CROSS BOYS DI BANDUNG ERA 1950-an #1: Asal-usul dan Faktor Kemunculannya
Penamaan Cross Boys merupakan salah satu langkah untuk memencilkan perilaku anak-anak muda yang berbuat menyimpang, dan kerap mengganggu ketertiban.

Yogi Esa Sukma Nugraha
Sehari-hari mengajar di SMA, sesekali menulis kolom
16 Agustus 2025
BandungBergerak – Ada satu hal yang menarik perhatian masyarakat di pertengahan tahun 1957. Sejumlah anak-anak muda bercelana sempit, dengan jaket kulit, tiba-tiba muncul mewarnai sudut-sudut kota. Mereka berpenampilan layaknya koboi Texas. Eksentrik. Tak jarang memperlihatkan perilaku bengal, dan kerap mengganggu ketertiban publik.
Beberapa pengarsip berupaya menelusuri asal-usul kemunculan anak-anak muda ini, mencermati karakteristik mereka, dan menilai dampaknya terhadap masyarakat di Jawa Barat. Sebagian memberi penjelasan memadai. Katanya, fenomena ini disebabkan oleh peredaran film barat dan minimnya pedagogi.
Saya kira penjelasan itu benar, hanya saja kurang lengkap sebab kita juga bisa melihat ada semacam pergeseran nilai yang mengiringi perjalanan pemuda. Sejumlah catatan sejarah sudah merekam kisah tentang para pemuda. Benedict Anderson dalam buku Revoloesi Pemoeda (2018), misalnya, bilang kalau pemuda Indonesia mengambil peran sentral. Menjelang revolusi nasional, mereka bahkan punya pengaruh yang cukup determinan.
Secuplik tentang Bandung 1957
"Ariuh weh lah pokona mah Bandung teh harita mah, halimun teh masih keneh can peuray kabeh. Bakat ku kandel, da sok narapel dina halis jeung bulu panon”. (Pokoknya Bandung waktu itu teduh. Kabut masih belum hilang semua. Saking tebalnya, kadang menempel di alis dan bulu mata)."
Demikian Us Tiarsa melukiskan suasana Bandung di era 1950-an dalam buku Basa Bandung Halimunan (2011). Kala itu belum banyak kendaraan seperti yang bisa kita amati saat ini. Julukan kota termacet versi Tom Tom Traffic Index mungkin juga tidak ada dalam imajinasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang pada tahun-tahun itu.
Di Bandung, beragam etnis hidup berdampingan dengan harmonis. Bukan hanya orang Sunda. Pada era 1950-an, Bandung dihuni orang dengan berbagai latar belakang sosial-budaya. Ada orang Tionghoa yang cukup dominan terutama di wilayah Andir dan Cibadak. Ada orang-orang Eropa, Arab, Pakistan, India, Palembang, Batak, Jawa, Minang, dan yang lain. Ada juga yang dari Priangan Timur seperti Tasikmalaya, Ciamis, dan Garut.
"Nu kasebut pribumina, saeutik ari pituin urang Bandung mah. Loloba teh kitu weh, nu ngadon balubuara, atawa ngabuniaga ti luareun Bandung (Yang terbilang pribumi, sedikit orang Bandung asli. Kebanyakan, ya, gitu aja, yang mengembara, atau berniaga dari luar Bandung)," tulis Us Tiarsa.
Dari segi ekonomi, mayoritas masyarakat Bandung masih relatif miskin. Untuk pengecualian barangkali adalah pegawai pemerintah dan saudagar yang memiliki unit usaha di pasar-pasar. Us Tiarsa (hal. 37) mencatat: "Mun ngasruk ka pilemburan di jero kota Bandung, babari pisan manggihan urang Bandung nu hirupna sangsara teh (Jika memasuki kampung yang ada di dalam kota, mudah sekali menemukan orang Bandung yang hidupnya sengsara)."
