• Kolom
  • Ketika Pramoedya Ananta Toer Terkena Dampak Efisiensi Anggaran

Ketika Pramoedya Ananta Toer Terkena Dampak Efisiensi Anggaran

Defisit anggaran pemerintah pada 1953-1954 berdampak pada kehidupan Pramoedya Ananta Toer. Hidupnya tertimbun utang.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Surat kabar Volkskrant tanggal 3 Februari 1984 merilis laporan tentang Pramoedya Ananta Toer. (Foto: delpher.nl)

7 April 2025


BandungBergerak.id – Sepanjang bulan kedua di tahun 2025, ada dua pokok pembahasan yang ramai dibicarakan publik: seabad Pram dan efisiensi anggaran. Satu sisi gema seabad Pram sukses mengintervensi ruang-ruang digital belakangan ini. Sementara di sisi lain, soal efisiensi anggaran pemerintah juga turut menyita perhatian khalayak.

Melihat riuhnya percakapan seabad Pram dan efisiensi anggaran, kita bisa saja mengajukan satu pertanyaan berikut. Dengan segala hal yang mewarnai dinamikanya masing-masing, adakah hubungan antara keduanya?

Jawabannya, ada. Itu terjadi pada masa lampau, terutama ketika Pram menulis untuk anak-anaknya. Bagi saya ini merupakan sesuatu hal yang luar biasa. Ceritanya begini. Sosok yang dikenal dengan nama Pramoedya Ananta Toer ini membentangkan berbagai pengalaman hidupnya, dan menceritakan kerisauan, sekaligus kebahagiaan sehari-hari, sesuatu hal yang menunjukkan bahwa ia punya banyak amunisi.

Pram menulis kumpulan surat itu pada saat mendekam menjadi tahanan politik di Pulau Buru, dan kelak tersusun dalam buku berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Jilid II (2000). Di sana Pram juga bercerita pada anaknya bahwa ia pernah terdampak efisiensi anggaran. Kira-kira terjadi sekitar tahun 1953-1954. Dan itu cukup mempengaruhi jalan hidupnya.

Surat kabar Het Parool merilis laporan pada 23 Mei 1986. Isinya mengenai serbaneka fakta tentang Pramoedya dan kebohongan yang tersiar di tengah masyarakat. (Foto: delpher.nl)
Surat kabar Het Parool merilis laporan pada 23 Mei 1986. Isinya mengenai serbaneka fakta tentang Pramoedya dan kebohongan yang tersiar di tengah masyarakat. (Foto: delpher.nl)

Baca Juga: Cerita Lampau Timnas Indonesia: Menjalin Keakraban dengan China, Menolak Tegas Kedatangan Israel, Memupus Asa ke Piala Dunia 1958
Omong-omong soal Buku Teks Sejarah
Pram dan Ode buat Kota

Kejatuhan Wilopo

Pasca pengakuan kedaulatan 1949, banyak orang menilai keadaan republik tidak lebih baik dari tahun-tahun lampau. Sebagian memandang kalau revolusi belum selesai. MC Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2009, hal. 493) mencatat bahwa sejarah Indonesia sejak tahun 1950 merupakan kisah tentang kekecewaan yang berakar dari keberhasilan mencapai kemerdekaan.

Kekecewaan itu juga dirasakan Pram. Ia mengatakan bahwa nilai uang cepat menukik. Pemerintah jadi awut-awutan (2000, hal. 199). Berbagai kerusuhan di dalam negeri melonjak, seolah sulit dikendalikan. Dalam buku teks sejarah di sekolah-sekolah, kita mengenal sejumlah nama-nama kelompok yang terlibat dalam pergolakan di sejumlah daerah seperti APRA, RMS, DI/TII.

Kriminalitas pun bermunculan. Sebagian ahli menilai keadaan ini merupakan imbas dari persoalan ekonomi. Jika boleh meminjam istilah Pram, itu tidak lain dilakukan oleh "kaum profitor yang berebutan rejeki sebagai importir-eksportir gadungan". Ia sendiri lalu memutuskan untuk menikah, dan menjalani kehidupan seperti biasa, setelah sebelumnya mengikuti dunia militer dan sempat dipenjara oleh kolonial Belanda.

"Yang kupilih di antara sekian banyak pekerjaan yang tersedia adalah Balai Pustaka. Aku jadi redaktur sastra modern Indonesia," kata Pram (2000, hal. 201).

Suatu keputusan krusial yang mengantarkannya pada serbaneka pengalaman getir. Merujuk pendapat MC Ricklefs (hal. 494), sebetulnya mayoritas rakyat Indonesia saat itu pun masih buta huruf. Dan pada masa ini, kendali pemerintahan berada di genggaman pihak nasionalis dan kalangan Islam terkemuka. Singkatnya, koalisi PNI dan Masyumi.

Waktu berjalan. Situasi politik nasional kemudian memanas. Pada 17 Oktober 1952, kalangan militer melakukan unjuk kekuatan. Mereka membawa tank-tank, menuntut Presiden, untuk membubarkan DPR. Sementara keadaan ekonomi Indonesia memburuk setelah berakhirnya Perang Korea. Antara bulan Februari 1951 dan September 1952, harga karet turun menjadi 71 persen.

Penghasilan pemerintah merosot. Pasalnya, tercatat bahwa tahun-tahun itu merupakan satu-satunya waktu di mana APBN Indonesia mengalami surplus, dan itu semua tidak bisa terlepas dari Korean Boom –salah satu komoditas yang menjadi andalan adalah karet. Penjelasan mengenai hal ini bisa dilihat di buku Edy Burmansyah yang berjudul Sejarah Kebijakan Fiskal dan Pengelolaan Utang Pemerintah (2024), terutama halaman 93.

"Aku hanya menulis, menulis, dan menulis. Tidak semua kuumumkan, lebih banyak lagi yang kubakar," kenang Pram (2000, hal. 208).

Memasuki awal tahun 1953, pendapatan negara turun menjadi Rp 7,5 miliar. Sementara kontribusi terbesar yang berasal dari penerimaan pajak, saat itu mencapai Rp 5,6 miliar. Namun hanya sebesar 8,3 persen dari total keseluruhan anggaran digunakan untuk keperluan kebudayaan (yang meliputi sektor penerangan, pendidikan, pengajaran). Keputusan politik inilah yang kelak turut berdampak pada kehidupan Pram, dan dikritik Sakirman, yang mengatakan bahwa pajak telah menjadi beban rakyat.

Juni 1953. Pram berkesempatan untuk berkunjung ke Eropa. Ia mendapat undangan selama satu tahun dari Sticusa (Stichting voor de Culture Samenewerking tussen Nederland, Indonesie en Suriname), atau suatu Badan Kerjasama antara Nederland, Indonesia, dan Suriname, yang didirikan tanggal 26 Februari 1948 di Trippenhuis, Amsterdam.

Bersama istri dan kedua anaknya, Pram berangkat. Di tengah perjalanan, kira-kira menjelang meninggalkan Perairan India, Pram mendengarkan sebuah radio. Saat itulah muncul kabar tentang jatuhnya kabinet Wilopo, digantikan kabinet baru yang dipimpin Ali Sastroamidjojo, kemudian mengangkat Mohammad Yamin sebagai Menteri PPK, yang sebelumnya dijabat Bahder Johan.

Menurut MC Ricklefs (hal. 512) kejatuhan Wilopo terjadi tak lama setelah mosi tidak percaya diajukan DPR, yang dikenal dengan mosi Sidik Kertapati. Peristiwa ini merupakan buntut dari pembunuhan lima orang petani di Tanjung Morawa pada bulan Maret tahun 1953 –kelak Agam Wispi menangkap kenyataan ini lewat puisi berjudul Matinja Seorang Petani:

Mereka berkata/yang berkuasa/tapi membunuh rakyatnya/mesti turun tahta/sebelum dipaksa!

Jika datang traktor/bikin gubuk hancur/tiap pintu kita gedor/kita gedor!

Surat kabar De Waarheid tanggal 22 September 1988 menerbitkan laporan tentang organisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang menuntut agar larangan terhadap karya-karya segera Pramoedya Ananta Toer dicabut dan nama baiknya dipulihkan. (Foto: delpher.nl)
Surat kabar De Waarheid tanggal 22 September 1988 menerbitkan laporan tentang organisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang menuntut agar larangan terhadap karya-karya segera Pramoedya Ananta Toer dicabut dan nama baiknya dipulihkan. (Foto: delpher.nl)

Kebijakan Yamin

Pada awalnya sebagian pihak menaruh harapan besar atas pergantian kabinet. Dan memang tercatat pula beberapa peninggalan Yamin yang bisa kita lihat. Seperti diungkap Sutrisno Sukoyo dalam biografi Prof. H. Muhammad Yamin S.H (1981, hlm. 101), bahwa ia merintis sejumlah pendirian universitas di sejumlah wilayah –salah satunya yang kita kenal sekarang sebagai UPI. Ketika menjadi Menteri PPK, Yamin juga tercatat memiliki perhatian terhadap kebudayaan.

Kala itu Yamin berupaya membawa pulang benda-benda bernilai sejarah yang disimpan di Negeri Belanda dan negara Eropa lainnya. Ia berhasil. Sejumlah benda bernilai sejarah seperti tengkorak Sangiran, naskah-naskah lama, dan banyak benda lainnya, dibawa pulang.

Di awal Pram punya pandangan serupa seperti yang lainnya. Ia memiliki segenggam harap dengan naiknya Muhammad Yamin menjadi menteri PPK. Ia bahkan memprediksi jika realitas politik itu akan mempengaruhi kemajuan pada bidang kebudayaan di Indonesia. Yamin diharap akan berpihak pada pekerja kreatif yang memang layak diberi penghargaan dan berbagai bantuan pemerintah.

"Kelak akan kuketahui, bahwa dugaanku meleset sama sekali, laksana bumi dan langit," kenangnya (hal. 210).

Pada tanggal 1 Januari 1954, Pram pulang dari Eropa menggunakan pesawat KLM Royal Dutch Airlines. Ia lantas segera menuju Balai Pustaka, untuk mengurus penerbitan buku-bukunya. Sebagai informasi bahwa hingga saat itu penerbit Balai Pustaka menjadi satu-satunya sumber kehidupan Pram dan keluarga.

Namun saat tiba di sana, Pram kecewa. Aktivitas penerbit Balai Pustaka telah dihentikan, dan diturunkan jadi semata percetakan untuk melayani kebutuhan kementerian. Pram mengatakan bahwa langkah Yamin ini berhubungan dengan penghematan atau efisiensi anggaran.

"Boleh jadi para pembesar mulai berpikir, bahwa menukiknya nilai uang adalah disebabkan karena pemborosan," kata Pram (hal. 221).

Catatan MC Ricklefs juga menunjukkan hal serupa. Selama Kabinet Ali Sastroamidjojo I, inflasi melonjak tinggi. Persediaan uang meningkat 75 persen. Para eksportir terkena dampak. Penyelundupan meningkat. Satuan-satuan tentara yang miskin ikut serta dalam penyelundupan tersebut.

Pram punya penjelasan sedikit berbeda. Menurutnya masalah inflasi di Indonesia disebabkan karena borjuasi Indonesia yang tidak produktif dan tidak kreatif, sebagaimana halnya dengan di Eropa atau Jepang atau Amerika. Indonesia belum jadi negara industri, kata Pram, sementara kebutuhan rakyat jelata pada waktu sangat rendah. Jumlah uang yang beredar juga tidak terlalu meningkat.

Yang jelas kenaikan inflasi membuat anggaran negara semakin bertambah. Keadaan ini tercermin dari naiknya defisit APBN sebesar 18,8 persen. Defisit terus membengkak, dan turut mempercepat Indonesia bergabung sebagai anggota IMF dan World Bank (2024, hal. 105).

Pram juga menguraikan bahwa menteri Safruddin Prawiranegara pernah melawan inflasi dengan pengguntingan uang. Namun menurutnya, itu mengingkari "kesopanan dan kepercayaan umum". Dan cara semacam itu juga yang kelak ditempuh oleh Yamin selaku Menteri PPK, dalam mengubah status Balai Pustaka.

"Meniadakan begitu saja ikatan-ikatan kewajiban dan juga hukum sekaligus antara penerbit dan pengarang," tulis Pram (hal. 222).

Ia geram. Namun juga sekaligus sadar bahwa ia tak akan mampu melawan. Untuk melakukan penuntutan terhadap pemerintah, bukan hanya dibutuhkan militansi yang kokoh –suatu hal yang bersemayam dalam diri Pram, tapi tentu saja perlu kekuatan modal, ditopang ahli hukum yang tangguh, dan opini publik yang masif.

Pada tanggal 10 Januari 1992, surat kabar Volkskrant menurunkan laporan mengenai sosok Pramoedya Ananta Toer. (Foto: delpher.nl)
Pada tanggal 10 Januari 1992, surat kabar Volkskrant menurunkan laporan mengenai sosok Pramoedya Ananta Toer. (Foto: delpher.nl)

Bermodal Keyakinan

Pram mulai mencurigai elite politik Indonesia yang setiap hari bermunculan di media massa. Ia terluka. Sebab, merasa bahwa semakin lama jalan yang ditempuh semakin jauh dari cita-cita revolusi, sebagaimana yang dulu mereka pikirkan, dan Pram ikut serta memperjuangkannya.

"Aku berdiri seorang diri. Tindakan Yamin itu langsung memukul diriku, perutku, dan hatiku," kenangnya (hal. 222).

Ia lalu berencana menemui Yamin. Sebuah opsi yang sangat mungkin diambil. Sebab pernah ada suatu ikatan antara Pram dan Yamin di masa lalu. Menurutnya, saat itu ia pernah membantu penyusunan karya Diponegoro dan sebagian dari Gajah Mada sebagai seorang stenograf pada masa pendudukan Jepang. Namun hasilnya nihil. Yamin sedang tidak menerima tamu waktu itu.

Bukan hanya Pram. Penerbit-penerbit lain yang mendasarkan hidupnya pada pesanan kementerian PPK untuk mengisi perpustakaan seluruh Indonesia pun ikut bangkrut. Berantakan. Di Indonesia saat itu belum ada organisasi pekerja kreatif yang solid membela kepentingan mereka.

"Surat-surat dengan Balai Pustaka tinggal jadi tumpukan kertas. Hanya honorarium dari beberapa puluh rupiah yang bisa aku peroleh dari sana-sini. Aku tertimbun hutang," katanya (hal. 224).

Hubungan rumah tangganya pun menjadi semakin renggang. Istrinya menggugat cerai. Ketiga adiknya yang masih belia diusir dengan terpaksa, turut terkena dampak. Pram kemudian jatuh sakit. Hanya bisa tergeletak di atas ranjang.

"Hinaan demi hinaan seperti tidak tertanggungkan," keluhnya (hal. 228)

Bagi Pram, keadaan rumah telah berubah. Meminjam istilah yang digunakannya: seolah menjadi neraka. Ia kurus. Menurut pengakuannya sendiri, bahkan sekadar makan pun ia kerap mengetuk pintu rumah (sekaligus hati) teman-temannya, salah satunya Ajip Rosidi.

Apabila tak ada tempat yang dapat dituju, ia hanya duduk-duduk di bangku taman. Sendirian. Kadang tertidur hingga malam. Ia berupaya melewati masa-masa sulit. Seperti itulah yang terjadi hingga beberapa waktu setelahnya.

Dalam satu kesempatan, Pram membuat refleksi dalam bentuk surat kepada anak-anaknya. Tanpa malu ia mengulas soal itu semua –ihwal gelombang nestapa yang menerjang, dan mampu dilewatinya dengan penuh keyakinan:

"Aku tak mau jadi gila, aku harus menentukan sikap. Tanpa sikap, aku akan tenggelam."

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Yogi Esa Sukma Nugraha, atau artikel-artikel lainnya tentang sejarah  

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//