Menggali Hikmah dari Bung Hatta
Terang integritas dan kesederhanaan hidupnya menjadikan Mohammad Hatta (Bung Hatta), sebagai sosok langka di antara deretan pemimpin Indonesia.
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
15 November 2024
BandungBergerak.id – Sosoknya muskil tidak dikenali mayoritas rakyat Indonesia. Bersama Bung Karno, wajahnya terpampang dalam uang rupiah. Predikat beragam pun disematnya. Proklamator dan Wakil Presiden merupakan status yang paling dikenal.
Mohammad Hatta, atau Bung Hatta, demikian ia disapa, bukanlah tipe orang yang dirumuskan Antonio Gramsci sebagai intelektual tradisional. Bersama Bung Karno dan banyak orang di jamannya, bahu-membahu Bung Hatta turut membangkitkan kesadaran politik massa ---sebab sedikit orang saat itu yang punya kesempatan untuk berkehendak maju. Dalam kaitannya dengan itu, mungkin bisa pula menjadi alasan mengapa ia mengagumi Tjipto Mangunkusumo, yang dinilainya sebagai pribadi yang memiliki "kemauannya keras, kejujuran tanpa kompromi, dan tidak mementingkan diri sendiri."
Bung Hatta merupakan seorang muslim yang taat. Jika ditelisik riwayatnya, ia memang keturunan ulama besar di kampungnya yang bernama Batu Hampar. Di sana, pada masa kecilnya, Bung Hatta belajar mengaji. Menginjak usia remaja, ia berguru pada dua pakar kenamaan, Syaikh Mohammad Djamil Djambek di Bukit Tinggi dan H. Abdullah Ahmad di Padang. Ia melanjutkan studi ke Belanda, dan tercatat sebagai mahasiswa di Sekolah Tinggi Ekonomi Rotterdam.
Menurut John Ingleson dalam Mahasiswa, Nasionalisme, dan Penjara; Perhimpunan Indonesia 1923-1928 (hlm. 27), secara khusus Bung Hatta berupaya mempelajari gerakan koperasi Eropa, yang ia maknai sebagai suatu langkah yang bisa membabat praktik pemerasan manusia oleh manusia lainnya. Koperasi juga dianggapnya cocok dengan tradisi pedesaan Indonesia. Ini berkelindan dengan watak gotong royong, dan cara mengembangkan sikap saling berbagi serta saling membantu.
Sehubungan dengan itu, pada pertengahan 1925 –atas biaya Fonds Nasional– Bung Hatta pergi ke Denmark untuk mengadakan pengamatan langsung mengenai gerakan koperasi di negara tersebut. Tentu saja nyaris tidak ada yang meragukan kredibilitasnya. Jujur, lugu, dan bijaksana. Demikian musisi Iwan Fals melukiskan sosoknya dalam sebuah lagu yang enak didengar.
Banyak yang menilai sosoknya sebagai seorang pendiam dan suka belajar. Masih menurut John Ingleson (hlm. 13), bahkan teman-temannya semasa mahasiswa mengenang betapa sedikitnya waktu yang ia habiskan untuk kegiatan hiburan seperti yang biasa dilakukan mahasiswa: berdansa dan nonton film. Namun bukan berarti ia tidak memiliki kesenangan sama sekali.
Sebagai manusia biasa, ia gemar sepakbola. Ia sempat bergabung dengan klub bernama Young Fellow. Lapangan sepak bola Imam Bonjol, yang terletak di sekitar Balai Kota Padang, merupakan saksi bagaimana Bung Hatta lihai ketika menempati posisi gelandang. Orang-orang Belanda memberinya sebutan onpasseerbaar (sukar dilewati).
Kegandrungan Bung Hatta pada sepak bola nyaris tak pernah hilang. Bahkan ketika ia menjadi salah satu tokoh politik sangat penting di republik ini. Konon, Bung Hatta juga kerap menonton pertandingan sepak bola. Kabarnya ia pernah mendapat hadiah tiket gratis untuk menonton sepak bola dari Ali Sadikin tatkala mantan Gubernur DKI Jakarta asal Sumedang itu menjabat sebagai Ketua PSSI.
Yang memukau, adalah perhatiannya pada dunia literasi yang juga punya rekam jejak mengagumkan. Itu semua tercatat di berbagai surat kabar. Sebagai bukti bahwa Bung Hatta gemar menggumuli teks adalah ketika dia membawa serta 16 peti buku ke tanah pembuangan. Dalam laporan panjang yang dilakukan Majalah Tempo untuk mengenang 100 tahun hari kelahirannya, terekam pula satu pendapat yang memperkuat kesan bahwa Bung Hatta merupakan sosok yang akrab dengan kegiatan kepenulisan; bahkan dia dibilang satu-satunya dari bapak bangsa kita yang paling banyak menulis.
