Jejak Delegasi Seniman Jawa Barat di Festival Pemuda dan Pelajar Sedunia 1957
Bagi republik yang belum lama berdiri, keikutsertaan di Festival ini juga selaras dengan visi pemimpinnya tentang “dunia baru” yang menolak hegemoni dua blok besar.

Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
14 Juni 2025
BandungBergerak - Sekelompok seniman dari Jawa Barat tiba di Moskow untuk menghadiri Festival Pemuda dan Pelajar Sedunia ke-6 yang digelar bulan Juli-Agustus tahun 1957. Beberapa surat kabar menjelaskan bahwa festival ini bukanlah sekadar perayaan seni, tetapi menjadi simbol perlawanan untuk menentang imperialisme Barat dan memajukan perdamaian dunia.
“Lebih dari 800 konser, pertunjukan teater, kuliah, seminar ilmiah dan budaya, kompetisi olahraga, dan acara lainnya digelar di Moskow selama periode singkat itu,” demikian informasi yang tercatat Russia Beyond, disitat 5 Mei 2025.
Keikutsertaan sejumlah seniman asal Jawa Barat dalam festival bukannya tanpa alasan. Ia beririsan dengan semangat kemerdekaan Indonesia yang belum lama dikumandangkan. Saat itu, Indonesia juga sedang giat membangun identitas nasional, sementara ketegangan yang dipicu Perang Dingin dan kekhawatiran meletusnya Perang Dunia Ketiga menjadi persoalan banyak orang.
Seni lantas dianggap bisa menjadi alat diplomasi yang strategis. Ia juga diharap bukan hanya mampu mengenalkan Indonesia, tetapi juga dapat menurunkan tensi konflik.
"Yang terpenting ialah untuk menjalinkan persahabatan antara pemuda-pemuda dari seluruh dunia, dan untuk lebih mengokohkan benteng perdamaian," kata Wiratno Ramelan, Ketua Panitia Daerah Jawa Barat, dalam sambutan di acara pelepasan delegasi untuk berangkat ke Moskow, tercatat dalam Warta Bandung, 17 Juni 1957.
Delegasi Jawa Barat kala itu diwakili tokoh-tokoh kondang. Sejumlah surat kabar menyebut-nyebut nama Mang Koko Koswara, Ety Rumiaty, dan Parmis jauh sebelum ketiganya berangkat ke Rusia.
Yang terjadi selanjutnya di luar dugaan. Di Moskow, delegasi Jawa Barat berhasil mendapat sorotan dunia, sekaligus mampu menunjukkan bahwa budaya lokal memiliki daya tarik universal. Mereka berhasil meninggalkan jejak gemilang.
Penampilan para seniman tidak hanya mengundang decak kagum penonton di Moskow, tetapi juga mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Torehan ini juga mampu menggemakan “Semangat Bandung” —yang dihasilkan Konferensi Asia Afrika 1955— dan menjadi inspirasi bagi seniman Indonesia untuk terus berinovasi tanpa harus meminggirkan tradisi.
Sekali lagi, ini merupakan jejak yang gemilang. Dengan membawa pulang medali emas dan perunggu, delegasi Jawa Barat menunjukkan bukti bahwa negara yang belum lama berdaulat mampu bersaing di kancah dunia, meskipun dengan berbagai keterbatasannya. Sayangnya, belum banyak penulis yang memberi perhatian khusus pada momen tersebut.
Tulisan ini berupaya merekam dan menapaktilasi Festival yang diikuti sekitar 20-an pemuda Jawa Barat. Berdasarkan pembacaan terhadap surat kabar Warta Bandung, yang kala itu getol mewartakan informasi seputar Festival Pemuda dan Pelajar Sedunia, tulisan ini mengulas lebih rinci pelepasan delegasi ke Moskow, menunjukkan bentuk kesenian apa yang ditampilkan, situasi macam apa yang dihadapi, dan dampak keikutsertaan mereka.

Persiapan Menuju Moskow
Sebelum berangkat, delegasi Jawa Barat harus melalui proses yang dilakukan dengan cermat. Menurut laporan yang tercatat di dalam Warta Bandung edisi 6 Juni 1957, Panitia Daerah Jawa Barat lebih dulu menyeleksi 20 orang perwakilan terbaik, terdiri dari seniman, penari, dan pendamping. Nama Koko Koswara, sebagai seniman berpengaruh, menjadi sorotan publik.
Mang Koko dikenal sebagai maestro karawitan Sunda. Sebagai pembaharu karawitan Sunda, karyanya berjumlah ratusan. Sebelum ke Moskow, Mang Koko telah mempersiapkan nomor instrumental klasik dengan khas kecapi, sementara tiga penari sohor: Jetty Sumarjati dan Dida dari Bandung, serta Metty Purawinata dari Sukabumi, giat berlatih untuk menampilkan tari topeng.
Pada hari Minggu, 16 Juni 1957, malam perpisahan digelar di Gedung Himpunan Saudara Bandung, dihadiri sejumlah pejabat seperti Tubagus Oemay Martakusumah, Kepala Dinas Kebudayaan. Meskipun sederhana, acara ini penting sebab menjadi penanda bahwa rombongan pertama, yang berjumlah 14 orang, akan berangkat ke Jakarta pada 17 Juni dan dijadwalkan menuju Moskow pada 19 Juni 1957.
Yang menarik adalah sambutan dari Ketua Panitia Daerah Jawa Barat, Wiratno Ramelan. Ada satu keganjilan yang tercatat di surat kabar Warta Bandung, yang terbit pada hari Senin 17 Juni 1957. Dalam penuturannya itu, ia menyatakan keheranan sebab masih ada sebagian masyarakat yang “tidak bisa menerima ide dari Festival Pemuda dan Pelajar Sedunia ini.”
Hingga tulisan rampung, saya belum menemukan informasi secara pasti siapa yang telah diduga mengorkestrasi penolakan ini. Namun jika melihat konteks politik nasional saat itu (untuk bisa melihat persoalan lebih proporsional, kita bisa mencermati surat kabar oposisi seperti Indonesia Raya atau Pedoman, dan bisa dilihat karya MC. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, hlm. 538-541), di mana PSI dan Masyumi mengambil garis tegas sebagai oposisi, kemungkinan dari sanalah isu penolakan muncul. Yang jelas, respons berbeda datang dari Istana Merdeka.
Pada 19 Juni 1957, surat kabar Warta Bandung menurunkan laporan terkait keberangkatan rombongan nasional ke Moskow. Ketua Panitia Nasional Festival, Sutoyo Arcundata, memberi sambutan. Selanjutnya giliran Presiden Sukarno yang saat itu menerima delegasi nasional, yang berjumlah 95 orang, termasuk perwakilan dari Sumatra, Kalimantan, Maluku, dan Jawa Barat.
Dalam sambutannya, Bung Karno menunjukkan kesetujuannya dengan perhelatan akbar Festival Pemuda dan Pelajar Sedunia ke-6. Ia menekankan bahwa festival ini adalah wadah bagi pemuda dunia untuk membangun “dunia baru” yang bebas dari penindasan. Ia juga berpesan agar delegasi menjaga identitas Indonesia: “tidak boleh main djiplak sadja”, tetapi “tidak berarti mengisolasi diri” atau “mendjadi chauvinistis”, harus tetap terbuka terhadap budaya lain tanpa kehilangan sikap kritis.
“Disinilah letak pentingnya Festival,” begitu kata Bung Karno, sembari meminta masing-masing delegasi menampilkan seni daerah di Istana, sebelum diakhiri dengan foto bersama.
Baca Juga: Cerita Penanganan Remaja Nakal di Bandung Era 1950-an
Ketika Pramoedya Ananta Toer Terkena Dampak Efisiensi Anggaran
Kemeriahan Festival
Di Moskow, penduduk setempat begitu antusias menyambut Festival. Pada 22 Juli 1957, surat kabar Warta Bandung menurunkan laporan tentang kesiapan tuan rumah menggelar pesta akbar itu. Beberapa hotel mewah telah dipersiapkan untuk melancarkan Festival.
“Moskow betul-betul ingin melakukan segalanya yang mungkin untuk membuat para tamu festival itu menjadi kerasan,” tulis laporan tersebut.
Taman Pusat Kebudayaan Gorky dan Istana Kremlin dibuka bebas untuk publik. Selama dua minggu, tercatat telah delapan kali digelar acara utama. Orang-orang berkomunikasi dengan bebas. Suatu hal yang mungkin sulit – bahkan untuk sekadar bisa dibayangkan – terjadi di era Stalin.
“Momen ini, bagi saya, menjadi momen paling membahagiakan dalam hidup,” kata Boris Knoblok selaku Ketua Festival, sebagaimana dikutip dari laman Soviet Art.
Sejumlah juru masak yang bertugas menyediakan makanan untuk delegasi negara lain disiapkan dalam jumlah yang maksimal. Para pemuda Italia, Cekoslovakia, Polandia, dan Tiongkok dapat memesan masakan khas negara masing-masing. Sopir taksi dan bus dikondisikan untuk mempelajari sepatah dua patah kosakata bahasa asing. Pelukis dan arsitek kenamaan didorong untuk mengoptimalkan segenap kemampuannya.
“Banyak sekali proyek menarik yang ditujukan untuk pemuda dari negara-negara demokrasi rakyat,” lanjut laporan tersebut.
Para pedagang menjual berbagai suvenir yang berhubungan dengan festival. Kementerian Komunikasi di Moskow menerbitkan seri perangko dan kartu pos khusus tentang Festival. Sejumlah penggiat film dokumenter telah memiliki rencana untuk memproduksi film berwarna yang full-length.
Festival resmi dibuka pada 28 Juli 1957. Saat itu, kawasan sekitar Festival dihadiri lebih dari 30.000 orang pemuda dari 40 negara, termasuk India, Pakistan, Kanada, Australia, Yugoslavia, dan Venezuela. Seolah Moskow telah berganti wajah, berhias sedemikian rupa. Bunga warna-warni bertebaran, sementara tarian dan nyanyian pemuda dari berbagai bangsa menggema di jalanan.
“Di samping kesibukan dengan semua urusan, dapur umum telah dibereskan sehingga tidak mengecewakan para tamu,” tulis laporan Warta Bandung, Senin 29 Juli 1957.
Pada Selasa, 30 Juli 1957, terbit laporan mengenai pembukaan Festival Pemuda dan Pelajar Sedunia ke-6. Dalam sambutannya, salah satu pimpinan Uni Soviet, Klim Voroshilov memaparkan pernyataan bahwa “rakjat muda” adalah harapan masa yang akan datang. Ia juga menegaskan komitmen Uni Soviet untuk menjaga perdamaian.
Beberapa laporan surat kabar turut menggambarkan suasana pembukaan yang merekatkan solidaritas antar pemuda. Ribuan merpati diterbangkan, sebagai lambang perjuangan rakyat sedunia dalam meraih kemenangan perdamaian atas peperangan. Bukan suatu kebetulan jika merpati juga sekaligus menjadi simbol festival, yang dibuat Pablo Picasso.
Sorak gemuruh terdengar ketika rombongan Indonesia berjalan sejaul 7 mil menuju arena Stadion Central Lenin (sekarang dikenal Stadion Luzhniki). Masing-masing delegasi menggunakan pakaian adat. Bahkan rombongan Mesir membawa potret besar Gammal Abdul Nasser. Lebih dari setengah jumlah peserta yang terlibat dalam Festival ini berasal dari Asia-Afrika.
Sejak tanggal 15 Juli, Film berjudul “Si Pintjang” diputar di bioskop-bioskop Moskow dan mendapat sambutan hangat. Laporan surat kabar Warta Bandung menunjukkan bahwa antusias publik terhadap film “Si Pintjang” didorong oleh kesamaan tema dengan film lokal Uni Soviet, yang berjudul “Jalan ke Kehidupan”, yang berkaitan dengan sulitnya hunian layak bagi anak-anak.
Di bidang seni, delegasi Indonesia tampil memukau. Lagu “Halo-halo Bandung” dan “Tanah Airku Indonesia” membuka pertunjukan, disambut antusias oleh warga Moskow yang memadati Taman Kebudayaan Gorky. Memet Martasuta menyihir penonton dengan tari “Samba” dari Jawa Barat, yang mengisahkan perjuangan seorang bangsawan yang pergi berperang untuk kemerdekaan Tanah Airnya. Ia tampil bertelanjang dada, dengan mengenakan topi klasik, dan tanpa alas kaki.
Ada juga Ho dan Wang dari Sumatra Utara yang menghidupkan panggung dengan tarian yang menggambarkan keseharian rakyat, mencerminkan semangat cinta damai dan kerja keras masyarakat lapis bawah. Puncaknya, paduan suara yang diiringi kecapi oleh Mang Koko menyanyikan lagu festival, menggambarkan cita-cita republik Indonesia dengan penuh gairah (Warta Bandung, 7 Agustus 1957).
Penampilan delegasi Jawa Barat menuai pujian. Ety Rumiaty meraih medali emas untuk tembang Cianjuran, sementara Jetty Abbas memenangkan medali emas untuk tari topeng. Mang Koko, dengan kecapi dan sulingnya, serta paduan suara Jakarta —yang terdiri dari Maryati, Mulyaningsih, Anni Hardiana, Sudarmo, Badri, Trisni, dan Maulana— mendapat medali emas dan perunggu. Sementara dalam nomor nyanyi tunggal, meski kalah, Sally Tan, penyanyi yang saat itu berusia 19 tahun, tetap menarik perhatian dan mendapat kesempatan belajar di Konservatori Jerman Timur berkat rekomendasi IUS.
“Dengan tepuk tangan gemuruh yang tak henti-hentinya penduduk Moskow menyatakan kepuasan dan kegembiraan mereka atas kesenian yang ditampilkan rakjat Indonesia,” demikian laporan surat kabar Warta bandung.
“Tarian dan nyanyian yang dipertunjukkan di sini menggambarkan pekerjaan yang bersifat damai dari kaum tani, kecintaan dan kesayangan besar serta fikiran dari kaum ibu dalam memelihara anak mereka, dan semangat cinta yang bangga dari rakjat Indonesia, perdjoangan untuk kemerdekaan.”
Minggu, 4 Agustus 1957. Abbas Usman, selaku ketua Delegasi Nasional, menyatakan pada sejumlah surat kabar bahwa Festival Moskow telah berhasil memperkuat “Semangat Bandung” sebab ikatan mesra yang dijalin antara pemuda Asia dan Afrika semakin terbentuk. Ia juga bicara soal komposisi peserta yang hadir. Menurutnya, itu memberi kesempatan untuk dapat mengenali satu sama lain.
“Pemuda Indonesia telah lama ingin datang ke Moskow untuk melihat kehidupan Rakjat Soviet, dan melihat hasil kemajuannya. Untuk Indonesia yang sedang membangun kehidupan baru, ini sangat penting dan perlu. Dan kami merasa gembira bahwa kami akhirnya telah datang di Uni Soviet,” demikian Abbas Usman, seperti tercatat di surat kabar Warta Bandung, Senin, 5 Agustus 1957.
Kamis, 8 Agustus 1957. Sebanyak 3.000 orang delegasi dari berbagai negeri dijamu makan malam oleh Pemimpin PKUS, Nikita Khruschev. Dalam pertemuan tersebut, Khruschev duduk satu meja dikelilingi delegasi dari berbagai negeri. Di akhir jamuan, Khruschev memberikan sejumlah penghargaan bagi delegasi yang berhasil meraih prestasi.
Seiring waktu, semakin banyak laporan mengenai suasana festival yang penuh keceriaan. Jalanan Moskow dipenuhi ribuan orang pemuda yang berdesakan, antusias menyaksikan konser, bertukar suvenir, atau sekadar saling tersenyum walaupun terhalang kendala bahasa. Radio Moskow melaporkan pembukaan klub internasional mahasiswa di Universitas Lomonosov yang dihadiri 5.000 orang peserta.
Wartawan Tass (sebagai unit media terbesar di Moskow) mencatat bahwa delegasi Mesir memukau dengan tarian nasional seperti “Pengantin Nil” dan Tari Rakyat Sahara Barat yang dibawakan oleh penari perut dan artis terkenal, Naima Akef. Penonton menyambut meriah dengan tepuk tangan, membuat suasana semakin semarak. Ketika pertunjukan berakhir, para penonton mengerumuni bus-bus yang mengangkut delegasi Mesir dan Indonesia.
“Mengadakan tukar-menukar kesan dan alamat,” demikian laporan Warta Bandung.

Kepulangan
Pada 19 September 1957, surat kabar Warta Bandung menurunkan laporan tentang kepulangan delegasi Jawa Barat ke Tanah Air. Diangkut kereta api, rombongan delegasi tiba pukul 14.30 WIB, dan langsung disambut meriah di Stasiun Bandung pada Minggu kedua bulan itu. Keluarga dan teman yang menyambut para delegasi memenuhi pelataran.
“Bergemalah tempik sorak para penyambut disertai tabuh-tabuhan,” begitu laporan Warta Bandung.
Setelah turun dari kereta, para delegasi diserbu, dipeluk, dan dikalungi bunga. Banyak di antara hadirin yang datang meneteskan air mata. Mungkin terharu sekaligus gembira, menyambut rombongan delegasi yang berhasil membawa prestasi.
Rombongan delegasi kemudian diarak menuju ke Balai Kota. Upacara penerimaan resmi digelar untuk menandai pencapaian mereka. Sementara Walikota, Gubernur, dan KMKB telah menanti di lokasi.
Di Balai Kota, begitu tiba, rombongan disambut bunyi gamelan degung. Mereka disalami sejumlah tokoh-tokoh yang hadir sore itu, diberi ucapan selamat, dan masing-masing delegasi dikalungi bunga. Ketua Panitia Daerah Jawa Barat, Wiratno Ramelan, menekankan betapa pentingnya peran delegasi dalam menghadiri Festival Pemuda dan Pelajar Sedunia.
“Dengan hasil yang gemilang, yang diperoleh rombongan Jawa Barat, adalah satu bukti yang nyata bahwa delegasi Jawa Barat berhasil dalam menggalang persahabatan dan perdamaian, sesuai dengan prinsip Konferensi Bandung (Konferensi Asia-Afrika),” demikian tercatat dalam surat kabar Warta Bandung, Kamis 12 September 1957.
Ucapan selamat juga diberikan oleh Amir Anwar Sanusi, pimpinan PKI Jawa Barat (sebagai catatan, bahwa partai ini meraih suara yang signifikan di Pemilu Daerah 1957). Ia juga mengharap kepada sejumlah delegasi untuk lebih mengisi kehidupan seni Indonesia.
Sebelumnya, di Tanjung Priok, 93 orang delegasi nasional disambut Menteri Antar Daerah, Dokter Ferdinand Lumban Tobing. Semua itu belum termasuk 28 orang delegasi lainnya yang memang masih harus melanjutkan perjalanan ke Cekoslowakia, Rumania, Jepang, Korea, dan Tiongkok untuk memenuhi undangan pertunjukan di negeri tersebut.
Ketua delegasi Nasional Abbas Usman menyatakan bahwa Indonesia mendapat sambutan hangat di Moskow. Antusiasme publik mengemuka di jalanan maupun dalam festival. “Nama dan nyanyian Indonesia telah populer di luar negeri,” ujarnya.
Dokter Ferdinand Lumban Tobing menambahkan bahwa pemerintah dan masyarakat Indonesia bangga atas kontribusi delegasi dalam memperkenalkan identitas nasional, yang menjadi sumbangan berharga bagi pemahaman dunia tentang Indonesia.
Sementara Mang Koko, dalam esainya, mengungkapkan rasa syukur atas kepercayaan yang diberikan panitia. Ia menekankan bahwa festival ini tidak hanya memperkenalkan kesenian daerah, tetapi juga menanamkan rasa cinta dan persahabatan antarbangsa.
“Kami bangga karena kesenian daerah yang kami pupuk dengan jerih payah dapat ditampilkan di gelanggang internasional, di mana wakil-wakil dari seluruh dunia berkumpul,” tulisnya.
Mang Koko juga mencatat tiga nomor kompetisi yang telah diikuti Delegasi jawa Barat: tembang Sunda oleh Ety Rumiaty, Parmis, dan dirinya sendiri, kecapi suling oleh Parmis dan dirinya, serta tari topeng oleh Jetty Abbas dengan iringan gendang oleh Kurnia.
Masih dalam rangkaian penyambutan kepulangan delegasi Jawa Barat ke Tanah Air, dan untuk lebih memberi penekanan pada publik tentang arti pentingnya upaya mereka di Moskow, Panitia Festival Daerah Jawa Barat menggagas acara “Malam Kesenian” pada 1 Oktober 1957 mulai pukul 19.30 WIB di Gedung Restoran Naga Mas depan Alun-alun Bandung. Dalam pesta ini, disajikan bermacam-macam pertunjukkan seni sebagaimana telah ditampilkan di Moskow.
Kesan Mang Koko
Abidzar Algifari Saiful, dalam kolom tentang riwayat Mang Koko, mencatat bahwa sang maestro merupakan salah satu seniman karawitan Sunda yang aktif pada dunia literasi. Selain melahirkan karya-karya musik, ia berkancah di bidang pedagogik. Saya menemukan bukti baru yang menjustifikasi pernyataan itu.
Pada Sabtu 5 Oktober 1957, surat kabar Warta Bandung memuat esai yang ditulis Mang Koko. Sebagai bagian dari rombongan kesenian yang mewakili Indonesia di Moskow, Mang Koko memberi kesan dalam bentuk tulisan panjang dan bersambung. Menurutnya, delegasi Jawa Barat kala itu tidak hanya berupaya memahami makna sebuah festival internasional, tetapi juga mengejar tiga tujuan utama.
“Pertama, kami berusaha mendapat sambutan meriah (populariteit) dari penonton agar pertunjukan kami diterima dengan antusias. Kedua, kami berharap membawa pulang medali melalui saluran kompetisi. Ketiga, [mengandung sedikit nuansa pragmatism], kami berharap meraup cukup dana untuk sekadar membeli oleh-oleh,” demikian tulis sang seniman.
Tiga tujuan itulah yang menjadi pegangan delegasi selama menjalani petualangan seni di negeri sosialis Rusia. Mereka kemudian berhasil menggelar tiga jenis pertunjukan: nasional, internasional, dan gala primer. Pertunjukan nasional berarti panggung yang dibuat delegasi Jawa Barat sendiri. Mereka merancang setiap nomor sendiri. Sementara pertunjukan internasional adalah gabungan dengan negara lain. Sebuah gotong royong global. “Kami berkolaborasi dengan seniman dari negara lain,” katanya, menciptakan harmoni lintasbudaya. Terakhir, pertunjukan gala primer adalah panggung eksklusif, di mana nomor terbaik dipentaskan untuk penonton terpilih.
Namun, menyelenggarakan pertunjukan di Moskow tidak semudah yang dibayangkan. Dalam esainya, Mang Koko bilang kalau jadwal yang telah dirancang tidak selalu ramah. Ia sering harus tampil di waktu yang tidak biasa, seperti pukul tiga sore atau sepuluh pagi. Lokasinya pun beragam, tidak terbatas pada teater megah seperti yang dibayangkan sebelum berangkat. Mereka sering kali tampil di panggung terbuka, di tengah jalanan kota yang strategis.
“Bayangkan, umpamanya seperti di parapatan lima atau parapatan Andir di Bandung. Ramai sekali dan terbuka dari segala arah,” tulis Mang Koko.
Panggung terbuka ini menjadi ujian tersendiri. Tanpa atap pelindung, delegasi Jawa Barat harus siap tampil menghadapi hujan yang seringnya turun secara mendadak dan tiba-tiba mengguyur tanpa ampun. Angin kencang pun tak jarang membuat para penari Jawa Barat, yang sering tampil – meminjam istilah Mang Koko: tanpa berbaju –, menggigil kedinginan.
Mang Koko masih ingat betapa sulitnya menjaga semangat saat cuaca tidak bersahabat. Apalagi pada saat penonton yang hadir di pagi hari kerja ternyata didominasi oleh sopir bus atau pejalan kaki yang mungkin secara kebetulan lewat. Meski begitu, antusias penduduk lokal tetap mengejutkan. Entah dari mana mereka punya waktu untuk menonton di tengah kesibukan.
Sebaliknya, pertunjukan di teater tertutup adalah pengalaman yang sama sekali berbeda. Penonton di sana adalah tamu undangan yang dipilih dengan cermat. Setiap undangan mencantumkan nomor kursi, sehingga tidak ada keriuhan berebut tempat duduk seperti yang sering ditemui di Indonesia.
Tidak ada pula penonton yang berdiri karena kehabisan tempat. Tidak ada yang merokok sembarangan, atau sekadar makan cemilan. Suasana teater begitu tertib dan tenang, semacam punya penghormatan yang mendalam terhadap seni pertunjukan.
“Saya masih ingat momen ketika kami hendak memainkan nomor kecapi-suling. Secara spontan, salah satu dari kami bertanya kepada interpreter, ‘Mana mikrofonnya, Bung?’ Interpreter itu memandang kami dengan ekspresi bingung, lalu balik bertanya, ‘Apakah kalian benar-benar membutuhkan mikrofon?’” tulis Mang Koko.
Di luar dugaan, akustik teater di Moskow ternyata begitu sempurna, ditambah dengan kebiasaan penonton yang mendengarkan dengan penuh perhatian, membuat pengeras suara sama sekali tidak diperlukan. Awalnya, Mang Koko agak ragu: bagaimana mungkin suara alat musik tradisional bisa terdengar jelas tanpa bantuan perangkat teknologi? Namun, begitu layar dibuka dan penonton menyambut dengan tepuk tangan meriah, ia tersadar: budaya penonton di sini berbeda dengan yang biasa ia temui di Indonesia.

Alat Diplomasi
Kehadiran delegasi Jawa Barat di Festival Pemuda dan Pelajar Sedunia 1957 memiliki arti penting. Mereka bukan sekadar bisa meraih prestasi. Jejak kehadiran dan pencapaian mereka menjadi panggung strategis bagi “Tiers Monde” atau negara-negara Dunia Ketiga — meminjam istilah yang diperkenalkan sejarawan ekonomi Prancis Albert Sauvy — untuk menegaskan identitas mereka di luar dikotomi blok Barat (kapitalis) dan blok Timur (sosialis-komunis).
Bagi republik yang belum lama berdiri, keikutsertaan delegasi ke Festival ini juga selaras dengan visi pemimpinnya tentang “dunia baru” yang menolak hegemoni dua blok besar. Dalam studi ekstensif tentang Konferensi Asia Afrika 1955, Wildan Sena Utama (2017, hlm. 197) mencatat bahwa Sukarno mengajukan teori Old Established Force (Oldefo) versus New Emerging Force (Nefo), di mana Indonesia memposisikan diri sebagai kekuatan revolusioner progresif yang menentang imperialisme dan kolonialisme. Dan itu terwujud di dalam karya seni yang ditampilkan delegasi Jawa Barat, seperti tembang Cianjuran dan tari topeng, yang bukan sekadar hiburan, tetapi sekaligus bentuk pernyataan.
Kesenian menjadi medium untuk menegaskan identitas nasional. Pilihan untuk menampilkan budaya daerah – yang berarti tidak tunggal – menunjukkan sikap untuk menonjolkan keragaman budaya sebagai kekuatan. Dalam konteks ini, kehadiran delegasi juga dapat dilihat sebagai upaya Indonesia untuk ikut bersolidaritas dengan negara-negara sosialis, tanpa sepenuhnya berpihak pada blok Soviet.
Delegasi Jawa Barat juga membuktikan kapasitas Indonesia untuk menyiasati keterbatasan sebagai negara yang baru merdeka. Dengan sumber daya yang minim, mereka mampu bersaing dengan delegasi dari negara-negara yang lebih mapan, seperti Finlandia (yang tercatat menghadirkan 1.400 orang peserta) dan Prancis (yang membawa 1.100 orang peserta).
Lebih jauh lagi, festival ini menunjukkan kekuatan seni sebagai alat diplomasi. Terbukti tak lama setelah menghadiri Festival Pemuda dan Pelajar ke-6 di Moskow, sejumlah seniman asal Indonesia mendapat undangan di berbagai negeri. Ia mampu menembus batas-batas bahasa dan politik, menciptakan dialog antarbangsa di tengah ketegangan Perang Dingin. Namun penting juga digarisbawahi bahwa pagelaran Festival dimungkinkan oleh adanya agenda destalinisasi dan arah baru kebijakan luar negeri yang dirancang Nikita Khruschev.
Menurut Wildan Sena Utama (lihat hlm. 178) sikap komunis terhadap negara-negara non-komunis di Asia dan Afrika berubah semenjak Stalin wafat. Rumusan tentang dua kubu dibongkar, dan gagasan zona damai dari negara-negara sosialis dan non-blok ditambahkan. Di era Nikita khruschev ini pula, Uni Soviet mengakui pemimpin borjuis nasional dan menyambut ramah kerja sama dengan negara-negara dunia ketiga yang bercita-cita untuk kemerdekaan.
Dengan demikian, patut disesali apabila momen ini kurang mendapat perhatian yang layak dalam historiografi. Padahal, “Semangat Bandung” yang diusung delegasi Jawa Barat menunjukkan peran strategis budaya dalam upaya membangun identitas nasional. Jika diletakkan dalam konteks yang lebih luas, festival ini juga memperlihatkan bagaimana seni dapat menjadi jembatan untuk mempererat persahabatan, sekaligus menegaskan bahwa Indonesia memiliki suara yang layak diperhitungkan di kancah internasional.
...
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB