• Berita
  • Litara Foundation dan Loka Carita Mendongeng untuk Anak di Perpustakaan Bunga di Tembok

Litara Foundation dan Loka Carita Mendongeng untuk Anak di Perpustakaan Bunga di Tembok

Anak-anak terutama yang lahir dari keluarga muda menghadapi tantangan berupa kisis literasi. Kedua generasi ini lahir di zaman teknologi visual.

Acara Bermain dan Bercerita bersama Litara di Perpustakaan Bunga di Tembok, Jum’at, 15 Agustus 2025. (Foto:Nabilah Ayu Lestari/BandungBergerak)

Penulis Iklima Syaira 20 Agustus 2025


BandungBergerak.id - Tawa anak-anak memenuhi ruang sederhana Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, yang setiap sudutnya dipenuhi buku. Beberapa dari mereka duduk melingkar, mata tertuju pada Kak Deta Ratna, pengelola LokaCarita, yang hadir membawakan dongeng dengan penuh ekspresi. Setiap kali ia mengangkat buku bergambar, anak-anak serentak menebak isi gambar, menyebutkan warna, dan mendeskripsikan tokoh yang muncul.

Acara bertajuk “Bermain dan Bercerita” ini berlangsung hidup dan meriah. Anak-anak menyambut setiap cerita dengan antusias: ada yang tersenyum malu-malu, spontan mengangkat tangan, atau berteriak riang saat tokoh familiar muncul dengan suara khas. Melalui gambar dan cerita yang ringan, imajinasi mereka melayang, memaknai isi cerita dengan cara mereka sendiri.

Bermain dan Bercerita diinisiasi oleh Litara Foundation bersama Perpustakaan Bunga di Tembok, Jumat, 15 Agustus 2025. Litara merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat yang berdiri sejak 2014 dan berfokus pada pengembangan literasi, penerbitan buku, pelatihan serta pendampingan untuk guru dan masyarakat. Litara berupaya menghadirkan bacaan anak yang berkualitas dan berpihak pada anak.

Anak-anak bisa saja jatuh cinta pada buku, tetapi ketika ruang literasi di sekolah maupun rumah dibiarkan sepi, kecintaan itu perlahan padam. Yang tersisa hanyalah generasi yang dibiarkan berjalan tanpa bekal bacaan, hingga akhirnya tertinggal dalam kemampuan berpikir, memahami, dan bermimpi

Kak Aldi Ramdhani sebagai Manager of General Affair dari Litara foundation menjelaskan, tanpa pengembangan literasi yang konsisten, minat literasi yang sedang menggeliat dalam diri anak-anak bisa saja layu di tengah jalan. Maka Litara Foundation menghadirkan lingkungan yang bersifat ramah anak.

Menurutnya, meski tingkat literasi di Indonesia masih tergolong rendah, hadirnya berbagai komunitas yang menyediakan ruang baca dan kegiatan literasi gratis menjadi bukti bahwa peluang untuk meningkatkan budaya membaca masih terbuka lebar. Aldi menilai kesadaran literasi baru sudah mulai tumbuh di kalangan orang tua muda.

“Karena sekarang orang tua-orang tuanya yang sudah masuk milenial dan gen Z, jadi mereka memiliki kesadaran yang cukup tinggi untuk dunia literasi sendiri,” ujarnya.

Baca Juga: SABTU SORE #28: Ngawangkong Sunda Sambil Lalu, Membicarakan Proses Kreatif Penulisan Esai
SABTU SORE #27: Membaca Cerita Perempuan-perempuan yang Melawan di Buku Nyanyi Sunyi Para Puan

Acara Bermain dan Bercerita bersama Litara di Perpustakaan Bunga di Tembok, Jum’at, 15 Agustus 2025. (Foto:Nabilah Ayu Lestari/BandungBergerak)
Acara Bermain dan Bercerita bersama Litara di Perpustakaan Bunga di Tembok, Jum’at, 15 Agustus 2025. (Foto:Nabilah Ayu Lestari/BandungBergerak)

Membaca tak Sejalan dengan Memahami

Saat sebagian orang tua menganggap buku barang yang murah dan mudah dijangkau, di sisi lain Kota Bandung banyak anak dan orang tua merasa buku barang mewah. Kelangkaan buku dan budaya membaca di tangan anak bukan haya akibat dari satu hal “kemalasan” namun ketimpangan dari realita ekonomi.

Sementara itu, di tengah banjir kecanggihan digital, anak-anak Indonesia masih kesulitan membaca dunia melalui kata-kata. Survei internasional menegaskan kemampuan literasi mereka tertinggal jauh: bisa mengeja, tetapi tak mampu memahami; bisa membaca, namun tak benar-benar mengerti. Kondisi ini bukan sekadar angka di laporan, melainkan cerminan rapuhnya masa depan generasi muda.

Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menempatkan Indonesia di peringkat 70 dari 80 negara dalam kemampuan membaca. Angka itu seakan berkata, banyak anak kita yang hanya berlari di permukaan teks, tanpa pernah menyelami makna yang tersembunyi di balik kata.

Benarkah begitu? Ketika negara sering gagap dalam menyalakan api literasi, komunitas-komunitas kecil justru bergerak senyap memantik api di tengah gelap. Dari membagikan buku, hingga memberikan nuansa cerita anak melalui mendongeng yang gratis. Mereka hadir hanya dengan keyakinan bahwa setiap anak berhak membaca, berhak mendapatkan kesenangan tanpa mengkotak-kotakan anak dari kondisi ekonominya.

Kak Deta dari komunitas LokaCarita melihat meski kemampuan membaca anak-anak bisa saja meningkat, minat untuk benar-benar menjadikan buku sebagai teman sehari-hari belum tumbuh kuat. Ia menilai, rasa alami untuk meraih buku tanpa paksaan masih sulit ditemukan pada anak-anak di Bandung.

“Mungkin tingkat membaca bisa meningkat, tapi apakah menggemari buku? itu pertanyaan besar gitu, kan yang ingin ditumbuhkan adalah ketika gak ada siapa-siapa lagi mereka ambil buku dan baca. Rasa itu kan yang sebetulnya ingin ditumbuhkan kan dalam anak-anak, itu saya rasa belum ya di Bandung masih tantangan besar,” ujar kak Deta.

Ia menambahkan, tantangan literasi bukan hanya soal membiasakan anak-anak untuk membaca buku, tetapi juga memastikan mereka memahami apa yang dibaca. Menurutnya, peningkatan kemampuan membaca secara teknis belum tentu sejalan dengan kemampuan memahami isi bacaan. 

“Saya ngeliat sejauh ini yang masih terus ditingkatkan tuh orang itu bisa baca, tapi bisa baca tuh paham gak gitu. Menurut saya gak selalu gitu, karena saya ketemu anak-anak yang dia bisa baca teks, tapi gak ngerti sebetulnya apa sih yang dibaca,” tambah Kak Deta.

Di ruang kelas, dan ruang keluarga masalah ini terpampang nyata. Anak-anak bisa saja lancar membaca soal cerita matematika, namun gagal menemukan jawaban karena tak memahami inti persoalan. Mereka menuntaskan bacaan panjang, namun untuk menceritakan kembali, yang tersisa hanya ampas-ampas kebingungan.

Kondisi ini menunjukkan bahwa masalah literasi tidak berhenti pada kemampuan mengenal huruf dan merangkai kata, melainkan pada bagaimana kemampuan menyerap, menerima dan memahami informasi yang anak-anak baca. Krisis literasi ini akan terus berlanjut jika kemampuan membaca anak tidak diiringi dengan kemampuannya dalam memahami dan memaknai.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//