• Kolom
  • CROSS BOYS DI BANDUNG ERA 1950-AN #3: Dampaknya terhadap Keseharian Masyarakat

CROSS BOYS DI BANDUNG ERA 1950-AN #3: Dampaknya terhadap Keseharian Masyarakat

Fenomena Cross Boys memuculkan keresahan masyarakat, kecaman otoritas, dan upaya mengarahkan pemuda ke arah yang dianggap lebih benar. Kompleks.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Sehari-hari mengajar di SMA, sesekali menulis kolom

Surat kabar Indonesia Raya edisi Rabu, 21 November 1957 memuat laporan mengenai rapat pertama Badan Pembimbing Pemuda di Bandung yang menyinggung tentang pendidikan Kewarganegaraan. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

21 Agustus 2025


BandungBergerak - Anak remaja itu baru berumur 17 tahun saat sang ayah membawanya ke kantor polisi. Barangkali tidak ada pilihan bagi sang ayah. Atau mungkin tidak ada lagi keputusan lebih ideal yang bisa diterima akalnya pada suatu hari di bulan November 1957. 

OGT, inisial nama sang ayah, merupakan seorang keturunan Tionghoa. Ia berusia 50 tahun. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu sehingga ia mesti terpaksa memutuskan sesuatu hal di luar kelaziman orang-orang. Seolah kehabisan cara. 

Setelah dicermati, sebab keputusasaannya itu memang tidak sederhana. Sang ayah menganggap anaknya telah berubah banyak: enggan sekolah, mengabaikan nasihat orang tua. Bahkan diceritakan ia telah menjadi bagian dari kelompok Cross Boys, segerombolan pemuda tanggung yang kala itu menjadi perbincangan masyarakat. Kerabatnya menjadi marah karena sang anak seringkali mengajak teman-temannya menginap. Memicu kegaduhan seisi rumah dan mengganggu ketenangan.

Kisah yang terekam dalam Warta Bandung yang terbit Selasa 12 November 1957 ini merupakan salah satu dampak yang dipicu Cross Boys: menggugah tatanan masyarakat hingga ke wilayah keluarga. Begitulah fenomena yang terjadi pada akhir 1950-an ini bukan sekadar cerita tentang anak-anak muda bengal dengan penampilan yang eksentrik. Seiring waktu kehadiran mereka meninggalkan jejak yang signifikan di dalam kehidupan sehari-hari. 

Beragam reaksi diberikan untuk kehadiran Cross Boyes yang sedikit banyak terinspirasi dari budaya Barat dan dinamika sosial-ekonomi serta ketegangan Perang Dingin. Ada yang memberi kecaman keras. Ada pula yang berupaya menyalurkan ke arah yang dinilai lebih positif. Tulisan ini berupaya menggali dampak Cross Boys terhadap kehidupan masyarakat. Dimulai dari bagaimana ia memicu keresahan, membentuk persepsi publik, dan berimbas pada meningkatnya respons otoritas dalam menangani mereka.

Baca Juga: CROSS BOYS DI BANDUNG ERA 1950-an #1: Asal-usul dan Faktor Kemunculannya
CROSS BOYS DI BANDUNG ERA 1950-an #2: Bukan Melulu Kriminal

Memicu Keresahan 

"Mimiti aya nu sok garelut silihrurug oge harita ngan tara ari nepi ngaruksak mah. Garelutna ge sok milih tempat nu lega. Jauh ka lembur (Pertama muncul suka berkelahi saling serang juga waktu itu. Hanya saja tidak sampai merusak. Perkelahian juga memilih tempat yang luas. Jauh dari perkampungan penduduk [Basa Bandung Halimunan, hal. 122-123])."

Kehadiran Cross Boys jelas memicu keresahan yang signifikan bagi masyarakat. Setidaknya ada dua kasus awal yang membuat cemas orang tua dan guru-guru di Bandung. Pada 13 Juni 1957, ada laporan penyerangan para Cross Boys terhadap anak-anak SMP Muslimin. Namun serangan tersebut berhasil dipatahkan pihak berwenang. 

Beberapa waktu setelahnya, menyusul penyerangan terhadap anak-anak Sekolah Rakyat Halimun yang sedang melakukan ujian akhir di Sekolah Rakyat Balonggede. Insiden ini terjadi tepat di depan ruang sidang anggota DPRD Kabupaten Bandung, karenanya banyak pula para legislator yang turut menyaksikan kerusuhan tersebut (bisa dilihat tulisan bagian pertama). Surat kabar Warta Bandung edisi 13 Juni 1957 melaporkan perkelahian itu secara dramatis:

"Pukulan jg bertubi2 menjebabkan Saleh djatuh pingsan. Saleh, demikian anak jang djadi korban kowboy2 itu sedjak kemarinnya sudah diincer2."

Awalnya sederhana. Pada hari sebelumnya Saleh nebeng untuk pulang sama-sama pada salah satu temannya karena hari itu tidak membawa sepeda. Namun ini menyebabkan ia disoraki habis-habisan oleh Cross Boys. Saleh geram. Ia memperingatkan Cross Boys itu supaya jangan mengganggu dan jangan bikin malu. 

Rupanya anak-anak Cross Boys tidak bisa menerima. Mereka lalu bertekad membawa teman-temannya untuk menghadang Saleh. Dengan ganas mereka memukuli Saleh dan temannya, Rahmat. Sejak itu laporan mengenai tindak kekerasan anak-anak Cross Boys terus bermunculan sehingga menimbulkan keresahan. Termasuk kelak memicu respons di kalangan otoritas.

Perkelahian sesama pelajar yang dikaitkan dengan Cross Boys semakin memperkuat keresahan publik yang risih dengan kemunculan budaya Barat. Banyak hal yang berubah, yang tidak dengan mudah ditemui pada waktu sebelumnya. Salah satunya bisa dilihat dalam surat kabar Warta Bandung yang terbit pada Senin,11 November 1957. Kala itu termuat keresahan seorang dosen yang bernama Hosein. Menurutnya: 

"Achirnja Indonesia sebagai negara jg baru merdeka ini kena djuga pergaulan hidup jg tidak begitu sederhana pemetjahannja dan usaha-usaha untuk mengatasinja. Kiranja tidaklah berlebih2an kalau dikatakan bahwa keliaran pemuda ini bersifat universal."

Hosein melihat Cross Boys sebagai bagian dari gelombang kenakalan remaja di dunia, serupa Teddy Boys di Inggris atau Nozen di Belanda. Muncul bukan hanya di kota, tapi juga di desa. Hanya saja ada sedikit perbedaan corak yang lebih aksidental antara perkembangan yang terjadi di antara keduanya.

Kenyataan ini mengingatkan pada apa yang disebut sebagai deviasi sosial, seperti dirumuskan Robert K. Merton. Secara ringkas deviasi sosial merupakan perilaku yang menyimpang dari norma-norma sosial yang berlaku dalam suatu kelompok atau masyarakat. Deviasi sosial tidak selalu berarti tindakan kriminal, tetapi mencakup segala bentuk perilaku yang dianggap tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Lebih rincinya lagi, turunan dari pandangan Merton menyebutkan bahwa gejala semacam ini dapat dipahami sebagai “inovasi” pemuda. Begitu pula sebagian Cross Boys, terutama yang berasal dari kalangan lapis bawah, yang mencari pengakuan sosial melalui kenakalan. 

Dampak fenomena Cross Boys cukup signifikan. Tidak hanya terbatas pada keamanan warga. Namun juga budaya. Jurang antara pemuda bengal dan publik yang mengedepankan kesantunan, semakin dalam. Patut juga diketengahkan situasi Bandung seperti yang dicatat Us Tiarsa (Basa Bandung Halimunan, 2011, hal. 121): “Warga kota teh narurut keneh. Sarieuneun mun teu nurut kana palaturan (Warga kota masih pada nurut. Pada takut kalau tidak nurut terhadap peraturan).” 

Perilaku Cross Boys yang dirasa menyimpang itu kemudian dianggap sebagai ancaman. Masalahnya, Cross Boys memang tidak jarang memicu konflik horisontal. Kita bisa melihat pertikaian yang terjadi antara mereka dengan tukang becak dalam insiden Bioskop Taman Senang (lihat tulisan sebelumnya).

Belum lagi aksi kriminal seperti kisah penodongan di Toko Tan Tjuj Goa (Warta Bandung, 30 Juli 1957). Ini menunjukkan bahwa sebagian Cross Boys berlaku melampaui kenakalan remaja. Mereka tercatat dekat dengan tindakan kriminal. Dan itu pula yang kelak semakin memperkuat gambaran tentang Cross Boys sebagai ancaman. 

Surat kabar Indonesia Raya edisi Jumat, 29 November memuat laporan mengenai adanya pelarangan dansa di Bandung. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)
Surat kabar Indonesia Raya edisi Jumat, 29 November memuat laporan mengenai adanya pelarangan dansa di Bandung. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

Persepsi Masyarakat 

"Paduli teuing ku kolot disebut koboy peot oge (Gak peduli oleh orang-orang tua disebut koboy kurus juga [Basa Bandung Halimunan, hal. 122])."

Persepsi masyarakat tentang Cross Boys beragam. Pararel dengan pemaknaan yang diberikan sejumlah media, mayoritas mengecam. Bagi kalangan tradisional, otoritas daerah, dan kelompok nasionalis progresif, Cross Boys dianggap menyimpang dan telah dirasuki unsur Barat yang amoral. Organisasi formal seperti PGRI, IPPI, Pemuda Rakyat, dan Gerwani menyerukan sensor film Hollywood, mendamprat Cross Boys sebagai bukti “kerusakan jiwa anak-anak kita” (Warta Bandung, 14 September 1957). 

Saya belum menemukan sumber primer yang memuat secara utuh tanggapan kelompok Islam, yang meraup suara signifikan di pemilu daerah 1957. Namun besar kemungkinannya bahwa mereka bakal melemparkan wacana yang senada. Pendapat ini diperkuat oleh keterlibatan sejumlah organisasi pemuda Islam seperti GPII dan GP Ansor di salah satu seminar kepemudaan di Bandung. Dalam De Preangaerbode edisi 21 Oktober 1957, tercatat informasi tentang seminar itu, dan kelak menghasilkan pembentukan panitia pemuda untuk mencegah perkembangan Cross Boys. 

Awalnya Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan Pemuda Rakyat meminta isu Cross Boys perlu segera dibahas karena begitu mendesak, dan karenanya membutuhkan solusi praktis. Lebih lanjut, Lekra memberi usulan agar solusinya menghasilkan rencana yang dapat langsung diimplementasikan. PGRI menghendaki pembentukan panitia dengan basis yang seluas-luasnya, mengingat banyaknya organisasi di kalangan anak muda.

Sebuah panitia kemudian dibentuk. Mereka terdiri dari Lekra, GPII, Pemuda Rakyat, IPPI, dan IOMA, yang kemudian mengajukan usulan pembentukan panitia pelaksana. Usulan ini diterima secara aklamasi. Ketuanya dari GPII, sekretarisnya dari Departemen Pendidikan Umum, dan bendaharanya dari IPPI. Organisasi-organisasi lain yang hadir adalah GP Ansor, Lekra, ISSI, PGRI, PPTI, Pemuda Rakyat, Pemuda Demokrat, Nonoman Sunda, DPD, TRIP, dan Tentara Pelajar Islam.

Sementara media seperti Warta Bandung memperkuat stigma ini dengan keterangan yang cukup sinis seperti “jaket longgar seperti beli dari loak” (lihat Warta Bandung terbitan 16 Juli 1957).

Namun ada sebagian pemuda, terutama dari kalangan menengah dan atas, yang melihat gaya hidup Barat, termasuk di dalamnya Cross Boys, sebagai simbol kebebasan yang melekat dengan aktor seperti James Dean. Fakta mengenai hal ini bisa dilihat dari surat kabar Warta Bandung yang terbit pada Selasa 12 November 1957. Di sana tercatat informasi soal pemisahan antara kelompok 'parlente', dari lapisan yang 'baik', yang bisa melanjutkan sekolah. Punya uang cukup. Berasal dari orang kaya. Mereka ini berkelompok dengan yang sama kelas sosialnya: "Bisa membandjiri bioskop, mampu membeli piringan2 hitam musik Amerika jg ringan dan tjiptaan Elvis Presley."

Fakta tersebut sekaligus menunjukkan bahwa tidak semua Cross Boys bisa digeneralisasi, dilihat serupa. Banyak bagian dari mereka, terutama Cross Girls, yang hanya mengikuti tren semata tanpa niat melakukan tindak kriminal.

Dinamika ini mengingatkan kita pada apa yang dirumuskan Howard S. Becker sebagai labeling. Ia merupakan suatu rumusan yang muncul akibat reaksi masyarakat terhadap perilaku yang dianggap menyimpang. Pelabelan Cross Boys sebagai kriminal oleh beberapa media, sebagian masyarakat, dan otoritas adalah bukti, dan kelak mendorong sebagian pemuda untuk memenuhi ekspektasi negatif ini, terutama mereka dari kalangan lapis bawah. 

Dalam konteks Perang Dingin, persoalan ini dipertajam oleh sentimen anti-Barat. Salah satunya terwujud pada pidato-pidato Sukatno, selaku Sekretaris Umum Pemuda Rakyat. Pidatonya itu bisa dilihat di dalam Bintang Merah (7-14 September 1959). Ia begitu lantang mengecam Barat, yang menurutnya "mencoba mengorup daya pikir dan moral pemuda."

Dalam pidato lainnya, menjelang pelaksanaan Trikora, Sukatno kembali mengulang pernyataan kecaman terhadap Cross Boys. Semula ia mengatakan bahwa gerakan pemuda Indonesia kian besar dan kokoh. Menurutnya, ini merupakan hasil dari persatuan dari seluruh kekuatan-kekuatan revolusioner dari massa pemuda, mahasiswa, dan pelajar yang tetap mengagungkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan tetap setia kepada cita-cita Revolusi Agustus 1945. Maka, pada akhirnya: 

"Kaum imperialis pun terpaksa mengakui bahwa gerakan pemuda Indonesia bukanlah kumpulan dari segenggam crossboys yang mudah dibius oleh berkelontrangannya musik-musik bejat dari Amerika Serikat."

Pernyataan sejumlah otoritas di Bandung memperlihatkan kecenderungan serupa. Mayoritas mengasosiasikan Cross Boys dengan budaya Barat yang dianggap telah merusak. Ini mengabaikan fakta bahwa tidak sedikit pula anak-anak muda Cross Boys yang hanya mencari identitas di tengah tekanan ekonomi dan sosial, bukan antek Amerika Serikat. Dan yang pasti kaum cendekiawan tak ketinggalan memberi tanggapan.

Sadardjoen Siswomartojo, pendiri PTPG (sekarang UPI Bandung), dalam buku berjudul Guru-guru Besar di Jawa Barat (1983, hal. 76), tercatat pernah menulis sebuah artikel berjudul "Masalah Cross Boys, 1957", tetapi sejauh ini saya belum menemukan publikasi langsung mengenai artikel itu.

Yang jelas ada seorang dosen bernama Hosein yang menulis esai panjang untuk merespons gejala anak-anak muda yang tergabung dalam Cross Boys itu. Esai tersebut diberi judul “Demoralisasi Pemuda”, dan dibuat secara bersambung. Hosein memaparkan sejumlah faktor dan memberi analisis ditopang fakta bahwa fenomena ini sungguh runyam. Menariknya, ia punya penjelasan yang begitu terperinci dan mendalam. Tak heran jika kemudian pandangannya itu dikutip dimana-mana, termasuk surat kabar Indonesia Raya. Saya kutip pertanyaan retoris yang ia tulis dalam salah satu esainya: 

"1. Siapakah jang memasukkan lagu2 kitsch jang memabukkan? 

2. Siapakah jg mengizinkan impor madjalah tjabul? Siapa pengarang dan pentjetak comic books dengan crime, love-confenssion, horror, dll, jg mempunjai gaja destruktif terhadap djiwa anak-anak? Tjiptaan siapa musik 'wild west', film cowboy, dan roman bergambar pertjintaan djalang? Siapa jg mengchutbahkan 'sexueel avonturisme'?

Itu semua adalah djasa orang dewasa terhadap pemuda dan anak-anak. Sebagai balas djasa ia dapat untung banjak karena amat lakunja."

Sekilas bisa diterima akal sehat. Ia enggan jatuh ke dalam pandangan serba ringkas. Mengingatkan pada kalimat yang pernah dibuat seorang esais bernama Zen RS: "Anak-anak muda memang tidak tahu batas. Tapi orang dewasa tidak tahu diri."

Dalam tulisannya itu Hosein juga menyelidiki dan mempersoalkan faktor lain seperti sosial-ekonomi yang dinilainya punya pengaruh signifikan dalam kemunculan aksi anak-anak muda Cross Boys. Mengenai hal ini bisa dilihat di surat kabar Warta Bandung yang terbit pada Kamis 13 November 1957. Berikut saya kutip beberapa tawaran yang ia sodorkan: 

  1. Dinaskerja dan wajibbela [negara]. 

Menurut Hosein, ada sejumlah keuntungan yang bisa didapatkan dari sini. Salah satunya adalah bisa mengenali ketertiban dan menumbuhkan tucht [disiplin]. Dalam kerangka ini pula, menurutnya, patriotisme bisa ditanamkan. 

Selama masa program wajibbela ini, tenaga mereka dikerahkan untuk pembangunan nasional. Pengerahan teknis lebih mudah dan lebih efisien karena, menurutnya, akan di bawah tucht militer dan ketertiban dengan sanksi hukum. Sebagai langkah awal, mulai dari program agraria, yang dapat menyerap anak-anak muda.

  1. Perubahan sistem pendidikan 

Menurutnya prinsip pedagogis yang diusung kala itu mendorong sifat individualistis dan tidak sesuai dengan dasar kebudayaan manusia Indonesia. Karenanya patut diubah. Ia menawarkan sistem yang lebih mengedepankan minat dan bakat pelajar. 

Setelah itu, baru kemudian disinkronisasi dengan pembangunan nasional dan diselaraskan dengan pemenuhan lapangan pekerjaan. Dan jangan lupa bahwa spesialisasi keilmuan itu harusnya dimulai sejak usia 13 tahun. Ia lalu mendorong Kementerian PPK (Pendidikan Pengajaran Kebudayaan) untuk segera menindaklanjuti perkara ini. 

"Pembentukan mental mestilah melalui kerdja," katanya. 

  1. Politik Kebudayaan Negara

Dalam transisi sosio-kultural seperti saat itu, ia melihat kecenderungan negara membiarkan berkembangnya unsur-unsur kebudayaan yang buruk (dalam hal ini, tentu barat). Ia mengajukan garis kebudayaan yang tegas. Mendorong adanya regulasi tentang hal tersebut dan sanksi-sanksi yang pantas diberikan. 

"Bagi usaha ini perlu Djawatan Kebudajaan memiliki petugas2 jang mempunjai dasar ilmiah dan praktik mengenai kebudajaan."

  1. Film

Untuk penjelasan ini mudah diduga. Ia mendamprat otoritas yang membiarkan film-film barat beredar di Indonesia. Dalam istilah yang digunakannya: "film jang destruktif dan demagogis."

  1. Perkumpulan pemuda

Maksudnya, di sini ia menekankan peran organisasi kemasyarakatan. Anak-anak jangan hanya dididik di rumah dan di sekolah. Namun, menurutnya, perlu juga kerja sama antar elemen masyarakat. Secara total. Keseluruhan. 

  1. Kepanduan

Tujuan dari hal ini adalah untuk menyalurkan hasrat beregu pemuda. Berkumpul maksudnya. Sebab di dalamnya ada tucht atau kedisiplinan.

  1. Tempat bermain dan olahraga diperbanyak

Melihat dari sudut biologi, ia lantas menganjurkan hal tersebut. Memperbanyak tempat bermain untuk anak-anak muda bisa bergerak, menyalurkan kelebihan tenaga, sesuai pertumbuhan biologisnya. 

       8. Hobby club

Ini penting bagi perkembangan remaja. Untuk menemukan minat sesungguhnya. Juga dapat memenuhi tuntutan jiwanya. 

  1. Pengadilan anak-anak.

Menurutnya perlu untuk mulai merancang pengadilan bagi anak-anak. Sebab ia melihat adanya peningkatan jumlah kejahatan yang dilakukan anak-anak saat itu. 

Usulan ini serupa dengan apa yang telah diajukan Nyonya Rusiah Sardjono untuk rehabilitasi pemuda [lihat tulisan bagian pertama]. Yang membuatnya berbeda adalah beberapa tawaran Hosein cenderung senada dengan respons otoritas yang lebih represif.

Nantinya nyaris semua argumen yang dikemukakan Hosein diujicoba oleh instansi terkait. Setidaknya oleh beberapa aparat negara yang ada pada saat itu. Masalahnya, masih ada kecenderungan untuk mendorong upaya-upaya ke arah kasar. 

Pada Selasa, 26 November 1957, surat kabar Indonesia Raya menurunkan laporan mengenai razia celana Jengki di Bandung. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)
Pada Selasa, 26 November 1957, surat kabar Indonesia Raya menurunkan laporan mengenai razia celana Jengki di Bandung. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

Kontrol Otoritas Meningkat, Materi Kewarganegaraan Lahir 

"Teuing kumaha da harita mah pamarentah teh make bisa pipilueun kana urusan papakean atawa dangdanan oge. (Entah mengapa pada saat itu pemerintah bisa-bisanya ikut-ikutan nimbrung ke soal pakaian atau penampilan [hal. 122])."

Kehadiran Cross Boys memicu respons dari berbagai pihak, tak terkecuali dari militer yang kala itu wewenangnya diperkuat oleh keadaan darurat (SOB, 14 Maret 1957). Bahkan Kementerian Sosial dan Institusi Kepolisian juga turut terlibat penanganan anak-anak Cross Boys. Surat kabar Warta Bandung yang terbit pada Rabu, 25 September 1957 memuat laporan mengenai pertemuan antara Pihak Kepolisian dan Kementerian Sosial. 

Inti dari percakapan itu adalah kemungkinan dibentuk Boys Town, sebuah istilah untuk tempat penahanan atau pembinaan anak nakal. Ini merupakan respons atas apa yang terjadi di bulan sebelumnya: Juni, Juli, Agustus 1957. Kala itu puluhan kasus kenakalan anak-anak muda Cross Boys terjadi di Bandung. 

Langkah pertama aparat kepolisian adalah membuat kursus kilat. Sebuah laporan Warta Bandung pada 20 Agustus 1957 memuat kisah tentang pendisiplinan itu. Program rehabilitasi selama sebulan dikerjakan oleh aparat kepolisian bagian susila. 

Peserta wajib melapor ke unit Reserse Kriminal (Reskrim) seminggu dua kali, dan mereka harus tiba tepat pukul 07.00 pagi. Mereka rata-rata berusia 17 tahun, meski ada pula yang berusia 25 tahun. Ironisnya, anak-anak Cross Boys yang ditangkap bukan pemuda putus sekolah. Mayoritas, sebagaimana tercatat di surat kabar, adalah siswa dari sekolah ternama seperti SMP Erlangga, SMP Muslimin, dan SMA BUR.

Langkah selanjutnya adalah melarang segala bentuk penampilan ala aktor Barat. Senin, 21 Oktober 1957, surat kabar Warta Bandung, tepatnya dalam rubrik Kronik Bandung, menurunkan satu laporan mengenai pelarangan atau razia aparat kepolisian di Bandung terhadap anak-anak muda yang memakai jaket James Dean. Dalam razia itu sebanyak 22 orang anggota Tiger Mambo ditangkap. Satu per satu mereka diperiksa. 

Kelak dari 22 orang yang berhasil ditangkap itu, hanya 3 orang yang ditahan karena dugaan tindak kriminal yang dilakukan sebelumnya. Sementara 19 orang lainnya dilepaskan dengan syarat wajib lapor ke kantor polisi setiap jam 6 pagi. Nantinya, 19 orang ini diwajibkan untuk mengikuti kursus kilat yang diselenggarakan pihak kepolisian.

Strategi otoritas ini dilakukan selama sebulan penuh. Dan ia dianggap berhasil. Ada sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa saat itu semakin sedikit anak-anak muda yang berkeliaran di jalanan dengan penampilan ala aktor Barat. Pada Jumat, 25 Oktober 1957, surat kabar Warta Bandung menurunkan laporan yang menunjukkan bukti keberhasilan otoritas dalam menangani anak-anak Cross Boys. Menurutnya, saat itu: 

"Sebagai hasil pertama dari tindakan fihak kepolisian dalam mengatasi kegiatan ala 'wild west' di kota Bandung, kini kelompok2 atau kerumunan2 dari pemuda2 jang bertjelana sempit dan berdjaket merah seperti bintang film almarhum James Dean hampir tidak tampak lagi didjalanan."

Berkurangnya kehadiran 'James Dean' partikulir akibat razia besar-besaran pihak kepolisian dan militer, membuat warga biasa yang hendak pelesir menjadi tidak khawatir. Untuk sementara otoritas daerah Bandung bisa bernapas lega. Keterangan Inspektur Tubagus Abdullah pada redaksi surat Warta Bandung juga memberi peringatan akan ada tindakan lebih lanjut apabila ada Cross Boys yang masih nekat muncul di ruang-ruang publik.

Bahkan intensitas razia kembali diperhebat sepanjang bulan November. Dalam surat kabar Indonesia Raya edisi Selasa, 26 November 1957, tercatat bahwa selama dua hari, sebanyak 313 orang orang muda telah terjaring razia gabungan yang dilakukan polisi dan CPM Bandung. Tanpa pandang bulu, siapa-siapa yang kedapatan menggunakan celana jengki sudah pasti terkena razia ini, lalu diangkut ke truk.   

Mereka telah dianggap musuh masyarakat. Berbeda dengan pemuda lainnya yang dinilai lebih bermanfaat, dan lebih berguna. Itu tercatat pada 11 November 1957. Surat kabar Warta Bandung menurunkan satu laporan tentang adanya pembentukan Badan Kerja Sama Pemuda dan Militer (BKSPM), terkait dengan persoalan Irian Barat. 

Berbagai petinggi sipil juga hadir di sini. Salah satunya Oja Soemantri (EYD: Oya Sumantri). Dan secara langsung diresmikan oleh Panglima Tentara Teritorial III Kolonel Kosasih. Ia menekankan bahwa dibentuknya badan ini antara lain demi keamanan dan pembangunan. 

"Pemuda Harapan Bangsa harus memberikan kesatuan tenaga dan pikirannya," demikian Kolonel Kosasih.

Besoknya, 12 November 1957, surat kabar Warta Bandung menyajikan informasi tentang dibentuknya Badan Pembimbing Pemuda (BPP). Badan ini terdiri dari beberapa bagian. Ada Barisan Keamanan Umum (BKU), Badan Pemadam Kebakaran, Badan Penolong Pertama Pada Kecelakaan (PPPK), Badan Pemberantasan Buta Huruf, Badan Penerangan, Badan Olahraga, Badan Penyelidikan dan Kepanduan. 

Lembaga inilah yang nantinya menampung anak-anak Cross Boys, untuk kemudian dididik dan diberi bimbingan sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Anak-anak Cross Boys yang bernaung di dalam lembaga kelak diberi pakaian seragam dan tanda pengenal khas. Surat kabar Indonesia Raya yang terbit pada Rabu, 21 November 1957 memuat laporan terperinci mengenai rapat pertama Badan Pembimbing Pemuda di Bandung. 

Dalam rapat itu salah seorang guru perempuan mengajukan ide yang boleh dibilang baru. Ia mengusulkan supaya sekolah di Indonesia memuat materi pelajaran khusus mengenai "good citizenship", atau yang dikenal sebagai pendidikan kewarganegaraan dalam bentuknya yang sekarang. Ia mendasarkan pandangan itu kepada apa yang telah dimulai di negara-negara maju. Saya kutip usulannya itu: 

"Alangkah baiknja apabila sekarang untuk menghindarkan perkembangan sifat2 jg buruk dikalangan pemuda2 itu diadakan suatu peladjaran tentang bagaimana seseorang menjadi penduduk jg baik.”

Sangat mungkin apabila momen ini pula yang kemudian menjadi penanda awal dari kelahiran mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan.  Sebab, sebagaimana informasi yang termuat dalam studi berkepala Dinamika Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia dari Rezim ke Rezim (Sunarso, 2009), tercatat bahwa materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia muncul pertama kali tahun 1957 dengan nama “Kewarganegaraan”, yang isinya sebatas tentang hak dan kewajiban warga negara, serta cara-cara memperoleh dan kehilangan status kewarganegaraan. 

Sementara di Jakarta situasinya agak lain. Penguasa Militer di sana mendesak siapapun yang merasa anggota Cross Boys untuk melaporkan diri ke pihaknya. Jika tidak, maka akan segera diambil tindakan. Mereka dituntut untuk mengumpulkan semua anggotanya, serta membawa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. 

Tentu saja para Cross Boys ketakutan. Mereka berbondong-bondong lapor ke pihak Penguasa Militer. Satu kelompok bernama Rantai Badja bahkan bersiasat mengganti tujuan dan visi kelompoknya menjadi klub sepakbola. Ini menunjukkan bukti bahwa banyak di antara mereka yang takut atas peringatan Militer tersebut.

Seiring waktu polemik mengenai Cross Boys membuat Kementerian Pendidikan Pengajaran Kebudayaan (P.P.K) turun tangan. Dalam acara ulang tahun PGRI ke-12, yang dihelat di Gedung Pertemuan Umum di Jakarta, Prof. Priyono selaku pimpinan memberi tanggapan atas kemunculan Cross Boys. Ia menekankan bahwa persoalan ini harus ditangani “setjara frontal untuk mendidik dan memperbaikinja dengan tidak semestinja harus dibasmi.” 

Dalam surat kabar Indonesia Raya edisi Selasa, 26 November 1957, Priyono mengakui bahwa, meski telah direncanakan, persoalan ini belum dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Itu semua karena terbatasnya anggaran yang ada. Menurutnya, untuk mengatasi persoalan Cross Boys sekurang-kurangnya harus ada anggaran minimal sebanyak 8,4 milyar rupiah. 

Dalam risalah DPR pada Rabu, 13 November 1957, kita bisa juga melihat catatan tentang sidang rapat 113 DPR yang dipimpin H. Zainul Arifin mengenai Rancangan Anggaran Belanja Negara tahun 1957. Dalam rapat, ada pembahasan seputar Cross Boys, yang dipantik Soetoko Djojosoebroto, dari fraksi PNI. 

Beberapa hari kemudian, tepatnya Senin, 18 November 1957, dalam rapat 118 dan 119 yang dipimpin H. Zaenal Abidin Ahmad, ada juga pembahasan mengenai Cross Boys. Kala itu, Supeno Hadisiswojo dan Doedi Soemawidjaja dari fraksi PNI, juga menyampaikan pandangannya mengenai faktor-faktor kemunculan Cross Boys. 

Sebagai pamungkas, kita bisa melihat sentilan dari Bung Karno saat berpidato pada peringatan Hari Lahir Pancasila 1958 di Istana Negara. Kala itu Bung Karno menegaskan bahwa para mahasiswa dan pemuda harus bisa menjawab setidaknya tiga tantangan zaman. Baik tantangan internasional maupun tantangan nasional, maupun tantangan pribadi. 

Ia menyebut istilah Cross Boys dan Cross Girls. Dalam buku Menemukan Api Pancasila (hal. 191), tercatat sejumlah tantangan yang disodorkan Bung Karno itu:

  1. Tantangan Internasional: Internasional cooperation atau total destruction, global social justice atau l'exploitation de I'homme par 'i homme?
  1. Tantangan nasional: tetap setia kepada Proklamasi Negara Kesatuan Indonesia 17 Agustus 1945 atau tidak, dan diselenggarakan di tanah air kita satu masyarakat yang adil dan makmur atau tidak? 
  2. Tangangan pribadi: kepada pemuda dan pemudi, hendak menjadi pemuda dan pemudi yang bergunakah bagi diri sendiri, bagi masyarakat, dan bagi Republik Indonesia, atau hendak menjadi Cross Boys atau Cross Girls?

Demikianlah fenomena Cross Boys di Bandung pada akhir 1950-an. Ia bukan sekadar kisah tentang kenakalan remaja. Namun juga melukiskan kompleksitas kehidupan sosial di Indonesia, yang terjadi tak lama setelah diakui kedaulatannya. 

Keresahan masyarakat, kecaman otoritas, dan upaya mengarahkan pemuda ke arah yang dianggap lebih benar memberi gambaran adanya pertarungan wacana (dan budaya). Menegaskan bagaimana upaya pembentukan identitas nasion bersinggungan dengan pengaruh Barat, meski pada akhirnya Cross Boys meredup di bawah tekanan otoritas dan perubahan zaman. 

Yang terjadi selanjutnya sukar diduga. Cross Boys tak bisa dikatakan sepenuhnya lenyap. Dalam dekade setelahnya, ketika subkultur pemuda terus bermunculan dengan berbagai bentuk, mereka kembali dengan tampilan yang sepenuhnya baru. Pembahasan selanjutnya berupaya mengulas persoalan semua itu.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//