Belum banyak sekolah yang tersedia. Pada tahun 1955, Us Tiarsa (hal. 24) menuliskan, baru ada sekitar tujuh sekolah menengah pertama (SMP) negeri. Sementara swasta, atau partikulir, sedikit sekali jumlahnya. Ada juga peristiwa migrasi besar-besaran dari Priangan Timur, yang dipicu oleh ketakutan pada gerombolan, atau yang dikenal dengan nama DI/TII.
Namun yang penting untuk digarisbawahi adalah konteks nasional pada saat itu. Dalam dekade 1950-an, pergolakan muncul di beberapa tempat. Beberapa pihak, termasuk pemimpin Republik, menilai revolusi belum selesai. Masih setengah jajahan dan setengah feodal.
Sejarawan MC Ricklefs dalam studi ekstentif Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (hal. 493) mencatat bahwa sejarah Indonesia sejak tahun 1950 merupakan kisah tentang kekecewaan yang berakar dari keberhasilan mencapai kemerdekaan. Euforia bergeser menjadi tantangan ekonomi, pemberontakan daerah, dan upaya menegaskan identitas nasional. Persoalan-persoalan yang juga hinggap di Bandung.
Pada 14 Maret 1957, pemerintah pusat memberlakukan keadaan darurat atau SOB (Staat van Oorlog en Beleg) untuk menangani pembangkangan daerah dan ketidakstabilan politik. Dalam konteks ini, militer mempunyai wewenang untuk memasuki kehidupan publik, termasuk kelak mengatur distribusi beras –yang memicu krisis– di Jawa Barat dan menertibkan anak-anak muda yang dikenal sebagai Cross Boys.
Memasuki bulan Juni 1957, muncul kabar mengenai "Proklamasi Negara Pasundan 15 Juni", yang bermula dari satu laporan surat kabar Berita Minggu. Konon, ada rencana untuk melakukan gerakan senjata yang hendak mengubah struktur negara secara inkonstitusional. Tentu ini tuduhan serius. Belum diketahui secara pasti siapa yang memiliki kepentingan di balik isu tersebut. Yang jelas, tudingan mengarah pada sejumlah tokoh masyarakat Sunda.
Surat kabar Warta Bandung edisi Kamis, 13 Juni 1957 menurunkan laporan bahwa tuduhan-tuduhan itu mengarah pada RAA Wiranatakusumah, Djerman Prawirawinata, dan Djajarachmat, yang tentu saja segera dibantah oleh ketiganya. Mereka dianggap memiliki, dan meyakini, ide soal provinsialisme. Kabar lainnya, 500 orang bersenjata lengkap telah dipusatkan di Tangkuban Perahu. Situasi yang rumit, dan sangat kental nuansa politis.
Beberapa bulan setelah heboh itu, berbagai institusi pendidikan tinggi di Bandung berdiri. Pada hari Selasa 24 September 1957, Presiden Sukarno, ditemani PM Djuanda, Menteri PPK Priyono, dan pembesar lainnya, meresmikan Unpad. Dalam pidatonya, sebagaimana tercatat di surat kabar Warta Bandung (Rabu, 25 September 1957), Presiden memperingatkan dan menolak ilmu yang tidak revolusioner.
Sebanyak 2.500 orang mahasiswa baru mulai berkuliah. Begitulah keadaan Bandung. Tidak hanya dikenal dengan alamnya yang asri. Dalam kurun waktu tahun-tahun ini juga kota ini telah menjadi tempat yang sedap bagi kalangan terpelajar. Budaya perkotaan pun perlahan mulai berkembang pesat. Kenyataan ini sesuai dengan kesaksian Us Tiarsa (hal. 35), yang mengatakan bahwa: "Bandung teh kasebutna kota gede, Dayeuh rame. Pangeusina lobana jalma ngota. (Bandung itu bisa dibilang kota besar, kota ramai. Isinya orang [...yang berperilaku layaknya masyarakat] kota)."
Sebelum kabar peresmian kampus itu, pada Sabtu, 22 Juli 1957 surat kabar Warta Bandung menurunkan laporan mengenai peningkatan jumlah pelanggaran lalu lintas. Dalam sehari, menurut keterangan redaksi, telah terjadi 26 pelanggaran yang dilakukan pengendara bermotor dan bus yang menempuh trayek Bandung-Cirebon. Mereka melanggar karena tidak memiliki rijbewijs atau surat izin mengemudi (SIM).
Jika menilik data yang tersedia, tercatat juga bahwa di Bandung mulai banyak terjadi kecelakaan lalu lintas yang menimpa sejumlah pengemudi. Selain itu, banyak pengendara yang menggunakan knalpot terbuka, yang menurut keterangan pihak berwajib, biasa dilakukan "alap-alap jalan yang sok aksi."
Tentu saja fenomena-fenomena ini merupakan keresahan yang baru karena kita bisa melihat watak dominan dari warga kota saat itu yang patuh terhadap berbagai jenis peraturan. Suatu hal yang dengan jelas dipaparkan Us Tiarsa (hal. 21): "Bisa jadi kulantaran pangeusi kota can loba, sasar kaurus pisan kota teh. Kageroh ku pamarentah kota nu pagawena ukur pupuluhan oge. Ongkoh warga kota teh narurut keneh. Sarieuneun mun teu nurut kana palaturan atawa baha kana parentah gegeden teh (Bisa jadi karena penghuni kota belum banyak, dengan begitu kota ini terurus sekali. Tergarap oleh pemerintah meski pekerjanya hanya puluhan. Belum lagi warganya masih pada nurut. Mereka takut apabila tidak mengikuti peraturan dan seruan pembesar),"
Baca Juga: Cerita Penanganan Remaja Nakal di Bandung Era 1950-an
Jejak Delegasi Seniman Jawa Barat di Festival Pemuda dan Pelajar Sedunia 1957
Asal-usul Penamaan Cross Boys
Beberapa waktu kemudian situasi di Bandung terlihat agak lain. Spirit kemerdekaan mulai berhadapan dengan realitas yang rumit. Mungkin bisa dibilang sama sekali baru. Kenyataan ini ditandai dengan munculnya Cross Boys, istilah untuk menggambarkan sekelompok anak-anak muda koboi itu, yang cukup terpengaruh aktor beserta gaya hidup ala Barat.
Sebagian elemen masyarakat tidak menghendaki mereka, menganggap sesat karena berlaku di luar kelaziman. Ia menjadi semacam unintended-change atau perubahan yang tidak disengaja, tidak dapat diduga —jika konsep yang biasa digunakan Selo Soemardjan boleh diterapkan di sini.
Sejumlah media pun terlihat kebingungan ketika hendak mengabarkan hal tersebut. Pers berbahasa Belanda —sebelum dilarang Pemerintah pusat seiring mencuatnya polemik Irian Barat pada akhir 1957— menamakan anak-anak muda ini dengan istilah Nozem, atau juga Dingly Boys, merujuk pada fenomena serupa yang muncul di negeri Belanda. Sementara pers Indonesia, pada awalnya memberi nama gejala sosial ini dengan sebutan Cowboy (Koboy). Ia mengacu pada satu entitas masyarakat yang kala itu tumbuh subur di Amerika Serikat.
Jika ditelisik secara cermat, pelabelan nama Cross Boys dilakukan pers di kemudian hari. Setidaknya, hingga bulan Juni-Juli 1957, beberapa surat kabar masih menggunakan istilah Cowboy untuk melaporkan sesuatu hal yang berkaitan dengan tindak-tanduk para remaja yang berbuat onar. Memasuki bulan November 1957, barulah pemberitaan terhadap anak-anak muda mulai diubah dengan penamaan Cross Boys.
Pada dasarnya tidak ada perbedaan arti dalam Cowboy atau Cross Boys. Keduanya merupakan bentuk penamaan terhadap anak-anak muda bergaya koboi, anak-anak muda yang nakal, kerap bikin onar. Sebuah fenomena sosial yang saat itu dirasa membuat runyam. Namun tak jarang ada yang membaurkan persoalan yang semestinya bisa dengan mudah untuk dipilah.
Dalam beberapa kasus, sejumlah peristiwa kriminal biasa diasosiasikan dengan Cross Boys ini. Karena itu, saya menduga, jika penamaan Cross Boys merupakan salah satu langkah untuk memencilkan perilaku anak-anak muda yang berbuat menyimpang, dan kerap mengganggu ketertiban. Ada bukti yang menunjukkan hal ini.
Ketika surat kabar Warta Bandung edisi 16 Juli 1957 melaporkan satu peristiwa yang dipicu anak-anak muda, dengan nada sinis mereka menyebut: "Para Cowboy berambut macam sikat buruk, celana sempit macam kurang bahan, dengan ikat pinggang di tengah pantat, baju longgar seperti dapat pinjam atau beli dari loak, serta 'kuda Cowboy' yang terdiri dari sepeda bersadel tinggi dan berstang rendah."
Di halaman yang sama, redaksi juga menyebut para Cross Boys "merasa dirinya gagah dan setampan Roy Rogers." Di sisi lainnya, ada juga sumber yang mengatakan bahwa penggunaan istilah Cross Boys merujuk pada kebiasaan nongkrong di persimpangan (Cross-roads) sambil bernyanyi dan bermain gitar di malam hari. Karena belum ada sumber primer yang menguatkan pandangan ini, sementara saya meyakini yang pertama.
Dan Cross Boys diketahui publik sering berpakaian eklektik atau apa pun istilah yang pas untuk menggambarkan hal semacam ini: mengenakan jaket kulit, celana pensil, sepatu boots, dan berbagai macam aksesori yang kala itu tidak lazim dan tak jarang pula dipadupadankan dengan elemen lokal. Mungkin eksentrik jika memakai terminologi populer sekarang.
Pengaruh Film dan Bacaan?
Pada tahun-tahun itu, bioskop-bioskop bermunculan di Bandung. Sejumlah pengamat bilang kelak kehadirannya cukup krusial. Menurut Us Tiarsa (hal. 72), sebetulnya sudah sejak tahun 1940-an bioskop-bioskop hadir di kota ini. Ada bioskop gedong yang memfasilitasi hasrat penghiburan bagi kalangan elite, ada bioskop taman atau yang dikenal sebagai bioskop rakyat, dan ada juga yang disebut misbar (akronim dari gerimis bubar, alias, kalau hujan, ya, bubar penontonnya). Deretan nama bioskop seperti Luxor, Capitol, Texas, Rivoli, Majestik, Siliwangi, Varia, Taman Senang, Hawai Garden, adalah Taman Sehati adalah wahana pelepas penat warga Bandung saat itu.
Dalam konteks Bandung yang seperti inilah kemudian Cross Boys muncul. Bioskop menjadi pintu bagi masuknya budaya Barat yang turut merangsang imajinasi anak-anak muda yang kelak dipandang amoral. Banyak film-film Hollywood menampilkan gaya hidup koboi dan pemberontakan ala James Dean seperti dalam film Rebel Without a Cause (1955).
Film-film semacam ini –Wild West, jika meminjam istilah yang digunakan sejumlah surat kabar saat itu– menggaungkan kebebasan, pembangkangan, dan kelak menginspirasi sebagian pemuda untuk meniru gaya hidup Barat, seperti berkelahi dengan sesama anak muda lainnya. Dan sialnya, kasus perkelahian memang cukup sering terjadi. Bahkan tak jarang kejadian-kejadian seperti ini membuat anak muda dari satu daerah menjadi ragu untuk mengunjungi kerabat atau temannya yang bermukim di wilayah lain.
Salah seorang mantan Cross Boys pernah membuat sebuah pengakuan dalam bentuk tulisan. Ia bercerita panjang lebar mengenai kesan-kesan terhadap masa lalunya di Bandung tahun 1950-an. Kisahnya itu yang kemudian dimuat di laman Bandung Variety dengan judul Geng Motor Remaja/Cross Boys dalam Sejarah Kota Bandung (dikutip Senin, 21 Juli 2025):
"Pertanyaan khas 'budak mana?' (anak mana?) sering menjadi pemicu intimidasi, terutama jika remaja tersebut berasal dari daerah yang sedang berseteru dengan wilayah yang dikunjungi. Saya sendiri, yang saat itu masih remaja, punya perasaan 'ngeper' [dibaca: was-was] ketika harus berenang di Centrum (dulu Kolam Renang Tirtamerta), yang dikenal sebagai 'wilayah kekuasaan' Patoradhos [..sebuah nama kelompok Koboy seterunya], sementara saya tinggal di sekitar Buah Batu."
Tentu saja pengaruh budaya Amerika tidak hanya terbatas pada film. Ada beberapa aspek lain yang muncul. Bacaan cabul, misalnya, yang kala itu juga mulai populer di kalangan pemuda, perlahan turut merasuki anak-anak Bandung.
"Yang menyebabkan timbulnya Cross Boys adalah karena pengaruh film, bacaan cabul, dan adanya rasa ingin dipuji," ujar Mayor Tatang dari Komando Militer, sebagaimana dikutip dari Warta Bandung, 12 November 1957. "Begitu pun demokrasi yang disalahgunakan bukannya menguntungkan tetapi bahkan menjadi racun sehingga hal ini pun akan memungkinkan timbulnya Cross Boys."

Kecemasan Otoritas
Ada semacam prasangka atau kecenderungan sinis yang menyeruak terhadap segala hal berbau demokrasi liberal, atau Amerika Serikat. Mudah dipahami sebetulnya. Mengingat gejolak politik yang mewarnai masa itu. Pembatalan KMB, nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, dan macetnya Konstituante menjadi sebagian dari deretan persoalan yang membelit Republik ini pada akhir 1957.
Bung Karno, dalam ceramah di Bioskop Varia Bandung dalam acara ulang tahun PNI yang ke-30 pada Kamis, 4 Juli 1957 secara tegas mengecam demokrasi parlementer. Menurut Sang Presiden, masyarakat adil dan makmur adalah masyarakat sosialistis.
"Dan untuk mencapai masyarakat semacam itu, kita tidak dapat menggunakan filsafat liberalisme, karena filsafat liberalisme ialah musuh sosialisme," ujar Bung Karno, dikutip dari laporan surat kabar Indonesia Raya edisi Jumat, 5 Juli 1957.
Satu fakta menarik muncul dari Nyonya Rusiah Sardjono, tokoh hukum perempuan pertama dari UGM. Kala itu dia merupakan ketua Pra Juwana, sebuah organisasi yang sebelumnya bernama Pro Juventute, yang berperan memberi bantuan hukum terhadap anak-anak (kelak beberapa tahun setelahnya, Nyonya Rusiah Sardjono menjadi Mensos 1962-1966). Dalam ceramah seusai pulang dari Amerika Serikat, dia mempelajari secara terperinci persoalan-persoalan mendasar yang berhubungan dengan pemeliharaan anak-anak nakal.
Menurut Rusiah, sebagaimana tercatat dalam surat kabar Warta Bandung edisi Selasa, 15 Agustus 1957, angka kejahatan anak-anak di Amerika Serikat menunjukkan tren yang meningkat. Dia mengutip data dari Edger Hoover pimpinan FBI yang menyebut bahwa di tahun 1956 angka kriminalitas anak merupakan yang tertinggi dalam sejarah.
"Untuk mengadili perkara kriminalitas yang dilakukan anak-anak, pemerintah Amerika Serikat membuat pengadilan khusus anak-anak," demikian Nyonya Rusiah Sardjono menutup ceramahnya.
Sementara Kolonel Wonojudo, yang saat itu masih menjabat sebagai wakil panglima, mengatakan bahwa faktor yang menyebabkan timbulnya Cross Boys ini adalah "karena anak-anak sedang dalam keadaan kebingungan, dan kita harus dapat menyalurkannya, karena bila salah penyaluran akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan."
Sesungguhnya sulit untuk menetapkan dengan pasti kapan tepatnya anak-anak muda yang bengal ini mulai tampil. Namun ada satu kasus kenakalan anak-anak yang membuat percakapan di tengah masyarakat Bandung kian hangat. Pada hari Rabu, 12 Juni 1957, terjadi penyerangan terhadap anak-anak Sekolah Rakyat Halimun yang sedang mengikuti ujian akhir di Sekolah Rakyat Balonggede. Dalam surat kabar Warta Bandung Kamis 13 Juni 1957, tercatat:
"Kedjadian jg tjukup membahajakan itu terdjadinja persis didepan ruangan sidang DPRD Kabupaten Bandung. Karenanja tidaklah heran djika para anggota DPRD jang akan mengadakan sidang seksinja ikut menjaksikan pertundjukkan ngeri tsb secara bersama2 puluhan orang lainnja. Tapi jang tidak bisa menghalang-halangi disebabkan kuatnja pertahanan dan pendjagaan pihak cowboy."
Setelah kejadian itu, pemberitaan tentang Cross Boys hadir secara masif. Ia eksis bertepatan dengan maraknya wabah influenza yang saat itu menerjang seantero dunia, tak terkecuali Bandung. Di waktu yang kurang lebih bersamaan, publik Bandung juga sedang disibukkan oleh kontestasi Pemilu Daerah 1957. Dua peristiwa penting yang sering luput dalam diskursus mengenai kota ini.
Menariknya, sejumlah organisasi kemasyarakatan turut mengambil bagian dalam upaya pencegahan fenomena Cross Boys. Di antara organisasi yang cemas dengan kehadiran Cross Boys adalah IPPI Priangan, PGRI, dan Gerwani. Nama organisasi terakhir menjadi penting.
Bisa dipahami pula mengingat adanya keterlibatan anggota perempuan di kelompok itu. Mereka disebut Cross Girls, jika merujuk laporan Java Bode, 13 November 1957. Dalam Konferensi Kerja Gerwani pada 2-7 September 1957, mereka mengusulkan untuk pihak-pihak terkait segera membentuk panitia sensor film. Menurut mereka, keadaan saat itu:
"Adanya gejala-gejala kerusakan jiwa anak-anak kita yang masih bersekolah, seperti yang dicerminkan dengan adanya kumpulan Cowboy, tindakan yang bertentangan dengan tata-susila dan macam-macam lagi. Adanya bacaan cabul, yang kini beredar dan banyak dibaca kaum muda, film-film Cowboy yang sama sekali tidak menjalankan fungsi mendidik, telah mengambil dan membawa anak-anak kita." (Warta Bandung, Sabtu, 14 September 1957).

Faktor-faktor Kemunculan Cross Boys
Mengingat kompleksitas yang tampak melekat pada Cross Boys, kita layak melihat fenomena ini bukan sekadar tren, atau pun sebatas mode, tetapi juga dinamika sosial di tengah dunia yang kala itu terbagi menjadi dua bagian, atau yang juga dikenal sebagai Perang Dingin. Sebagai subkultur, Cross Boys menarik perhatian karena mereka tidak hanya berbeda, tetapi mendorong ekses sosial: dari mulai keributan dengan sesama elemen masyarakat hingga tanggapan berlebih yang dilakukan otoritas lokal.
Tidak ada faktor tunggal yang mungkin bisa menjelaskan kemunculan Cross Boys. Sekurang-kurangnya ada tiga elemen yang menjadi pemicu, ditilik dari segi sosial, budaya, dan mungkin juga ekonomi. Pertama, migrasi yang pesat di kota Bandung —terutama dipicu gerombolan atau DI/TII— memungkinkan pertumbuhan penduduk kota, dan karenanya memantik para pemuda untuk menciptakan hal baru. Banyak pemuda dari berbagai latar belakang, termasuk pelajar yang lahir dari keluarga miskin atau pun kelas menengah yang mulai berhimpun di pusat-pusat kota.
Kedua, pengaruh media massa, khususnya film dan bacaan cabul. Ini memang faktor yang cukup krusial dalam membentuk imajinasi para pemuda ini. Laporan surat kabar Warta Bandung pada 13 Juni 1957, misalnya, mencatat bahwa kelompok Cowboy lokal ini terinspirasi oleh film-film Barat yang menampilkan tokoh-tokoh Amerika Serikat dengan jaket kulit dan celana levis yang sempit.
Lagu-lagu dari Elvis Presley konon juga menjadi simbol pembangkangan terhadap aturan yang bersifat mengekang. Dalam konteks ini, Cross Boys muncul sebagai bagian dari arus global. Semacam bentuk upaya pemuda untuk mendefinisikan ulang identitas diri mereka di tengah ketegangan antara pihak tradisional dan Barat.
Ketiga, aspek Perang Dingin saya kira juga turut membentuk fenomena Cross Boys. Pada era ini, dunia terbagi antara dua kutub ideologi. Amerika Serikat yang menjajakan kapitalisme, ditopang oleh budaya dan pandangan hidup yang membenarkan sistem itu berkembang, serta Uni Soviet dengan sosialisme. Indonesia, sebagai negara Non-Blok (pada tahun-tahun ini dipimpin kalangan nasionalis-progresif), menjadi medan pertempuran pengaruh budaya dari kedua kubu.
Sepertinya budaya Barat, dengan film dan musik, lebih efektif untuk menarik simpati sebagian pemuda dibandingkan sosialisme yang kadang dianggap kaku, atau puritan. Mungkin ini sekaligus membuat otoritas geram —yang kala itu masih dihuni kalangan kiri, meski tidak terlalu signifikan secara nasional terutama karena upaya hadangan dari kelompok militer. Karena itulah kehadiran anak-anak Cross Boys seolah menjadi kemenangan kecil bagi Amerika yang masuk melalui saluran budaya populer.
Ironisnya, dalam surat kabar Preangerbode, terbit 1 November 1957, tercatat bahwa pemerintah Vietnam Selatan –yang notabene sekutu Amerika Serikat, dan punya kecenderungan antikomunis yang kuat– ikut mengeluh dengan adanya peredaran film-film koboi. Di Saigon, begitu banyak film koboi dan kriminal yang diimpor. Ini menyebabkan timbulnya Cross Boys di wilayah tersebut.
Paling tidak, itu juga menjadikan bukti bahwa Cross Boys bukan fenomena unik khas Indonesia, tetapi juga bagian dari gelombang budaya Barat pasca-Perang Dunia II. Di Belanda, anak-anak muda serupa Cross Boys biasa disebut Nozem, atau juga dikenal dengan istilah Dingly Boys. Di Inggris, anak-anak muda nakal semacam ini disebut Teddyboy, di Jerman ada istilah Halbstarken, dan di Prancis disebut Bloison Noir.
Keempat, faktor internal seperti pencarian jati diri di benak pemuda juga memainkan peran. Banyak Cross Boys adalah pelajar atau pemuda yang merasa terasing dari sistem sosial yang dirasa mengekang atau tekanan untuk mematuhi norma-norma tradisional. Mereka lalu mengekspresikan diri melalui gaya hidup yang dianggap lebih bebas.
Sejumlah informasi yang tersedia mengatakan bahwa tidak semua Cross Boys terlibat kriminal. Beberapa gadis, misalnya, mengaku hanya ikut-ikutan memakai jaket merah ala James Dean dan celana jengki. Umumnya, inilah yang terjadi pada kasus perempuan. Menurut istilah yang dipergunakan surat kabar Warta Bandung: "hanja didorong oleh model pakaian semata-mata."
Bahwa ada bahaya dari produk budaya yang dipicu liberalisme, dalam situasi tertentu, dan dalam kasus-kasus tertentu, mungkin iya, susah disangkal. Namun kalau anak-anak remaja dikatakan antek Barat, atau tidak menghargai lokalitas, saya kira itu berlebihan. Boleh jadi, dan sebagian terbukti, mereka sekadar ikut-ikutan, atau gagap melihat persoalan. Sebaliknya, otoritas juga cenderung menutup mata terhadap kesulitan rakyat mencari penghidupan.
Kelima, ini penting, sebagaimana telah disinggung di kalimat sebelumnya, adalah tentang sedikitnya mata pencaharian atau singkatnya: masalah ekonomi. Saya menduga bahwa fenomena Cross Boys ini juga merupakan bentuk keinginan untuk menonjol di tengah tekanan ekonomi pascakolonial. Sebab, pada bulan Agustus-September-Oktober 1957, mayoritas rakyat di wilayah Jawa Barat sedang menghadapi krisis beras, yang menurut penjelasan Johanes Leimena (wakil Perdana Menteri III di kabinet Juanda), dipicu oleh peraturan Penguasa Militer Teritorial III mengenai penggilingan padi dan larangan mengangkut beras dari satu daerah ke daerah lain (Warta Bandung, 8 Oktober 1957).
Sebagai informasi tambahan setelah melihat keterangan surat kabar Warta Bandung yang diperoleh dari Kantor Penempatan Kerja. Kala itu tercatat bahwa jumlah pengangguran di Bandung sebanyak 8.960 orang. Ironisnya, mayoritas dari mereka adalah anak-anak muda. Kemunculan Cross Boys ini memungkinkan sebagian anak-anak muda menemukan bentuk eskapisme dari sulitnya mencari pekerjaan formal. Mengukuhkan harga diri di tengah tekanan ekonomi.
Kita bisa melihat dari satu kasus yang tercatat dalam surat kabar Warta Bandung pada Selasa, 16 Juli 1957. Saat itu terjadi tindak kekerasan terhadap pelajar perempuan oleh belasan anak muda Cowboy. Dari empat belas orang pelaku, ada satu anak polisi dan satu orang pelajar. Sisanya, meminjam istilah redaksi, ialah LLMTD (Lugah Ligeuh Tidur Makan Djalan) alias pengangguran.
Juga di Kota-kota Lain
Kemunculan Cross Boys menunjukkan kompleksitas dinamika sosial, terutama di Bandung era 1950-an. Ia dipicu oleh budaya perkotaan, pengaruh film dan musik, pengangguran, juga ketegangan antara kultur tradisional dan Barat. Menjadi semacam kontravensi dalam pengertian sosiologi. Pemerintah dan golongan masyarakat lebih tua merasa dunia mereka terancam dengan kehadiran dan nilai yang diusung anak-anak muda Cowboy yang relatif lebih individualistik.
Patut dicermati juga bahwa sebetulnya, dan lebih spesifiknya, Cross Boys ini bukan fenomena khas yang hanya muncul di Bandung atau Jawa Barat. Ia muncul juga di kota-kota lain di Indonesia. Dari laporan Surat kabar Indiesche Courant voor Nederland yang terbit 8 November 1957, kasus Cross Boys tercatat ada juga di Medan. Sementara surat kabar Java Bode yang terbit 13 November 1957 turut melaporkan kemunculannya di Jakarta. Bahkan ada juga di beberapa kota lainnya seperti Surakarta, Sukabumi, Yogyakarta, terkecuali Surabaya, yang mungkin mempunyai kontrol otoritas lebih ketat.
Pertanyaan yang layak diajukan sekarang, bagaimana karakteristik Cross Boys? Apa dampaknya terhadap kehidupan masyarakat, khususnya di Bandung? Pembahasan selanjutnya akan menelusuri persoalan-persoalan itu. Dimulai dari gaya berpakaian hingga perilaku yang cenderung menyimpang, lalu sedikit mencermati dampaknya terhadap masyarakat dan otoritas lokal, yang tak jarang direspons berlebihan.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB