Cerita Penanganan Remaja Nakal di Bandung Era 1950-an
Sebelum heboh program barak militer hari ini, pendekatan militeristik untuk menanggapi masalah "remaja nakal" pernah dilakukan pemerintah era 1950-an. Hasilnya?

Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
2 Juni 2025
BandungBergerak - Bandung pernah menjadi panggung bagi fenomena sosial yang mencuri perhatian. Kala itu pertengahan tahun 1950-an. Beberapa pihak menilai revolusi belum selesai. Masih setengah jajahan dan setengah feodal, jika mengikuti analisa kalangan termaju saat itu.
Aksi kelompok reaksioner berkepala batu, atau yang dikenal masyarakat dengan istilah “gerombolan”, semakin membuat rumit situasi. Ketika spirit kemerdekaan masih membara, upaya membangun negara turut mendapat tantangan serius: sekelompok pemuda mulai mengadopsi gaya hidup Amerika, terinspirasi oleh sosok kenamaan di layar bioskop, James Dean.
"Sebagian pelajar. Kebanyakan terdiri dari LLMTD (lugah ligeuh, makan tidur jalan) alias pengangguran," demikian laporan surat kabar Warta Bandung edisi 16 Juli 1957.
Dengan rambut disisir licin, jaket kulit, bercelana pensil, dan sikap menantang, mereka dijuluki "Cow Boy" (atau Koboy) oleh media massa. Belakangan, sebutan terhadap mereka berganti menjadi "Cross Boys", sebagai penggambaran dari ulah mereka yang dinilai menyimpang, dan kerap mengganggu ketertiban. Sejumlah laporan surat kabar menjelaskan bahwa fenomena ini bukan sekadar persoalan tren, tetapi bentuk dari pergulatan budaya di era transisi.
Tulisan ini berupaya menelusuri tindakan pemerintah dalam menangani anak-anak nakal di bawah keadaan darurat (Staat van Oorlog en Beleg/SOB) tahun 1957. Melalui penelusuran sumber-sumber sejarah, kita juga akan melihat bagaimana kenakalan remaja dipahami dan ditanggapi, tentu saja sesuai konteks sosial-politik masa itu.

Demam Amerika, Bukan Melulu di Bandung
Indonesia dalam dekade 1950-an adalah masa penuh gejolak. MC Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2009, hal. 493) mencatat bahwa sejarah Indonesia sejak tahun 1950 merupakan kisah tentang kekecewaan yang berakar dari keberhasilan mencapai kemerdekaan. Euforia bergeser menjadi tantangan ekonomi, pemberontakan daerah, dan upaya menegaskan identitas nasional.
Bandung era itu turut menjadi ladang persemaian gagasan baru yang bentuknya beragam. Masifnya peredaran subkultur Barat, lewat film-film Hollywood, bukan hanya membawa kebaruan, tapi sekaligus juga keresahan.
James Dean, dengan pesonanya bagi orang-orang, seperti dalam film Rebel Without a Cause (1955), menjadi salah satu idola kawula muda masa-masa itu. Beberapa catatan surat kabar menulis bahwa dia dipandang sebagai simbol kebebasan individu di tengah masyarakat yang menjunjung tinggi kolektivisme atau gotong royong. Bukan semata aktor.
Dan sepertinya Cross Boys juga tidak hanya meluapkan bentuk penolakan terhadap nilai-nilai tradisional. Mereka sering terlibat dalam kenakalan remaja —nongkrong hingga malam larut, mencuri kecil-kecilan, atau membuat onar di jalanan.
Terkadang konflik yang kerap memicu kekerasan, membuat remaja dari satu daerah ragu mengunjungi kerabat yang bermukim di wilayah lain. Ini jelas sebagaimana pengakuan seorang mantan Cross Boys, yang dimuat di laman Bandung Variety dengan judul Geng Motor Remaja/Cross Boys dalam Sejarah Kota Bandung (dikutip Senin, 19 Mei 2025):
"Pertanyaan khas 'budak mana?' (anak mana?) sering menjadi pemicu intimidasi, terutama jika remaja tersebut berasal dari daerah yang sedang berseteru dengan wilayah yang dikunjungi. Saya sendiri, yang saat itu masih remaja, punya perasaan 'ngeper' [dibaca: was-was] ketika harus berenang di Centrum (Kolam Renang Tirtamerta), yang dikenal sebagai 'wilayah kekuasaan' Patoradhos, sementara saya tinggal di sekitar Buah Batu."
Sebuah laporan dalam Warta Bandung tanggal 12 November 1957 juga menggambarkan keresahan eksistensi Cross Boys dengan jelas. Seorang ayah keturunan Tionghoa berinisial OGT, berusia 50 tahun, menyerahkan anaknya, ONP (17 tahun), ke pihak polisi. Pokok masalahnya, ONP telah meninggalkan sekolah, menolak nasihat orang tua, dan kerap membawa teman-teman yang sama nakalnya untuk menginap di rumah, hingga mengganggu ketenangan keluarga.
Tindakan OGT mencerminkan keputusasaan sekaligus kecemasan sosial yang lebih luas: generasi muda, yang diharapkan menjadi pilar bangsa, justru terjerumus dalam perilaku menyimpang. Namun tindak-tanduk Cross Boys ini tidak bersifat politis. Berbeda halnya dengan gerakan mahasiswa di Amerika era 1960-an yang terang memiliki agenda ideologis.
Dengan demikian, gejala ini hanya ekspresi kultural, atau juga – saya punya kesimpulan sementara bahwa ini merupakan – bentuk keinginan untuk menonjol di tengah tekanan sosial dan ekonomi pascakolonial. Pasalnya, pada bulan Agustus-September-Oktober 1957, seluruh rakyat wilayah Jawa Barat sedang menghadapi krisis beras, yang menurut penjelasan Johanes Leimena (wakil Perdana Menteri III di kabinet Juanda), dipicu oleh peraturan Penguasa Militer Teritorial III mengenai penggilingan Padi dan larangan mengangkut beras dari satu daerah ke daerah lain (Warta Bandung, 8 Oktober 1957)
Namun, di mata pemerintah, kenakalan mereka bukan sekadar persoalan remaja, tetapi ancaman terhadap tatanan sosial. Sebagai konteks, pada 14 Maret 1957, pemerintah telah memberlakukan SOB untuk menangani pemberontakan daerah dan ketidakstabilan politik. Dalam kondisi darurat ini, militer – yang mengawasi kepolisian – mendapat kuasa besar untuk mengatur kehidupan publik, termasuk mengatur distribusi beras di Jawa Barat dan menertibkan anak-anak muda yang kemudian dikenal sebagai Cross Boys.
Jika ditilik lebih luas, Cross Boys juga sebetulnya bukan fenomena unik khas Bandung, tetapi bagian dari gelombang budaya Barat pasca-Perang Dunia II. Bergaya dengan memakai jaket kulit, celana pensil, dan rambut ala Elvis Presley atau James Dean, mereka berupaya mengadopsi estetika barat yang dimaknai sebagai kebebasan. Namun, secara masif – saya ulang, sekali lagi, bukan hanya Bandung – mereka juga muncul di beberapa daerah.
Di Medan, anak-anak nakal bergaya hidup barat juga diberi tindakan tegas. Menurut Kolonel Sugiarto, sebagaimana tercatat dalam surat kabar Indiesche Courant voor Nederland yang terbit 8 November 1957, upaya tersebut akan terus dilanjutkan demi keselamatan publik. Di Jakarta, seperti dikutip dari surat kabar Java Bode yang terbit 13 November 1957, Major Dachjar melarang anak-anak muda untuk mengenakan celana jeans, yang identik dengan budaya Amerika, malah lebih jauhnya, membubarkan setiap organisasi liar yang terindikasi Cross Boys.
"Bahkan terdapat beberapa anggota perempuan. Mereka disebut Cross Girls," tulis laporan Java Bode, 13 November 1957.
Di balik stigma terhadap penampilan, seperti pelarangan celana jeans, perilaku Cross Boys memang tercatat menimbulkan masyarakat resah. Meski demikian, kenakalan yang dilakukannya ini lebih cenderung sporadis dan tidak terorganisasi, berbeda dengan tindakan kriminal biasa, atau misalnya, gerakan bersenjata. Pendeknya, fenomena Cross Boys lebih terlihat sebagai bentuk dari ketegangan antara tradisi dan modernitas.
Masyarakat Indonesia saat itu masih kuat memegang nilai-nilai kolektif. Sentimen terhadap segala hal berbau Barat sedang berada di puncak. Sebaliknya, gaya hidup Cross Boys, sekali lagi saya ulang, menonjolkan individualisme. Tentu saja perilaku semacam ini dianggap menentang norma sosial. Kisah OGT dan ONP menjadi contoh kasus bagaimana keluarga merasa kewalahan menghadapi perubahan perilaku generasi muda, yang tidak lagi patuh pada otoritas tradisional.

Baca Juga: KISAH WABAH INFLUENZA 1957 DI BANDUNG DAN SEKITARNYA #3: Solidaritas Masyarakat
KISAH WABAH INFLUENZA 1957 DI BANDUNG DAN SEKITARNYA #2: Kepanikan Masyarakat
Pendisiplinan lewat "Kursus Kilat"
Pemerintah daerah, khususnya Bandung, melalui aparat kepolisian yang saat itu ada di bawah komando militer, merespons fenomena Cross Boys dengan pendekatan yang tegas. Sebuah laporan Warta Bandung pada tanggal 20 Agustus 1957 memuat kisah tentang pendisiplinan anak nakal berjudul "Kursus Kilat Angkatan ke II untuk anak-anak Cow Boys." Saat itu Polisi menangkap 14 pemuda dari wilayah Seksi I dan Seksi II Bandung, yang terlibat dalam berbagai aksi meresahkan seperti keributan atau vandalisme.
Mereka rata-rata berusia 17 tahun, meski ada pula yang berusia 25 tahun. Menariknya, para pelaku bukan pemuda putus sekolah. Mayoritas, sebagaimana tercatat di surat kabar, adalah siswa dari sekolah ternama seperti SMP Erlangga, SMP Muslimin, dan SMA BUR.
"Kursus Kilat ini merupakan program rehabilitasi selama sebulan. Dan ini dijalankan oleh Kepolisian bagian susila. Peserta wajib melapor ke unit reserse kriminal (Reskrim) setiap dua minggu, tiba tepat pukul 07.00 pagi," tulis laporan surat kabar Warta Bandung, 20 Agustus 1957.
Mereka juga mengikuti pelajaran kerohanian yang diberikan langsung oleh polisi, bertujuan menanamkan nilai moral dan tanggung jawab sosial. Di akhir program, mereka menandatangani surat perjanjian untuk tidak mengulangi perbuatan nakal. Jika melanggar, ancaman serius menanti: pengasingan ke "Boys Town", istilah untuk tempat penahanan atau pembinaan anak nakal.
Kita bisa melihat film Detik-detik Berbahaja (1958), yang disutradarai oleh Turino Djunaidi, untuk sekadar memberi gambaran upaya penanganan kenakalan remaja Cross Boys pada era 1950-an, melalui pendisiplinan ala militer. Awalnya, para remaja menunjukkan resistensi terhadap metode ini. Namun seiring waktu, mereka mulai menjalin ikatan persahabatan dan menyadari nilai-nilai penting dalam kehidupan.
Puncaknya, di penghujung pendidikan, mereka berbaris dengan penuh kebanggaan, diiringi gemuruh pesawat terbang, dentuman senapan mesin, dan laju kapal di laut, menciptakan suasana yang epik dan mengesankan (Film Indonesia, 2015).
Pendekatan ini menunjukkan dua segi. Di satu sisi, Kursus Kilat mengakui bahwa Cross Boys bukan penjahat kelas kakap, tetapi sekumpulan remaja yang sedang tersesat di tengah pergeseran zaman. Pelajaran kerohanian dan perjanjian untuk tidak mengulangi perbuatan, juga menjadi penanda bahwa ini merupakan suatu upaya untuk membawa mereka kembali ke jalan yang benar, sesuai dengan ikhtiar penanaman adab ketimuran.
Di sisi lain, pendekatan tegas dengan corak militeristik – ditambah ancaman Boys Town – menggambarkan intoleransi terhadap penyimpangan. Dalam konteks SOB, Cross Boys menjadi target sasaran untuk menunjukkan otoritas negara.

Antara Pembinaan dan Otoritarianisme
Kursus Kilat memicu pertentangan serius dalam menangani kenakalan remaja: bagaimana menyelaraskan pembinaan dengan upaya untuk melakukan kontrol?
Program ini jelas menawarkan struktur disiplin, yang bisa membantu remaja seperti kasus ONP sebelumnya, yang keluarganya merasa tidak mampu mengendalikan perilaku anak-anak sendiri. Pelajaran kerohanian juga menunjukkan upaya untuk menanamkan nilai-nilai positif, seperti tanggung jawab dan moralitas, yang tentu penting di tengah pembangunan identitas nasional. Namun, pendekatan ini bukan tanpa cela. Ia menuai kritik sejumlah kalangan.
Seorang penulis kolom bernama Hosein (tidak ada predikat jelas, namun dicatat sebagai warga negara biasa yang mencintai pemudanya) menulis esai bersambung di surat kabar Warta Bandung pada Senin, 11 November 1957. Ia menguraikan pandangannya mengenai persoalan anak-anak nakal, dengan membandingkan kecenderungan keluarga elite borjuis dan keluarga proletariat yang lebih berpotensi membuat kenakalan remaja menjadi mungkin – sebab waktu mereka untuk berkumpul dengan anak-anak sangat terbatas. Ia kemudian juga menawarkan sejumlah solusi yang diharap bisa menyelesaikan masalah yang saat itu dirasa cukup pelik: (1) Program Wajibbela dan Dinaskerja, (2) Perubahan sistem pendidikan dan pengajaran, (3) Politik kebudayaan negara, (4) Kontrol film, (5) Kepanduan, (6) Tempat bermain dan olahraga diperbanyak, (7) Hobby-club, dan (8) Pengadilan anak-anak.
Deretan solusi ini bisa dilihat sama-sama. Masih ada semacam tendensi pendisiplinan yang tentu memiliki kelemahan yang cukup signifikan. Pertama, fokus pada disiplin militeristik cenderung mengabaikan akar masalah kenakalan Cross Boys. Boleh jadi mereka mungkin bukan sekadar nakal, tetapi sekadar krisis identitas akibat benturan budaya Timur dan Barat, serta tekanan sosial-ekonomi pascakolonial. Pengaruh James Dean, misalnya, menawarkan ruang ekspresi bagi pemuda yang merasa terkekang oleh norma tradisional, namun rupanya pemerintah tidak berupaya memahami situasi ini.
Kedua, ancaman pengasingan ke Boys Town berisiko memperdalam stigma dan alienasi, membuat remaja merasa dihakimi ketimbang dibimbing dengan penuh pengertian. Ketiga, pendekatan otoriter ini memperkuat narasi bahwa pemuda adalah persoalan yang perlu diatasi, bukan potensi yang harus diarahkan.
Meski catatan historis juga menunjukkan Kursus Kilat berhasil menekan kenakalan Cross Boys untuk sementara, saya belum menemukan sejumlah laporan surat kabar yang mencatat apakah para peserta benar-benar berubah atau hanya menyesuaikan diri untuk menghindari hukuman. Yang jelas, dukungan otoritas lewat SOB memberikan militer kekuasaan luas, memastikan kepatuhan peserta. Dengan demikian, keberlanjutan dampaknya patut digali lebih dalam.
Tanpa dukungan konkret – seperti akses pendidikan yang layak, pekerjaan yang memadai, atau lingkungan masyarakat yang kondusif – saya kira perubahan perilaku, kemungkinan, hanya bertahan sementara. Dan itu jelas. Sejauh ini belum ditemukan kisah sukses mengenai upaya pendisiplinan yang dicanangkan negara.

Hikmah dari Cross Boys
Kisah Cross Boys adalah sebuah bentuk dari dinamika sosial pascakemerdekaan. Perilaku mereka, yang salah satunya dipicu oleh pengaruh tokoh-tokoh Barat seperti James Dean, adalah respons yang dipilih sebagian anak-anak muda terhadap perubahan zaman (untuk pembahasan lebih rinci mengenai Cross Boys, rencananya akan dilakukan belakangan).
Sayangnya, pemerintah memutuskan bertindak melalui Kursus Kilat dan berbagai kecenderungan yang lebih mengutamakan kontrol daripada pemahaman. Program ini menunjukkan upaya untuk mendisiplinkan pemuda, tetapi kurang menangani akar masalah, seperti krisis identitas atau tekanan sosial-ekonomi. Kisah Cross Boys juga memberikan kita arti bahwa kenakalan remaja bukanlah sekadar guncangan terhadap tatanan sosial, namun juga cerminan masyarakatnya.
Usaha untuk mengarahkan pemuda, saya kira memerlukan pendekatan yang tidak hanya mengandalkan disiplin, tetapi juga empati dan peluang. Tanpa agenda semacam ini, kenakalan remaja hanya akan berganti wajah, dari Cross Boys ke bentuk lain, sementara potensi mereka sebagai pilar masa depan bisa terabaikan. Dan jika ada kesamaan cerita dengan apa yang dialami saat ini, barangkali itu kebetulan semata.
Sebab, jelas saja konteksnya berbeda secara signifikan. Di era 1950-an, Cross Boys muncul di tengah pergulatan budaya dan Perang Dingin, dengan Barat sebagai aktor utama. Sementara kenakalan remaja masa kini sering dikaitkan dengan efek media sosial, dan lemahnya pengawasan keluarga. Jika pun dianggap serupa, mungkin itu sebuah penanda bahwa kita tidak beranjak kemana-mana.
...
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB