• Kolom
  • KISAH WABAH INFLUENZA 1957 DI BANDUNG DAN SEKITARNYA #1: Awal Mula

KISAH WABAH INFLUENZA 1957 DI BANDUNG DAN SEKITARNYA #1: Awal Mula

Sejarah mencatat wabah influenza dengan sebutan Flu Asia 1957. Ia mengacu pada titik awal penyebarannya yang bermula dari Asia.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Salah satu laporan yang muncul di dalam Majalah Merdeka no. 22, terbit 1 Juni 1957. Sejak masifnya penyebaran Wabah Influenza, Majalah yang terbit Mingguan ini turut melaporkan secara rutin informasi tentangnya. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

23 April 2025


BandungBergerak.id – Sejumlah persoalan dihadapi Republik Indonesia sepanjang tahun 1950-an. Gejolak politik merenggangkan relasi pusat dan daerah. Sebuah ujian cukup berat, dan menguras banyak sumber daya. Ada pula satu peristiwa pilu yang muncul tepat di tahun 1957. Kala itu wabah influenza menjalar, dan dikenal sebagai pandemi kedua di dunia setelah Flu Spanyol 1918.

Sejarah mencatat wabah influenza ini kelak disebut juga dengan Flu Asia 1957. Suatu penamaan yang tentunya bukan tanpa alasan. Ia mengacu pada titik awal penyebarannya yang bermula dari Asia.

Tak perlu waktu lama. Informasi menyoal wabah influenza menjalar ke seluruh dunia. Pada tanggal 23 Mei 1957, WHO mengumumkan bahwa virus varian baru akan segera menyebar. Nahas, upaya WHO terlambat. Wabah influenza telah menyebar ke seluruh dunia, dan banyak negara belum siap menghadapinya.

Secuplik informasi yang dipublikasikan Sino Biological menyebut bahwa wabah influenza ini berasal dari mutasi unggas liar yang berkombinasi dengan galur manusia. Secara ilmiah, ia dinamai dengan virus H2N2. Tatkala virus ini menyerang, umumnya pengidap mengalami gejala seperti batuk, nyeri otot, demam, dan komplikasi, kejang, gagal jantung, atau Pneumonia (radang paru-paru/bronkitis). Sejumlah media massa gencar memuat pemberitaan menyoal wabah influenza tersebut.

Surat kabar Throuw, yang terbit pada 19 November 1958, mencatat bahwa di Belanda, sebanyak 1.230 penderita influenza meninggal dunia. Pengumuman ini disampaikan secara resmi oleh dokter MF Polak di Leiden, yang juga menjelaskan bahwa wabah influenza menghantam Eropa antara bulan Januari dan Maret 1957. Ada pula informasi seputar tempat yang diduga menjadi episentrum wabah influenza.

Sebagian menyebut Guizhou, sebuah Provinsi yang terletak di China Barat Daya. Sebagian lagi mengatakan wabah influenza ini bermula di Provinsi Yunnan. Jelasnya, wabah influenza kemudian menyebar ke Singapura pada bulan Februari 1957, mencapai Hong Kong pada bulan April, dan Amerika Serikat pada bulan Juni, dengan jumlah korban tewas sekitar 69.800 orang.

Belum diketahui dengan pasti kapan wabah influenza ini masuk ke Indonesia. Muhammad Fakhriansyah dalam studi ekstensif berkepala Asian Flu Pandemic in Indonesia, 1957: Government and Public Response, menyebut bahwa Minggu terakhir bulan April 1957 adalah awal dari kemunculan wabah influenza di sejumlah daerah semisal Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan beberapa wilayah lainnya. Menurut penelusurannya, arus pergerakan manusia yang masif, dan melalui berbagai moda transportasi, itu memungkinkan orang datang dari negara yang telah terjangkit virus, karenanya membuat wabah influenza menyebar dengan cepat di Indonesia.

Lie Tjwan Sien, seorang ahli kesehatan, juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta Raya (DPRD Provinsi) dari fraksi Baperki, mengatakan bahwa tepat pada tanggal 17 Mei 1957, pasien pertama influenza datang kepadanya. Saya kira ini pula yang menjadi penanda bahwa Republik Indonesia mulai diserang wabah influenza yang kala itu telah menerjang seantero dunia. Menurutnya lebih lanjut, seperti tercatat dalam surat kabar Warta Bandung yang terbit pada Selasa 11 Juni 1957, wabah influenza itu bermula dari sebuah kuman yang sangat kecil, sehingga mampu menembus saringan filter, dan tidak bisa dilihat menggunakan mikroskop biasa.

Melalui selaput lendir yang ada pada organ pernapasan, penyebaran wabah influenza kian meluas. Harian Indonesia Raya yang terbit pada hari Senin 27 Mei 1957, memuat pernyataan Jazir Datuk Mudo, seorang Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Tengah (sebelum pemekaran mencakup Jambi, Riau, Sumatera Barat dan Kepri sekarang). Ia menerima laporan mengenai penyebaran wabah influenza di wilayah Pekanbaru, Tanjung Balai, Bengkalis, dan Rengat pada pertengahan bulan Mei 1957. Ia lantas menganjurkan publik di sekitar wilayah itu untuk menghindari kerumunan di bioskop dan tempat umum lainnya.

Seiring waktu, angka penderita influenza pun terus-menerus bertambah. Di Medan, para dokter RSUD Medan mengadakan rapat untuk membuat rencana tindakan preventif dalam mencegah penyebaran penyakit. Di Jakarta, sejumlah pekerja surat kabar Antara terpapar wabah influenza, dan itu cukup membuat pekerjaan para juru warta tersendat. Beberapa kabar juga menunjukkan bahwa sebagian masyarakat kesulitan mendapatkan vitamin C, yang memaksa Walikota Sudiro untuk turun tangan. Ia lalu berinisiatif merancang "gerakan pembagian obat".

Situasi terlihat semakin gawat usai surat kabar Indonesia Raya memuat penjelasan Haji Ali Akbar, seorang pakar dari fraksi Masyumi. Menurutnya, pada saat Minggu-minggu pertama di Jakarta, wabah influenza menyerang perkampungan padat. Namun kemudian turut pula menjalar ke permukiman elit seperti kawasan Menteng.

Ia mengusulkan pada pemerintah pusat untuk mengadakan poliklinik darurat, dibantu sejumlah dokter, mahasiswa kesehatan, dan tenaga medis yang bisa diperbantukan lainnya. Selain itu, ia juga memberi saran agar pemerintah menghentikan praktik kesehatan yang dijalankan swasta, dan diubah menjadi Balai Pengobatan Umum. Tentunya ia juga memberikan beberapa prasyarat yang harus dilalui, seperti penyediaan obat-obatan, dan mengganti kerugian dokter atau apotek partikelir/swasta tersebut.

"Wabah, walau bagaimanapun lunaknya, harus diberantas, dan ini adalah terutama kewajiban pemerintah, yang dapat mengerahkan segala tenaga yang ada untuk kepentingan rakyat," kata Haji Ali Akbar, seperti dikutip dari surat kabar Indonesia Raya yang terbit 11 Juni 1957.

Pakar sejarah kesehatan, Vivek Neelakantan, menyebut bahwa Kementerian Kesehatan menjadi garda terdepan dalam penanganan wabah influenza ini (Fakhriansyah, 2022). Namun, pada awal virus ini menjalar, belum tampak upaya pencegahan atau tindakan kuratif dari pemerintah pusat. Keadaan ini membuat pemerintah daerah bingung karena harus menentukan kebijakan tanpa arahan jelas pemerintah pusat untuk menangani wabah influenza.

Merujuk pada temuan sejumlah penelitian, sebetulnya pemerintah pusat pun dihadapkan pada posisi dilematis. Mereka ingin menekan seminimal mungkin penyebaran penyakit. Di sisi lain, pemerintah mempunyai harapan tinggi untuk meningkatkan perekonomian di republik. Kemunculan wabah influenza seolah menguji solidaritas Indonesia sebagai bangsa yang baru merdeka.

Persoalan ekonomi masih belum dapat diobati, dan berulang kali persoalan pusat dan daerah gagal menemui kesepahaman. Untungnya, untuk masalah kesehatan, kerja sama pemerintah dan warga berhasil menunjukkan hasil yang gemilang. Ini tercermin dari munculnya sikap solidaritas antar masyarakat dan bantuan yang mengalir dari pusat ke seluruh daerah tanpa diskriminasi, meski sejumlah kawasan sedang mengalami gejolak disintegrasi.

Melihat kompleksitas dan dampaknya yang memicu penderitaan bagi orang banyak, saya punya anggapan bahwa pembahasan mengenai sejarah wabah influenza ini begitu mendesak untuk dicatat. Sebab, belum banyak kisah, terutama dalam lingkup lokal, yang membahas persoalan tersebut. Tulisan ini berupaya menelusuri keterangan terkait dengan wabah influenza di Bandung dan mengulas dinamika yang timbul setelah kemunculannya.

Surat kabar Indonesia Raya yang terbit 8 Juni 1957 memuat pernyataan Dr. H. Ali Akbar, seorang ahli kesehatan dari fraksi Masyumi. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)
Surat kabar Indonesia Raya yang terbit 8 Juni 1957 memuat pernyataan Dr. H. Ali Akbar, seorang ahli kesehatan dari fraksi Masyumi. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

Baca Juga: Tegak Lurus Bersama K-poppers
Omong-omong soal Buku Teks Sejarah
Ketika Pramoedya Ananta Toer Terkena Dampak Efisiensi Anggaran

Awal Kemunculan dan Bagaimana Otoritas Menanggapinya

Pada 14 Mei 1957, muncul kabar tentang warga Singapura dan Malaya (kini dikenal sebagai Malaysia) yang terdampak wabah influenza. Ia mendapat perhatian sejumlah media di Indonesia. Misalnya Harian Merdeka (1957) yang menurunkan sebuah laporan bahwa sebanyak 12 ribu orang telah terjangkit wabah influenza, dan puluhan orang di antaranya meninggal dunia.

Kemunculan wabah influenza juga memaksa beberapa sekolah di Malaya untuk menutup kegiatan pembelajaran karena banyak siswa yang tertular. Hingga detik itu, seiring dengan pemberitaan yang kian masif, belum ada perhatian (dan upaya pencegahan) serius dari pemerintah Indonesia. Tidak ada pernyataan dari pejabat pusat mengenai wabah influenza.

Pada tanggal 26 Mei 1957, untuk pertama kali, Menteri Kesehatan dr. Azis Abdul Saleh muncul di media untuk membahas wabah influenza. Pejabat yang juga pendiri Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) ini mengatakan wabah influenza tidak lebih berbahaya dari penyakit lainnya seperti malaria, tuberkulosis, dan kusta (Fakhriansyah, 2022).

Pernyataan lainnya yang serupa dilontarkan dr. Makmun, Kepala Pusat Epidemiologi Kementerian Kesehatan. Ia adalah sekaligus utusan pemerintah yang pada tanggal 21 Mei 1957 diberi tugas untuk menyelidiki penyebaran virus influenza di Singapura. Sepulang dari Singapura, ia lantas menyampaikan informasi bahwa influenza itu tidak berbahaya.

Namun realitas aktual yang diwartakan sejumlah surat kabar saat itu menunjukkan bahwa pernyataan di atas sama sekali tidak sesuai. Tak lama usai pernyataan dimunculkan kedua pejabat publik tersebut, informasi negatif mengenai wabah influenza bermunculan di sejumlah media massa. Banyak orang, terutama anak-anak, menderita terserang wabah influenza. Laju perekonomian terhambat. Kegiatan masyarakat lainnya juga tersendat.

Surat kabar Indonesia raya yang terbit pada hari Jumat tanggal 24 Mei 1957 memuat pernyataan Dr. Pirngadi, Sekjen Kemenkes. Ia mengatakan bahwa wabah influenza telah masuk ke Kota Bandung pada 14 Mei 1957. Itu terjadi pada saat dua orang asal Medan yang kebetulan singgah di Singapura dan terkena wabah sebelum akhirnya sampai di Bandung. Pada 18 Mei telah tercatat 5 penghuni asrama dimana kedua orang Medan itu tinggal.

Pada 23 Mei 1957, tercatat bahwa jumlah penderita influenza di asrama itu bertambah menjadi 27 orang. Kemudian,  seorang inohong bernama Admiral Suraseca mengumumkan informasi penting tepat pada hari kamis tanggal 13 Juni 1957 bahwa Bandung dalam keadaan darurat wabah Influenza. Kepala Dinas Kesehatan itu menyebutkan bahwa ia telah menerima laporan mengenai bertambahnya orang sakit dari sejumlah poliklinik dan dari dokter-dokter yang berpraktik.

"Sambil mengumpulkan angka-angka yang positif, kini dapat ditarik kesimpulan memang ada tanda-tanda bahwa Bandung pun mulai terserang wabah itu," demikian keterangan Dinas Kesehatan Kotapraja Bandung, sebagaimana tercatat surat kabar Warta Bandung yang terbit Jumat 14 Juni 1957.

Itulah kisah awal wabah influenza mulai merebak ke kota Bandung. Dinas Kesehatan Kotapraja kemudian mulai  mencanangkan tindakan preventif berupa memberi tambahan waktu untuk warga yang membutuhkan pelayanan Balai Pengobatan. Selain itu, mereka mengajukan pada Kementerian Kesehatan untuk memberi tambahan obat-obatan, yang kelak bakal dibagikan secara gratis. Seiring keadaan yang semakin tak terkendali, mereka juga mulai menyerukan kepada kantor-kantor kesehatan distrik (pembagian administratif setingkat kecamatan) Tegallega, Karees, Cibeunying, Bojonagara, untuk segera dibentuk balai pengobatan darurat.

Ada pun upaya lainnya ialah meminta kesediaan para tenaga kesehatan, perawat, dan yang lainnya, baik dari pemerintah atau partikelir/swasta, untuk membantu Dinas Kesehatan, dan segera mendaftarkan diri masing-masing. Para dokter ahli juga diminta kesediaannya untuk memimpin poliklinik di dekat rumah masing-masing. Sementara untuk pembantu tenaga kesehatan, telah disusun pedoman untuk merawat pasien yang menderita sakit parah.

Menurut informasi yang tercatat, PMI, Ikatan Dokter Indonesia, dan PDKI (Persatuan Djuru Kesehatan Indonesia) juga telah diminta otoritas untuk memberi sumbangsihnya. Beberapa surat kabar dan radio pun dikerahkan terutama untuk penanganan dan menyuarakan pola hidup sehat kepada masyarakat luas. Ini bisa dilihat pada satu laporan surat kabar Warta Bandung yang terbit hari Sabtu 15 Juni 1957.

Kala itu, informasi yang disiarkan redaksi menunjukkan bahwa sudah banyak dan hampir setiap rumah telah diterjang wabah influenza. Meski jumlah korban secara presisi belum bisa diketahui dengan pasti, tetapi ada satu indikasi yang bisa membuat orang mengambil kesimpulan sementara bahwa saat itu dokter-dokter mulai kedatangan pasien dengan jumlah lebih banyak dari sebelumnya. Antrian untuk pembelian obat di sejumlah apotek juga padat. Tak jarang warga harus menunggu beberapa waktu yang lama, atau bahkan kehabisan, dan terpaksa resepnya kembali dibawa pulang.

"Ada [dokter-dokter] yang bersedia dipanggil hingga larut malam. Padahal dirinya baru bisa mengaso. Namun paginya harus kembali ke praktek karena telah ditunggu pasien dengan jumlah banyak," tulis laporan di koran Warta Bandung, yang terbit pada hari Sabtu tanggal 15 Juni 1957.

Kian hari Dinas Kesehatan Kotapraja Bandung kian sibuk mengatur dan mengerahkan tenaga kesehatan. Jumlah buruh yang terpaksa untuk tidak masuk kantor pun telah meningkat. Dinas Kesehatan lalu menyerukan kepada para dokter agar teliti memberi obat –hanya bagi yang menderita komplikasi. Upaya ini dilakukan dalam rangka penghematan, atau efisiensi.

Menurut laporan surat kabar Warta Bandung yang terbit hari Sabtu tanggal 15 Juni 1957, otoritas pun meminta perhatian rakyat untuk menjaga kondisi badan (makan dan istirahat yang cukup), serta menghimbau agar mengurangi kegiatan di malam hari jika dinilai tidak terlalu mendesak. Namun sepertinya himbauan dari pemerintah tidak terlalu signifikan dalam mengubah keadaan.

Pada 22 Juni 1957, salah seorang kontributor Warta Bandung di Kuningan mengabarkan bahwa hampir setiap hari ada orang meninggal karena penyakit influenza. Hingga saat itu, sebanyak 20 orang telah meninggal dunia dengan darah yang keluar dari hidung dan telinga. Laporan ini didasarkan pada apa yang terjadi di desa Langseb Kecamatan Lebakwangi.

Mayoritas penderita sakit merasakan panas dan dingin di sekujur tubuhnya. Kadang disertai pula batuk dan nyeri otot.   Kemunculan penyakit ini membuat rumah sakit dan poliklinik penuh sesak oleh pasien yang berobat. Namun, menurut keterangan pewarta, belum jelas apakah itu merupakan akibat dari wabah influenza.

"Dari pihak yang bersangkutan, dalam hal ini Jawatan Kesehatan setempat, belum tampak keaktifannya dalam mengatasi wabah penyakit di daerahnya," tulis laporan Warta Bandung yang terbit 22 Juni 1957.

Surat kabar Indonesia Raya menayangkan laporan hasil wawancara dengan Sekjen Kemenkes Dr. Pirngadi mengenai wabah influenza yang saat itu menyebar ke Bandung lewat dua orang yang sebelumnya singgah di Singapura. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)
Surat kabar Indonesia Raya menayangkan laporan hasil wawancara dengan Sekjen Kemenkes Dr. Pirngadi mengenai wabah influenza yang saat itu menyebar ke Bandung lewat dua orang yang sebelumnya singgah di Singapura. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

Jumlah Korban Terus Meningkat

Poorwo Soedarmo, selaku pimpinan Lembaga Pangan Rakyat (Lembaga Makanan Rakjat, LMR) menyampaikan sejumlah cara menghindari influenza. Menurutnya, masyarakat harus mengonsumsi makanan sesuai "4 Sehat, 5 Sempurna," dengan komposisi sebagai berikut: 1) sepiring nasi; 2) semangkuk sayuran; 3) sepotong daging dan tempe; 4) buah-buahan. LMR mengklaim jika masyarakat memenuhi porsi makannya, maka kesehatannya akan terlindungi dari berbagai penyakit, termasuk Flu Asia. LMR juga mendesak agar konsumsi vitamin C harus dibarengi dengan makanan bergizi (Fakhriansyah, 2022).

Sedikit banyak keterangan LMR berupaya menjawab soal mengenai spekulasi yang seliweran seiring masifnya penyebaran wabah influenza di berbagai daerah. Dan persoalan semua itu juga mampu diatasi dengan upaya-upaya jurnalistik. Terbukti pada tanggal 24 Juni 1957. Saat itu sejumlah surat kabar menurunkan laporan yang berisi data-data dari poliklinik dan rumah sakit. Salah satunya adalah surat kabar Warta Bandung, yang memuat keterangan yang diberi judul "Di Bandung 3837 Orang Sehari Korban Influenza". Terdapat beberapa informasi menyoal jumlah penderita wabah influenza di Bandung yang semakin hari semakin meningkat.

Sejumlah rumah sakit, poliklinik, atau dokter partikelir yang membuka praktik, terus-menerus didatangi warga yang terkena wabah influenza. Menurut perkiraan Dinas Kesehatan Kota Bandung saat itu, pasien yang terserang wabah influenza berjumlah 50 persen dari semua pengunjung rumah sakit dan poliklinik kepunyaan pemerintah. Ini belum terhitung pasien yang berobat ke rumah sakit partikelir/swasta dan dokter-dokter praktik, dan yang tidak mampu untuk berobat, karenanya terpaksa diam di rumah (Warta Bandung, 24 Juni 1957).

Situasi yang chaos ini diperparah dengan kurangnya tenaga perawat dan obat-obatan yang diperlukan para penderita influenza. Kasus semacam ini memang tercatat sebagai yang umum terjadi. Selain itu, pemerintah daerah juga tampak bimbang dalam menangani wabah influenza. Sejumlah ahli berpendapat bahwa keadaan ini disebabkan adanya kegagalan koordinasi antara pusat dan daerah (Fakhriansyah, 2022).

Kita tahu bahwa pada tahun 1950-an, situasi politik antara pusat dan daerah mengalami ketegangan. Sebuah keadaan yang berakibat fatal: kurangnya koordinasi antar Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah, yang menyebabkan terhambatnya penanggulangan wabah. Sementara itu, buah-buahan sebagai penawar rasa sakit yang diderita rakyat juga harganya semakin mahal, dan persediaan Vitamin C di apotek-apotek mulai langka. Jika ada, tentunya harus ditukar dengan harga yang sulit dijangkau mereka yang berasal dari lapisan bawah.

Dalam laporan seputar wabah influenza yang dirilis secara resmi oleh Dinas Kesehatan Kotapraja Bandung, disebut bahwa dalam sehari jumlah korban dari penyakit tersebut berkisar antara 2.158 hingga 3.837 orang. Sementara angka kematian dalam sehari sebanyak 37 orang. Pada mulanya Dinas Kesehatan Kotapraja Bandung mengelak bahwa jumlah angka kematian tersebut bukan hanya para penderita penyakit influenza.

Sebagian pihak, terutama wartawan yang memang secara bergantian meliput di lapangan, bersikukuh menyatakan bahwa korban meninggal –sebagaimana data yang diperoleh sebelumnya– tidak lain dan tidak bukan karena wabah influenza. Sejumlah pekerja surat kabar berupaya menelusuri informasi yang lebih akurat mengenai wabah influenza; mereka meluruskan kesimpangsiuran data. Namun yang ditemui kemudian adalah persoalan anyar, yakni perihal obat-obatan yang diperlukan penderita –dan penyintas– influenza.

"Dalam menghadapi wabah influenza, sangat dirasa sekali kurangnya tenaga perawat dan obat-obatan. Seorang perawat dari pagi hingga siang harus melayani ratusan pasien, sedangkan obat yang tersedia hanya beberapa Pil Kina," demikian keterangan yang diperoleh surat kabar Warta Bandung.

Sebetulnya, pada tanggal 12 Juni 1957, Direktorat Farmasi Kementerian Kesehatan telah mengirimkan obat influenza ke seluruh daerah, termasuk Bandung, Semarang, Jogjakarta, Surabaya, Padang, Medan, Banjarmasin, Makassar, dan Ambon –yang kemudian disebarkan ke kota-kota terdekat. Obat yang dikirim antara lain sulfadiazin tablet, asetosa, Pacheco, sulfaguanidin, asam salisilamida, kodein, vitamin C, dan multivitamin. Obat tersebut dikirim melalui kereta api dan pesawat terbang (Fakhriansyah, 2022).

Nahas, selain karena kedatangannya yang sudah terlambat, obat yang disediakan juga masih kurang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dan ini yang kemudian dijawab Otoritas Kesehatan di Bandung, yang menyatakan bahwa minimnya pasokan obat bukanlah suatu persoalan. Menurutnya, tiap-tiap poliklinik dan rumah sakit di Kotapraja Bandung akan disediakan sebanyak mungkin obat-obatan.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Yogi Esa Sukma Nugraha, atau artikel-artikel lainnya tentang sejarah  

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//