi yang memadai. Krisis pangan dan kebutuhan jalanan terbengkalai dan negara dianggap tidak peka terhadap fenomena itu.
Atas dasar itu, Partis hadir untuk mendampingi warga. Bagi Seant, rakyat tidak bisa terus-menerus menggantungkan harapan pada pemerintah. “Ibaratnya negara tidak punya apa-apa, kita punya satu sama lain,” kata Seant, Selasa, 19 Agustus 2025.
Seiring waktu, Partis berkembang menjadi gerakan sosial yang aktif tidak hanya selama pandemi. Kini, mereka juga terlibat dalam isu-isu penggusuran dan konflik agraria. Dalam sepuluh tahun terakhir, penggusuran mengancam berbagai kampung kota di Bandung seperti Dago Elos, Kampung Kolase, Rumah Laswi, Anyer Dalam, Tamansari, dan Sukahaji. Partis hadir untuk mendampingi warga di tengah ancaman tersebut.
Gerakan serupa juga muncul di berbagai daerah lain. Dalam jurnal “Warga Bantu Warga: Modal Sosial sebagai Instrumen Non-Pemerintah yang Memperkuat Pemerintahan Desa di Sigi Keluar dari Krisis”, Siti Rabiatul Wahdaniyah dan tim menyoroti aksi solidaritas warga di Sulawesi Selatan selama pandemi 2020–2022.
Di Desa Sigi, para ibu rumah tangga bersama komunitas lokal mendirikan dapur umum tanpa melibatkan pemerintah. “Gerakan warga bantu warga ini merupakan wujud nyata modal sosial dan inovasi non-pemerintah. Terbukti sangat efektif membantu warga keluar dari krisis,” tulis Siti dan rekan-rekannya.
Kemiskinan Struktural Kota Bandung
Gerakan warga bantu warga juga tidak lepas dari konteks kemiskinan struktural di perkotaan. Berdasarkan data BPS Kota Bandung, pada tahun 2020 terdapat 100.020 jiwa penduduk miskin (3,99 persen dari total penduduk), meningkat dari 84.670 jiwa pada 2019.
Pada tahun 2021, angka tersebut naik menjadi 4,37 persen, atau sekitar 124.800 jiwa, akibat dampak pandemi. Namun, pasca-pandemi, Pemerintah Kota Bandung mengklaim angka kemiskinan diklaim menurun. Berdasarkan data dari laman Humas Kota Bandung, persentase kemiskinan turun menjadi 3,98 persen pada 2023 dan 3,27 persen pada 2024.
Pemkot menargetkan angka kemiskinan turun hingga 2,74–2,81 persen pada 2029, sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). “Target ini membutuhkan kerja keras seluruh jajaran TKPK dan dukungan berbagai pihak,” ujar Dharmawan, Pj Sekretaris Daerah Kota Bandung.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB