Tegak Lurus Bersama K-poppers
Jejak subkultur K-pop mewarnai lanskap sosial di Indonesia hingga mancanegara. Terlibat dalam protes dan unjuk rasa melawan ketidakadilan di banyak negara.
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
1 Januari 2025
BandungBergerak.id – Saya masih berupaya memahami K-pop. Mungkin belum memasuki tahap yang kerap dibilang orang sebagai snob. Selain gol Ahn Jung-Hwan ke gawang Gianluigi Buffon, Gangnam Style, dan Jungkook yang tampil apik di pembukaan Piala Dunia 2022 Qatar, memang nyaris tidak ada yang menarik perhatian ihwal apa yang timbul dari Korean Wave. Hingga suatu hari muncul satu persoalan aktual.
Beberapa hari lalu, sejumlah massa mendatangi kawasan Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Mereka tergabung bersama elemen masyarakat lainnya yang menolak kenaikan PPN 12 persen. Kamis, 19 Desember 2024, salah satu kelompok aksi yang tampak dalam barisan adalah barisan penggemar Boyband asal Korea Selatan atau yang dikenal dengan sebutan K-popers.
Sebagian orang menggenggam lightstick (perangkat yang biasa digunakan untuk menyemangati idol mereka) di tangan, seolah hendak mengemukakan identitas yang dibanggakannya. Ini tentu menjadi fenomena yang menarik perhatian. Ada semacam perasaan senang ketika melihat barisan K-popers larut dalam gerakan aksi #TolakPPN12persen.
Meskipun, kita tahu belaka bahwa benar ada sebagian pihak yang kerap memandang sebelah mata kelompok K-popers. Sandiaga Uno, pada saat masih menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia, pernah mengimbau anak muda untuk mengurangi minatnya pada Pop Korea. Ia lantas berharap agar dangdut Koplo lebih dikedepankan.
Beberapa pihak ada pula yang mencibir mereka dengan istilah pemuja plastik, mudah ditipu, konsumtif, dan halu. Dan saya kira, dalam situasi tertentu, sejumput pernyataan itu sangat mungkin keliru. Barangkali semuanya memang lahir dari pernyataan semena-mena.
Atau juga sebagai bagian dari upaya menggeneralisasi secara gampangan, yang kerap mengabaikan aspek-aspek lain secara rinci, karenanya, sungguh tak layak digenggam sebagai kebenaran pasti; seperti halnya tak semua pendukung sepakbola doyan merawat konflik sektarian, Bandung Alliance Supporter, misalnya, yang jelas menjauhi isu semacam itu.
Namun karena sebagian anak-anak saya di kelas terindikasi K-popers, maka sedikit banyak, dan besar kemungkinannya, mereka bakal terkontaminasi persoalan aktual yang bahkan hingga kini masih ramai diperbincangkan. Bisa dibayangkan bagaimana anak-anak Sekolah Menengah Atas (SMA) terlibat dalam persoalan sehari-hari; membicarakan isu pajak yang sedang hangat. Mungkin hampir bisa dipastikan mampu membuat pertukaran wacana di dalam kelas lebih ramai dan berkembang.
Dengan alasan itu, mencermati jejak subkultur K-pop –yang kini turut mewarnai lanskap sosial–menjadi punya signifikansi.
Baca Juga: Hikayat Majalah Tjenderawasih
Jalan LAIR dari Jatiwangi hingga ke Amerika Serikat
12 November 1957, Aksi Ribuan Pelajar Menolak Kenaikan Uang Ujian
Kecenderungan Baru
Merujuk pada catatan sejarah Korea Selatan, sejak dipimpin rezim militer era 60-an, sejumlah aktivis mahasiswa Korea Selatan kerap menggunakan lagu-lagu untuk mengekspresikan pandangan anti pemerintah dan sekaligus melantangkan suara-suara pro-demokrasi. Lagu ini dikenal sebagai minjung kayo (lagu rakyat).
Secara genealogis, lagu-lagu protes rakyat yang kelak mereka gubah ini dapat ditelusuri hingga ke musik folk Amerika, yang saat itu banyak diminati pemuda Korea Selatan. Namun, pada akhir tahun 80-an (tahun yang juga dikenal adanya peristiwa pembantaian Gwangju), minjung kayo tegas memuat nada yang punya kecenderungan anti Amerika, dan memuat pandangan sosialis. Jung-Min Mina Lee, dalam riset berjudul Minjung Kayo: Imagining Democracy through Song in South Korea, mengungkapkan bahwa pergeseran Minjung Kayo menjadi simbol gerakan prodemokrasi dipengaruhi watak militan yang diusung komposer Marxis Hanns Eisler.
Kenyataan itu dipertegas seorang pakar lainnya. Melalui artikel berjudul Kpop Syncs to the Politics of Protest, peneliti bernama Roald Maliangkaij mengemukakan pendapat nyaris serupa, bahwa lagu-lagu K-pop memiliki irisan dengan gerakan sosial. Ia juga menggarisbawahi bahwa sejumlah aktivis di Korea Selatan berupaya menafsirkan ulang lagu-lagu K-pop untuk menyuarakan keresahan mereka.
Semua terbukti dalam persoalan yang mencuat belakangan ini. Kita tahu bahwa beberapa waktu lalu Presiden Yoon Suk Yeol mengumumkan status darurat militer. Selasa malam, 10 Desember 2024. Para demonstran memenuhi pelataran gedung Majelis Nasional di Seoul. Sejumlah pengamat politik mengatakan bahwa aksi protes didominasi perempuan berusia 20-30-an. Banyak di antara mereka yang merupakan penggemar K-pop, dan marah atas sikap anti feminis yang diyakini Yoon, serta adanya kekerasan berbasis gender yang terjadi di Korea Selatan.
Menariknya, saat tengah melakukan aksi, mereka memutarkan lagu-lagu K-pop –bersenang-senang, berswafoto ria, meski tidak berangkat dari basis pendukung atau fandom grup musik yang sama. Singkatnya, mereka mengubah aksi protes menjadi fun. Sebuah artikel di surat kabar Guardian bahkan menggambarkan situasi di sekitar aksi massa lebih menyerupai "lantai dansa”.
"Kami ingin menunjukkan bahwa aksi protes itu tidak perlu menegangkan," kata Kwon Ji-soo, seorang demonstran yang berusia 20 tahun, seperti dikutip dari laporan Guardian berjudul South Korea Deploys K-pop Lightsticks and Dance in Protests Against President, yang rilis 11 Desember 2024.
"Negara kami sedang dilanda kekacauan. Jika kami kerap menggunakan lightstick pada saat nonton konser, mengapa tidak di sini (dalam aksi)? Saya penggemar K-pop, tetapi saya juga mendukung demokrasi."
Sudah dari waktu sebelumnya –sebagai bagian dari upaya mengorganisasi diri– mereka berbagi informasi mengenai lokasi aksi, menyediakan platform untuk memudahkan peserta aksi mengakses toilet umum, dengan lain kata, menyediakan segala perlengkapan yang berguna untuk unjuk rasa. Dan tentu saja ini bukan yang pertama.
Pada 2017, para K-popers pernah melakukan aksi protes serupa. Mereka menuntut pengunduran diri presiden Park Geun-hye, yang diduga terlibat dalam skandal suap. Setelah ditinjau lebih jauh, apa yang menjadi perbedaannya hanyalah sedikit. Pada saat itu, ekspresi politik para K-popers masih sering menyalakan lilin. Meskipun penggunaan lilin tetap ada hingga kini, tetapi, perlahan ia mulai terganti oleh lightstick.
Ini jelas merupakan suatu kecenderungan baru. Ada suatu masa ketika Gie mengirimkan seperangkat kosmetik sebagai bentuk protes kepada teman-temannya yang diangkat sebagai birokrat. Atau aksi lompat pagar Kedubes Belanda yang pernah dilakukan anak-anak muda Timor Lorosae dan PRD. Namun sekarang telah zaman berubah.
Kita memasuki era di mana single perdana Girls' Generation tahun 2007 yang berjudul Into the New World menjadi anthem wajib, dan digaungkan di tengah massa aksi. Tafsir lagu ini berkelindan dengan sebuah harapan dan perubahan akan dunia yang lebih baik dari yang kita tempati sekarang. Ini tersirat dalam salah satu liriknya yang berbunyi:
"Walking the many and unknowable paths, I follow a dim light, It’s something we’ll do together to the end, Into the new world."
Menjalar ke Berbagai Penjuru
Pada tahun 2020, K-popers di Indonesia dengan berbagai takaran turut dalam kampanye digital menolak pemberlakuan UU Cipta Kerja. Tak hanya itu, sebagian dari para K-popers juga ikut turun langsung ke jalan. Poster-poster yang dibawa oleh K-popers saat itu bahkan boleh dikatakan unik, tetapi itu sekaligus menunjukkan bahwa mereka juga punya inisiatif politik.
Dalam sebuah demonstrasi pada hari Kamis, 8 Oktober 2020, misalnya. Beberapa K-popers terpantau membentangkan poster dengan tulisan, “Cuti streaming MV K-Pop, drama DPR-RI jinjja (sangat) seru", "Kami Big Hit Stan, tapi hari ini stan ke rakyat Indonesia", atau "Ava Korea juga mahasiswa. Indonesia nomor satu, oppa nomor dua”.
Ini baru satu cerita. Di waktu yang kurang lebih berdekatan, hal serupa terjadi dalam unjuk rasa mahasiswa di Padang, yang menolak UU Cipta Kerja. Sejumlah ARMY (penggemar BTS) yang turut aksi, berinisiatif memutar lagu "Not Today" dari BTS untuk menjadi penyemangat. Sehubungan dengan itu, muncul pula berbagai aksi para fandom K-pop terhadap gerakan pro-demokrasi di Chile, yang saat itu mengutuk ketidakadilan sosial, jurang kesejahteraan, serta kegagalan pelayanan sosial.
Mereka bahkan menuntut Presiden Chile Sebastián Piñera mundur dari jabatannya. Sungguh di luar perkiraan. Konteks lebih detailnya: pada sebuah laporan yang rilis 18 Oktober 2019, mereka menggunakan platform K-pop untuk menyampaikan pesan politik ke seluruh dunia, selain memanfaatkan meme. Setelahnya, muncul inisiatif kampanye penghindaran tarif yang dikoordinasi mahasiswa di Santiago.
Eskalasi konflik kemudian meningkat. Ia berubah menjadi kerusuhan besar-besaran, dan berujung pada tindakan para demonstran yang melakukan pembangkangan; merusak infrastruktur kota dan membakar, setidaknya 11 stasiun. Sejak itu protes kian menjalar. Pada tanggal 25 Oktober, lebih dari satu juta orang turun ke jalan untuk menuntut pengunduran diri Piñera, bahkan PBB telah menyerukan pihak aparat –polisi dan tentara– untuk menghentikan kekerasan mereka terhadap massa aksi.
Pada tahun 2021, sebuah koalisi penggemar K-pop di Chili memobilisasi kampanye daring di X (yang sebelumnya dikenal dengan Twitter) untuk mendukung kandidat presiden progresif Gabriel Boric, yang akhirnya memenangkan Pemilu. Sementara di Amerika Serikat (AS), fandom BTS, yang dikenal sebagai Army, bahkan mampu menenggelamkan tagar #WhiteLivesMatter yang mencoba melawan kampanye anti-diskriminasi rasial, dan berpura-pura mendaftar tiket kampanye Donald Trump supaya acara yang digelarnya sepi.
Dan usai mencermati beberapa aksi –dari sekian banyak upaya– yang dilakukan K-popers, sudah sepatutnya untuk tidak sekadar menilik apa yang muncul di permukaan. Fakta menunjukkan bahwa mereka memang terbiasa menggumuli idolanya siang dan malam, tetapi sekaligus mampu berpijak pada soal kemasyarakatan. Di balik segala kekurangan dan ketidakmampuan, saatnya untuk menggaungkan tegak lurus bersama K-popers.
* Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan Yogi Esa Sukma Nugraha atau tulisan-tulisan lain tentang sejarah, sosial dan budaya.