SABTU SORE #28: Ngawangkong Sunda Sambil Lalu, Membicarakan Proses Kreatif Penulisan Esai
Diskusi buku Sunda Sambil Lalu di Perpustakaan Bunga di Tembok. Mengungkap proses kreatif penulisan, meracik pengalaman menjadi gagasan.
Penulis Alwi Anas20 Agustus 2025
BandungBergerak.id - Diskusi bertema “Ngawangkong Sunda Sambil Lalu” yang digelar di Perpustakaan Bunga di Tembok menghadirkan suasana akrab namun penuh makna. Tiga sosok hadir dalam forum ini, yaitu penulis Hawe Setiawan, editor sekaligus penulis Fitra Sujawoto, dan moderator Salma Nur Fauziyah. Dalam suasana santai, mereka membuka proses kreatif menulis yang bersumber di luar meja, dari kehidupan sehari-hari.
Hawe Setiawan mengawali dengan menyampaikan pandangannya bahwa keterikatan dengan tempat adalah salah satu fondasi penting dalam menulis esai. Ia percaya bahwa penulis idealnya berada langsung di tempat yang sedang ia tulis, atau setidaknya membawa "ramuan" khas dari tempat itu ke dalam tulisannya.
Menurutnya, interaksi dengan masyarakat setempat serta pemahaman budayanya menjadi bagian dari cara menggali makna lebih dalam. Proses kreatifnya justru banyak dimulai di luar ruang kerja.
“Sekitar 50% tulisan saya muncul dari obrolan atau perjalanan,” ujar Hawe yang juga dosen sastra di Universitas Pasundan (Unpas), Bandung, dalam diskusi Sabtu Sore, Sabtu, 16 Agustus 2025.
Ide-ide itu dicatat, dikumpulkan, lalu disusun saat ada waktu. Prinsipnya sederhana: berbagi keceriaan dan gagasan, bukan bercerita tentang diri sendiri secara langsung. Hawe membayangkan pembaca sebagai teman-teman yang sering ia jumpai, namun ia tetap menyesuaikan gaya penulisan untuk pembaca yang lebih luas.
Ia juga membagikan sejumlah proyek tulisannya, termasuk proyek pribadi yang mendokumentasikan cerita kampung tempat tinggalnya dan terjemahan karya C. Robinson. Dalam penyuntingan, Hawe membagi prosesnya menjadi dua: menulis dan menyunting. Ia menilai bagian penyuntingan sebagai inti dari seni menulis, karena di sanalah paragraf, kalimat, jumlah kata, hingga judul dipertajam. Ia juga menganggap esai sebagai semacam biografi tematik, bukan kronologis, dan lebih memilih mengajak pembaca berpikir daripada memberi jawaban pasti.
Sementara itu, Fitra Sujawoto berbagi pengalaman terkait dunia tulisan dan fotografi. Ia menyoroti keunikan tulisan Hawe yang bisa menyambungkan isu personal dengan universal secara alami. Ia juga mencatat keluasan pengetahuan sastra Hawe yang sangat terasa dalam gaya dan isi tulisannya.
Peran Visual dalam Karya Tulis
Hawe turut menyoroti peran visual dalam karya tulis. Ia menekankan pentingnya keseimbangan antara gambar dan kata, karena keduanya bisa saling memperkuat makna dalam narasi yang dibangun.
“Pentingnya keseimbangan antara gambar dan kata-kata dalam karya tulis,” ujar Hawe.
Diskusi ini menyingkap berbagai pendekatan dalam menulis esai—dari kebiasaan mencatat hal-hal kecil, refleksi dari keseharian, hingga kerja sama antar pelaku seni. Setiap proses memiliki tantangan dan nilai tersendiri. Bagi para peserta dan penulis pemula, percakapan ini menyisakan satu pesan penting: menulis bukan hanya soal menuangkan ide, tapi juga soal mendengarkan, merasakan, dan meracik kembali pengalaman menjadi sesuatu yang bisa dibagi.

Baca Juga: SABTU SORE #27: Membaca Cerita Perempuan-perempuan yang Melawan di Buku Nyanyi Sunyi Para Puan
SABTU SORE #20: Membedah Dampak Film Terhadap Perubahan Sosial
Sunda Sambil Lalu
Buku Sunda Sambil Lalu diterbitkan penerbit Hanya Wacana, di Gedung Perpustakaan Ajip Rosidi, Lantai 2, Jalan Garut No. 2, Kota Bandung. Buku ini memuat 45 esai pilihan karya Hawe Setiawan yang sebelumnya pernah dipublikasikan di situs hanyawacana.id sepanjang 2021 hingga akhir 2023. Buku ini disunting Hafidz Azhar, dengan tata letak dan sampul rancangan Sabiq Gidafian.
Meski berjudul “Sunda Sambil Lalu”, buku dengan jilid bergambar foto maung Cisewu yang ikonik ini tidak sepenuhnya membahas soal Sunda. Justru, sebagian besar esai di dalamnya berbicara tentang novel, sejarah, seni, dan budaya, ditulis dengan gaya khas yang subjektif, lentur, dan kadang menggelitik. Hafidz Azhar menyebut bahwa pemilihan judul tersebut merupakan kesepakatan bersama dengan Kang Hawe—sapaan akrab Hawe Setiawan—karena istilah “Sunda” telah terlanjur melekat sebagai jenama dalam nama sang penulis.
Dalam pengantar buku, Hafidz menyampaikan bahwa niat utama penerbitan buku ini adalah agar pembaca bisa menikmati esai-esai pilihan Kang Hawe dalam satu buku yang utuh. Ia menolak terlibat dalam perdebatan panjang tentang definisi esai, dan lebih memilih menyebut tulisan-tulisan ini sebagai bentuk esai ideal: fleksibel, personal, dan penuh cerita.
"Kang Hawe-sapaan saya kepada Hawe Setiawan-memang mem-punyai gaya menulis yang unik. Ibarat kata, tulisan Kang Hawe serupa perpaduan Mahbub Djunaidi dengan Umar Kayam. Itu pandangan sub-jektif saya sih. Yang jelas, dengan diterbitkannya buku ini saya berharap banyak orang tidak saja dapat menikmati esai-esai Kang Hawe, namun sekaligus dapat memperoleh berbagai informasi penting," tulis Hafidz Azhar.
Dengan hadirnya Sunda Sambil Lalu pembaca diajak menyusuri pikiran-pikiran Kang Hawe yang tidak hanya menyentuh hal-hal khas Sunda, tetapi juga menyentuh sisi-sisi kehidupan yang lebih luas—dengan cara yang renyah, berliku, dan khas.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB