• Kolom
  • KISAH WABAH INFLUENZA 1957 DI BANDUNG DAN SEKITARNYA #2: Kepanikan Masyarakat

KISAH WABAH INFLUENZA 1957 DI BANDUNG DAN SEKITARNYA #2: Kepanikan Masyarakat

Kepanikan menjalar hampir ke seluruh daerah di Indonesia. Di Jawa Barat, wabah influenza 1957 telah menimbulkan ketegangan (dan kebingungan) di tengah masyarakat.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Surat kabar Warta Bandung yang terbit pada hari Selasa 11 Juni 1957 memuat penjelasan dr. Lie Tjwan Sien, seorang ahli kesehatan dari Fraksi Baperki, mengenai penyebaran Wabah Influenza. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

5 Mei 2025


BandungBergerak.id – Di tulisan sebelumnya, telah disinggung tentang bagaimana proses awal kemunculan wabah influenza di Indonesia dan upaya pemerintah daerah Kota Bandung dalam menanggulangi penyakit yang muncul pada tahun 1957 tersebut. Banyak hal yang tercatat dalam surat kabar yang terbit saat itu. Salah satunya, dinamika panic buying, yang terjadi pasca merebaknya wabah influenza

Muhammad Fakhriansyah, dalam studi berkepala Asian Flu Pandemic in Indonesia, 1957: Government and Public Response, menjelaskan bahwa panic buying orang-orang disebabkan oleh minimnya informasi yang bisa dipercayai. Upaya penanganan wabah influenza kacau-balau. Sebagian memborong vitamin C, obat penangkal rasa sakit, dan buah-buahan dengan jumlah yang banyak. Yang terjadi selanjutnya mudah diduga.

Keadaan ini membuat obat-obatan dan bahan makanan menjadi langka. Harga semakin meroket. Padahal, studi lebih lanjut menunjukkan bahwa semua barang yang laku di pasaran itu tidak terbukti efektif mencegah wabah influenza.

Pada 28 Mei 1957, satu laporan surat kabar menunjukkan informasi bahwa sejumlah masyarakat berbondong-bondong mendatangi apotek di seluruh penjuru Palembang Sumatera Utara. Walhasil, itu membuat pasokan vitamin C di semua apotek terjual habis. Selain itu, sebagian orang juga berebut memborong buah jeruk.

Mereka meyakini kalau buah jeruk ampuh menopang daya tahan tubuh, karenanya bisa juga mengusir influenza. Namun sejumlah juru warta mengatakan bahwa ada oknum yang bermain dan memanfaatkan situasi tersebut dengan cara menimbun barang untuk dijual dengan harga tinggi. Dan ini bukan satu-satunya persoalan. Sekarang kita mengajukan pertanyaan, apa yang timbul dan mencuat di tengah masyarakat Jawa Barat setelah munculnya wabah?

Tentu saja setiap daerah tidak memiliki persoalan yang sama persis. Namun yang pasti, ada banyak kalangan yang terdampak. Sekurang-kurangnya ada dua persoalan yang mencuat. Pertama, wabah influenza menjangkiti pelajar dan pekerja. Kedua, adanya pihak yang berupaya mengambil keuntungan sesaat. Tulisan ini berupaya menunjukkan informasi yang terkait dengan keduanya.

Baca Juga: Omong-omong soal Buku Teks Sejarah
Ketika Pramoedya Ananta Toer Terkena Dampak Efisiensi Anggaran
KISAH WABAH INFLUENZA 1957 DI BANDUNG DAN SEKITARNYA #1: Awal Mula

Aktivitas Pendidikan Terhambat

Pada 28 Juni 1957, sebagaimana dipetik dari laporan surat kabar Warta Bandung yang memuat pemberitaan mengenai wabah influenza di berbagai wilayah Jawa Barat, banyak murid yang terhambat melaksanakan kewajiban pembelajaran. Tercatat bahwa 133 orang murid telah terkena penyakit, karenanya tidak bisa masuk sekolah. Keterangan itu dimuat dalam laporan berjudul "Murid Sekolah Rakyat (SR) Gunungsari diserang Wabah Influenza".

Hari itu, juga sekaligus menjadi penanda bahwa media massa di Jawa Barat mulai gencar mewartakan wabah influenza. Kita bisa dengan mudah menemukan berita semacam itu sejak awal bulan Juni 1957. Di waktu yang sama, dalam laporan berjudul "Guru di Lembang Kena Flu", tercatat pula bahwa sebanyak tiga orang guru terpaksa tidak bisa menjalankan tugas seperti biasa.

Berhubungan dengan penyebaran wabah influenza yang kian masif, sebanyak 40 siswa di sekolah rakyat Lembaga tersebut juga tidak dapat masuk kelas. Ada semacam proses sakit yang mungkin sangat berat bagi setiap penderitanya, tak terkecuali pelajar. Mereka harus menghadapinya dari hari ke hari, yang kemudian mengakibatkan terhentinya rutinitas belajar di sekolah.

Pemberitahuan redaksi surat kabar Warta Bandung  edisi 28 Juni 1957 atas keterlambatan pengiriman kepada langganan. Banyak pekerja koran tersebut yang juga terkena serangan Wabah influenza. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)
Pemberitahuan redaksi surat kabar Warta Bandung edisi 28 Juni 1957 atas keterlambatan pengiriman kepada langganan. Banyak pekerja koran tersebut yang juga terkena serangan Wabah influenza. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

Juru Warta Tersendat

Wabah influenza tidak hanya membuat aktivitas pelajar dan guru-guru terhambat. Namun pekerjaan para jurnalis juga ikut tersendat. Di Jakarta, beberapa pekerja surat kabar Antara terpapar wabah influenza. Sejumlah awak redaksi surat kabar Warta Bandung juga ikut tumbang dihantam wabah influenza yang kian ganas setiap harinya.

Kita bisa menemui keterangan mengenai hal itu di dalam laporan berkepala "Untuk Para Langganan" di halaman pertama, edisi 28 Juni 1957. Menurut laporan tersebut, banyak loper Warta Bandung yang turut menderita sakit, dan membuat pelayanan kepada para langganan menjadi terganggu. Saat itu, mereka terpaksa mengirimkan sebagian surat kabar yang telah dipesan lewat pos.

Menindaklanjuti persoalan itu, redaksi surat kabar Warta Bandung juga meminta maaf atas adanya force majeure yang sedang menimpa umat manusia seluruh dunia umumnya warga Jawa Barat. Mereka juga memohon kepada para langganan agar menyediakan waktunya untuk mengambil sendiri surat kabar Warta Bandung di kantor yang letaknya di Jalan Naripan I.

Surat kabar Warta Bandung pada hari Jumat 14 Juni 1957 menurunkan laporan yang memuat keterangan dari pimpinan Dinas Kesehatan Kota yang saat itu dijabat dr. Admiral Surasetja. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)
Surat kabar Warta Bandung pada hari Jumat 14 Juni 1957 menurunkan laporan yang memuat keterangan dari pimpinan Dinas Kesehatan Kota yang saat itu dijabat dr. Admiral Surasetja. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

Warga Frustasi

Kepanikan menjalar hampir ke seluruh daerah di Jawa Barat. Banyak dari penderita influenza mengalami rasa frustrasi. Bahkan ada satu warga yang memiliki kehendak untuk bunuh diri. Sebuah informasi yang termaktub dalam rubrik Selajang Pandang, dengan judul "Sukabumi: Hampir Bunuh Diri Karena Influenza."

Kala itu redaksi Warta Bandung menayangkan laporan mengenai penderita influenza yang putus asa. Pokok laporan tersebut berkisah tentang seorang perempuan yang frustrasi. Ia kemudian memiliki niat untuk melakukan bunuh diri. Namun kehendak itu berhasil digagalkan sang suami. Berikut saya kutip laporan tersebut secara utuh:

"Baru-baru ini di Sukabumi seorang wanita bernama S hampir membunuh diri karena penyakit influenza yang dideritanya. S waktu malam yang karena pusing tidak dapat tidur dan selama itu penjakitnya tidak mendapat perhatian dari sang suami, telah keluar yang kemudian mau nekat mencemplungkan diri kedalam sumur yang dalam, tapi masih untung karena suaminya yang memang dari tadi mengikutinya dapat mencegah perbuatannya." (Warta Bandung, 20 Juni 1957)

Pada 22 Juni 1957, surat kabar Warta Bandung menurunkan laporan mengenai data korban yang terkena Wabah Influenza. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)
Pada 22 Juni 1957, surat kabar Warta Bandung menurunkan laporan mengenai data korban yang terkena Wabah Influenza. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

Buruknya Koordinasi

Wabah influenza telah menimbulkan ketegangan (dan kebingungan) di tengah masyarakat. Akibatnya, mereka berusaha menghadapi wabah yang menghadang dengan segala cara, mulai dari menggunakan pengobatan tradisional hingga bertindak sesuai keyakinan dan adat istiadat. Selain itu, kegagalan tersebut juga berdampak pada munculnya kesalahan informasi. Sebagaimana telah disinggung di muka bahwa ada pula yang mencari keuntungan di tengah suasana pandemi yang semakin mencekam.

Kenyataan itu terbukti di Bandung. Dalam satu laporan Warta Bandung berjudul "Dokter prakter bisa tarik duit Rp. 3000 sehari", tercatat polemik yang hadir saat itu. Sebuah laporan bernada serangan terhadap perilaku oknum tenaga ahli kesehatan di surat kabar muncul. Mereka berupaya memihak di sisi warga yang mengeluh. Berikut laporannya secara utuh:

"Apa yang patut dikemukakan ialah penerimaan duit yang banyak sekali diterima oleh para dokter dari para penderita itu. Demikianlah menurut laporan-laporan yang diterima redaksi Warta Bandung, seorang dokter bisa tarik duit sebanyak tidak kurang Rp. 3000 sehari."

Polemik tidak berhenti sampai di sini. Saat itu, sejumlah jurnalis juga mengecam tindakan oknum yang melebih-lebihkan data penderita influenza. Berdasar keterangannya, saat itu tidak sedikit otoritas kesehatan yang melebih-lebihkan jumlah penderita influenza. Tujuannya jelas. Sekadar memenuhi kepentingan ekonomi. Berikut laporannya:

"Ada seorang dokter yang seolah-olah berpraktek seperti seorang pedagang dimana sebelum si penderita itu diobati terlebih dahulu ditanya apakah ia bawa dan sanggup bayar sebanyak Rp. 50 untuk satu kali suntik influenza. Jika tak berani jangan berobat kesini, dan dengan demikian ia telah banyak menyakiti orang yang menjadi korban influenza itu."

Upaya Pencegahan

Sebetulnya sempat ada wacana serius untuk menekan penyebaran penyakit. Seandainya memiliki kehendak politik, pemerintah kota sangat mungkin untuk mengambil opsi karantina berdasarkan Staatsblad 1911 Nomor 277 tentang Karantina Ordonantie Staatsblad 1911 Nomor 299 tentang Epidemie Ordonantie. Namun sependek yang saya temui di sejumlah surat kabar, utamanya Warta Bandung, nyaris tidak ada upaya dari pemerintah daerah Jawa Barat dan sekitarnya untuk melaksanakan mandat tersebut.

Tidak sedikit pula dari mereka yang memilih langkah untuk membiarkan penyakit itu menyebar secara luas dan fokus pada pengobatan warga yang terpapar wabah. Sikap semacam ini sebetulnya sejalan dengan pemerintah pusat yang juga tidak memutuskan penerapan karantina wilayah. Muhammad Fakhriansyah, dalam studi berkepala Asian Flu Pandemic in Indonesia, 1957: Government and Public Response, mencatat bahwa fokus utama pemerintah adalah mengobati gejala pasien (kuratif), bukan menghentikan penyebaran virus (pencegahan).

Kementerian Kesehatan saat itu meyakini bahwa kebijakan preventif seperti karantina menjadi sia-sia karena dianggap tidak dapat membendung penyebaran virus. Ironisnya, kebijakan kuratif yang dicanangkan juga cenderung lamban. Persoalan utamanya adalah keterlambatan pemberian obat, disparitas jumlah dokter antar daerah, dan kurangnya rumah sakit dan poliklinik yang dikelola pemerintah.

"Sepertinya Kementerian Kesehatan juga gagal memahami bahwa jumlah penderita bukanlah semata persoalan statistik," tulis Muhammad Fakhriansyah.

 

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Yogi Esa Sukma Nugraha, atau artikel-artikel lainnya tentang sejarah  

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//