• Kolom
  • Pram dan Ode buat Kota

Pram dan Ode buat Kota

Menilik kembali keresahan Pramoedya Ananta Toer saat menulis surat terbuka di Majalah Merdeka untuk wali kota dan masyarakat Jakarta pada pertengahan tahun 1957.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Surat terbuka Pram kepada wali kota dan penduduk Jakarta dimuat di rubrik Genta, lembar kebudayaan Majalah Merdeka no. 22, terbit 1 Juni 1957. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

9 Maret 2025


BandungBergerak.id – Kekuasaan Orde Baru (Orba) telah membuatnya menderita. Untuk waktu yang sangat lama, ia dianiaya, dihinakan, dan disiksa. Semua berlangsung tanpa proses pengadilan dan tuduhan yang jelas. Sejak pelepasan dari Pulau Buru, 21 Desember 1979 hingga beberapa waktu kemudian, ia masih harus dituntut wajib lapor. Masa-masa produktifnya sebagai pengarang dirampas.

"Salah satu anak saya pernah melerai perkelahian di sekolah, tapi ketika tahu bapaknya tapol justru dikeroyok," katanya.

Melalui cerita dan kesan orang lain, anak-anaknya hanya bisa menebak bagaimana perangai sang ayah, yang bernama lengkap Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan masyhur yang lahir enam Februari genap seabad lampau di Blora.  Ia biasa disebut Pram, dan dikenal sebagai figur yang juga mempunyai pengetahuan mumpuni akan sejarah.

Kenyataan ini tak terbantahkan. Bisa dilihat dari Tetralogi Buru, yang merupakan karya fenomenal, yang peredarannya disumbat, beserta karya lainnya yang pernah tercatat sebagai bacaan terlarang, dan tak boleh disebarkan. Namun situasi muram bukan hanya dialami Pram pasca menghadapi berbagai penghinaan rezim terhadapnya.

Jalan hidupnya terjal dan berliku sejak awal. Jauh sebelum dibuang ke Pulau Buru, ia juga kerap mendapat masalah. Sejumlah hambatan kerap menyambangi hidupnya. Sejak usia 17 ia telah mengadu peruntungan di Jakarta. Saat itu pertengahan tahun 1942. Ia bekerja untuk kantor berita Domei.

"Tak ada yang menyambut aku," tulis Pram, sebagaimana tercatat di dalam Jilid dua Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (2000, hlm. 123). "Pekerjaan pertama adalah mengetik berita-berita pendek di atas kertas stensil."

Meski begitu, dengan cepat Pram dapat menyesuaikan diri dengan situasi Jakarta. Dengan cepat pula berita-berita lahir dari tangannya. Dan ia mulai berkenalan dengan sejumlah wartawan terkemuka. Setelah republik meraih kedaulatan politik pada tahun 50an awal, jalan hidupnya kian berliku, seolah tidak menghendaki kelapangan. Sebagian telah tergambarkan dalam karyanya Bukan Pasar Malam (1951). Ia juga sempat mengalami kesulitan pada saat menjalani kehidupan rumah tangga. Seturut pengakuannya:

"Aku kembali jadi manusia lama, murung, kehilangan kepercayaan diri. Nilai uang semakin merosot, penghidupan dengan cepatnya menjadi sangat sulit."

Keadaan inilah yang membuatnya terpaksa menjadi, seperti yang kerap ditulisnya, sebagai broodschrijver –seorang yang menulis untuk sesuap nasi. Dalam konteks itu, bisa dimengerti jika kemudian Idrus memberinya peringatan, sebagaimana tercatat dalam jilid dua Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (hlm. 203): "Kalau semakin banyak menulis seperti itu, Bung, kau dalam bahaya." Atau, ketika Muhammad Balfas, yang dalam suatu pertemuan tak disengaja juga turut memperingatkan: "Kau sudah bukan menulis lagi, Pram, kau berak."

Sebuah perkataan yang mengentak. Sebagian yang pernah mendengar cerita langsung dari Pram bilang, bahwa yang mengatakan itu sebenarnya Idrus, bukan M. Balfas. Entah. Siapa pun itu, yang jelas memasuki pertengahan era 50-an, daya hidup Pram kembali bergelora, terutama usai menyambangi Pekan Buku Indonesia tahun 1954

Momentum itu yang membuatnya bertemu dengan Maimunah Thamrin, seorang perempuan dengan mental tangguh, yang kelak menemaninya hingga ajal menjemput. Tentu banyak rincian kisah hidup Pram yang mungkin sulit untuk dikupas dalam ruang dan waktu yang terbatas. Dengan demikian pada pembahasan ini saya sekadar mengulas secuil saja dari apa-apa yang telah dilalui dan dikerjakan Pram dalam hidupnya.

Tulisan ini hendak menilik kembali keresahan Pram yang saat itu menulis surat terbuka untuk Walikota dan masyarakat Jakarta pada umumnya, tepat pertengahan tahun 1957.

Baca Juga: Menggali Hikmah dari Bung Hatta
Tegak Lurus Bersama K-poppers
Omong-omong soal Buku Teks Sejarah

Warga Kritis dan Berbudaya

"Sebagai penduduk Jakarta, aku kira ada baiknya bicara-bicara sedikit tentang kota tempat tinggalnya. Dan demikian pula yang kuperbuat kali ini. Aku kira penduduk Jakarta berhak juga bicara tentang kotanya, dan punya hak bahwa suaranya didengarkan petugas yang bersangkutan, sekali pun suara itu tidak berkumandang di dalam sidang suatu dewan perwakilan."

Demikian pengantar surat terbuka Pram. Surat terbuka itu termuat di dalam rubrik Genta, sebuah Lembar Kebudayaan di Majalah Merdeka no. 22, yang terbit pada tanggal 1 Juni 1957, halaman 25. Saya membayangkan Pram sebagai warga kritis dan berbudaya yang gelisah, dan kegelisahan itulah yang tertuang di dalam tulisannya. Ia ibarat alarm bagi kota yang kelak terbukti kerap mencampakkan manusia yang berada di lapisan paling bawah.

"Kawan, sudah sejak lama kita mengetahui bahwa Jakarta bukanlah kota dalam pengertian sosiologis dan ekonomis," tulis Pram.

Menurutnya lebih lanjut, Jakarta saat itu masih merupakan suatu "tumpukan desa-desa dan kampung-kampung" yang dipaksa berfungsi sebagai kota dalam perspektif sosiologi dan ekonomi. Ia menyimpang dari apa yang mesti dilahirkan sebuah kota yang benar kota. Itu telah terjadi sejak masa pemerintahan Hindia Belanda hingga pendudukan fasis Jepang.

Seiring waktu, urbanisasi besar-besaran turut mempengaruhi perkembangan Jakarta, tetapi nuraninya berkata bahwa itu merupakan sesuatu hal yang tidak boleh ditolak. Dalam penjelasannya, Pram mengatakan, bukan berarti urbanisasi lalu dibiarkan begitu saja, tapi mesti ada usaha penyaluran yang proposional. Dan ia mengemukakan eksesnya kemudian andai saja keadaan itu tidak dibetulkan: "Jakarta akan lebih sulit lagi dibangun sebagai kota, teristimewa sebagai suatu Ibukota negara yang baru merdeka."

Itulah pokok pertama uraian Pram. Bagi bangsa yang telah memenangkan revolusi kemerdekaan, saat itu penduduk Jakarta dihadapkan pada sulitnya mendapatkan hunian layak. Menurutnya, minimal setiap warganegara memiliki ruangan 2x2 meter. Jika kurang dari itu, artinya jelas, tidak layak bagi warga suatu negara yang telah merdeka.

Betapa banyak kakek-nenek kehilangan hak untuk menjalani hari tua dengan aman dan damai. Pun juga demikian tidak sedikit anak-anak yang kehilangan ruang bergerak dan bermain. Konsekuensi lanjutannya cukup sulit bahkan untuk sekadar dibayangkan. Mengerikan sekali.

"Dengan kondisi perumahan yang buruk, mereka bisa menjadi petualangan di jalan-jalan raya. Tumbuh tanpa kasih sayang orang tua yang dirundung kesulitan," tulisnya.

Ia lantas menguraikan pengamatannya tentang keseharian hidup seorang seniman, yang sekaligus merupakan kawan baiknya. Menurut Pram, kawannya itu sering memanfaatkan ruang di bioskop dan taman-taman hanya untuk sekadar beristirahat barang sekejap. Sungguh memilukan. Suatu keadaan yang dari segi kesehatan individu maupun segi sosial berpotensi membuat runyam.

Kita tahu bahwa seorang ilmuwan dan aktivis politik asal Trier, mengategorikan kelompok anak-anak manusia semacam ini sebagai lumpenproletariat, mungkin serupa sosok Idulfitri yang Pram lukiskan dalam Tjerita dari Djakarta (1957). Padahal, kota yang diidamkannya, adalah yang menjadi rumah teduh bagi seluruh penduduknya, terutama pascakolonial. Para penghuni kota yang bisa memenuhi akses terhadap kebutuhan hidup minimal seperti pasar, pertokoan, pusat hiburan, pusat seni, pusat ilmu pengetahuan, dan balai pertemuan budaya.

Selanjutnya ia mengingatkan pula untuk tidak melupakan kepentingan anak-anak, seperti perpustakaan, taman bermain, dan ruang untuk berhimpun sehingga menjadi anak yang tumbuh sebagaimana layaknya anak-anak. Sebab, kenyataannya tidak ada. Jauh panggang dari api. Ia lantas mengajukan sebuah usul untuk Jakarta saat itu membuat hunian vertikal.

Boleh saja jika pembaca meragukan pendapatnya, atau barangkali menduga Pram punya kecenderungan bicara seenaknya tanpa menimbang soal uang. Namun itu sebetulnya mudah dijawab. Pram mengajak pembaca umumnya, dan pemangku kebijakan serta masyarakat Jakarta khususnya, untuk mengambil hikmah dari Desa Torongrejo, Malang (pada era 50-an, desa ini dikenal di pentas nasional, karena menjuarai festival desa teladan, didasarkan pada gotong royong warganya).

Seandainya masih ada keraguan di benak pembaca, karena menilai terlalu gampang merujuk pada sebuah desa yang jelas berbeda –desa kental homogenitasnya, Pram bilang bahwa justru dari sana Jakarta bisa mendapat kemajuan. Homogenitas bisa dibentuk dengan dasar kesamaan kerja. Untuk lebih konkretnya, Pram lalu mengusulkan dibentuknya Serikat Pekerja di setiap perkampungan, yang nantinya ditopang Dewan Gabungan Pekerja yang bertugas memberi rekomendasi dan menugaskan para ahli atau insinyur untuk merealisasikan gagasannya. Dalam bahasa Pram, "sebagai kelanjutan dari pemobilisasian semangat gotong royong."

Tentu bukan tanpa dasar yang jelas. Menurut Pram, cara pembangunan rumah warga secara individual, itu tidak bisa menguntungkan semua orang, dan hendaknya dibatasi. Pemilik unit usaha yang berkaitan dengan pembangunan disarankan untuk turut serta bergabung. Meski, Pram mengakui bahwa mengajak mereka yang berkepentingan [dalam hal ekonomi] sulit bukan main, tetapi Pram yakin bakal ada pihak yang mau diajak bekerja sama, dan itu harus diusahakan demi harga bahan bangunan yang stabil.

Pokok terakhir adalah soal arsitektur. Menurutnya, sudah semestinya hunian yang dirancang kelak disesuaikan dengan pendirian ibukota. Artinya, bukan sekadar memenuhi segi ekonomi. Namun juga menimbang aspek keindonesiaan, menimbang aspek budaya, tanpa harus mengabaikan utilitas. Dalam hal ini, tenaga seniman mutlak diperlukan.

Pada dasarnya kita bisa melihat dua hal dari surat terbuka Pram di Majalah Merdeka. Pertama, Pram menyoroti sulitnya warga sebuah kota yang sulit untuk memiliki hunian layak. Kedua, kebudayaan yang harus mempunyai tempat yang pantas dalam dinamika kehidupan di suatu kota. Saya kira surat terbuka ini juga punya arti penting. Sebab, Pram menunjukkan adanya penyingkiran mereka yang papa secara struktural, dan ia berupaya berada di barisan yang sama dengan mereka.

"Kawan-kawan bisa bayangkan sendiri bagaimana tampang Jakarta dalam sepuluh tahun mendatang, apabila yang demikian kita biarkan merajalela: kita semua akan terjerumus dalam garis dan situasi serba modern yang tidak cocok dengan pertumbuhan jiwa kita sebagai bangsa, sebagai nasion," begitu Pram mengakhiri tulisannya.

Masih Relevan

Tuk suara bising di tiap jalan

Tuk suara kaki yang berlalu-lalang

Tuk suara sirene raja jalanan

Tuk suara sumbang yang terus berdentang...

Itu adalah salah satu album sekaligus lagu dari grup musik Bangkutaman, yang merekam hiruk-pikuk Jakarta masa kini, yang keadaannya tentu saja telah jauh berubah. Ia berbeda dengan kota yang didiami Pram pada saat menulis surat terbuka untuk Walikota dan Penduduk Jakarta di tahun 1957. Banyak sekali faktor yang berpengaruh membentuk kota-kota di Indonesia seperti sekarang.

Saya kira ini bukan hanya soal Jakarta. Namun bisa mengambil hikmah dari sana. Sekurang-kurangnya, jika para pejabat pusat atau juga daerah mencermati usulan Pram yang memberi penekanan pada aspek manusia dan budaya, boleh jadi situasinya agak lain. Meski arus pembangunan di suatu kota tak terelakkan, tapi jika tidak memenuhi kepentingan warga, dan budayanya, itu merupakan sebuah tindakan gegabah.

Singkatnya, sejarah pun telah mencatat bahwa perkembangan suatu kota memiliki ekses lanjutan. Berbagai persoalan acap kali timbul seiring dengan berjalannya waktu. Yang paling dominan, adalah ketimpangan, yang memiliki turunan seperti kecemburuan sosial, kriminalitas, konflik horizontal antar warga, dan rendahnya indeks kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah (pusat maupun daerah). Jauh setelah Pram menulis surat terbuka kepada Walikota, Jakarta terbukti melahirkan ekses yang dikhawatirkannya. 

Pada akhir 80-an, pemerintah daerah menerbitkan keputusan larangan bagi Tukang Becak. Kriminalitas juga merebak. Belakangan ini, uraian Pram semakin punya relevansi apabila kita melihat fenomena penggusuran yang terjadi. Bagaimana mungkin kota yang diharapkan Pram menjadi rumah ini justru sering berpihak pada korporasi?

Menukil catatan LBH Jakarta, sepanjang tahun 2015, di kota ini masih sering terjadi penggusuran paksa. Kepemimpinan Jakarta saat itu yang diemban Basuki Tjahaja Purnama menunjukkan bahwa ia tidak lebih baik dari gubernur sebelumnya. Pada Januari-Agustus 2015, terdapat 30 kasus dengan jumlah 3433 Kepala Keluarga dan 433 unit usaha terdampak, yang menunjukkan bahwa tren penggusuran malah semakin meningkat.

Satu kenyataan yang menggiring kaum lapis bawah berada ke titik suram juga belum lama menimpa warga kampung Tongkol Dalam, dan Jelambar, Grogol. Dengan itu pula Ode buat kota menjadi relevan untuk melukiskan apa yang telah dikerjakan Pram tahun 1957. Ia menulis semua ini untuk mereka –meminjam diksi Bangkutaman– yang berlari di lingkaran setan.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Yogi Esa Sukma Nugraha, atau artikel-artikel lainnya tentang sejarah  

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//