"Jika ada jasanya yang terbesar, tak lain adalah karena itu: dia menjadi reporter yang mencatat, melaporkan, dan memberi komentar tertulis atas suksesi peristiwa-peristiwa sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia."
Baca Juga: Musso, Kisah Seorang Pembangkang di Dua Zaman
Jalan Terjal Muchtar Pakpahan
Menelisik Isu Kecurangan Pemilu Sejak Orde Lama hingga Orde Baru
Menulis Sejak Kecil
Kefanaan adalah niscaya. Bahkan suatu hal yang dinilai paling digdaya pun kerap tak kuasa melawan fana. Marx, seorang pemikir asal Jerman merumuskan situasi semacam ini dengan solid: "Semua yang padat meleleh ke udara, segala yang suci jadi profan, dan manusia akhirnya dipaksa menghadapi dengan sadar kondisi nyata hidup mereka, dan hubungannya antar sesama."
Begitu pula Bung Hatta memandang kekuasaan kolonial yang dianggapnya fana. Ia dan banyak orang segenerasinya memang sering dikabarkan sebagai terpelajar yang bisa menerima uraian jitu Marx tentang kapitalisme dan Lenin soal imperialisme global –meskipun kelak dia secara pribadi kerap berpolemik dengan pihak yang terilhami buah pikiran sokoguru rakyat pekerja itu– dan karenanya, ia pun turut terpengaruh daya tarik penjelasan material historis sebagai pisau analisis, terutama untuk tesis meyakinkan menyoal situasi penjajahan; bahwa sikap manusia dimungkinkan kondisi obyektif.
Bung Hatta juga percaya bahwa gerak sejarah mustahil hanya bisa diciptakan segelintir manusia. Maka tidak heran pada akhir tahun 50an, saat kecewa dengan beleid karibnya, Bung Karno, ia memutuskan untuk meletakkan jabatan di pemerintahan, lalu membuat tulisan panjang yang mengandung kritik tajam –dan kelak dimuat secara berkala di Panji Masjarakat.
Sejak kecil ia akrab dengan sajak Heinrich Heine. Bung Hatta juga dikabarkan menyukai karya-karya Leo Tolstoy, serta Fyodor Dostoyevsky. Fakta ini menggambarkan luasnya bacaan dan minatnya pada kesusasteraan. Ia kelak menjadikan pena sebagai senjata untuk turut ambil bagian membebaskan rakyat dari penderitaan yang dibuat rezim kolonial.
Memasuki masa remaja ia telah tercatat sebagai orang yang gemar menulis, dan karenanya, ia banyak membaca. Menurut informasi yang tertera di dalam buku Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman (hlm. 6), Majalah Jong Sumatera adalah publikasi pertama yang menyebarluaskan ide-ide briliannya. Jika merujuk informasi dalam Seabad Pers Kebangsaan (hlm. 145), Bung Hatta sendiri merupakan bendahara Jong Sumateranen Bond (JSB) di Padang 1916-1918.
Kelak ia menjadi pengurus JSB Batavia pada 1919 dan terlibat lebih jauh di dalamnya. Selama di Jong Sumatra itulah Bung Hatta banyak menuangkan segenap alam pikirannya, salah satunya lewat karangan berjudul "Hindiana" yang dimuat pada 1920. Bakat menulisnya kian meluap tatkala Bung Hatta berkesempatan untuk melanjutkan studi ke Belanda.
Kala itu kita tahu bahwa di bawah naungan politik etis, rezim kolonial berupaya memperluas kesempatan bagi putra-putri yang berasal dari kelas priayi untuk melanjutkan studi. Pada tahun-tahun setelah Perang Dunia Pertama berakhir, Bung Hatta tiba di Belanda. Bersama nama-nama semisal Ali Sastroamidjojo, Sutomo, Sartono, Iwa Kusumasumantri, Bung Hatta bergabung dalam organisasi mahasiswa Indonesia yang saat itu membentuk semacam perhimpunan kecil. Mereka menjalin persaudaraan satu sama lain.
Pengalaman hidup di tengah masyarakat Eropa yang terbuka itu memiliki dampak signifikan bagi Bung Hatta. Berbeda dengan kehidupan masyarakat kolonial yang cenderung paternalistik, untuk kali pertama Bung Hatta dan kawan-kawannya dianggap setara di hadapan hukum negara Belanda. Ia juga kian dekat dengan dunia kepenulisan yang sudah akrab dari jauh sebelumnya.
Bukti konkretnya adalah ketika Hatta bersama kawan-kawan seperantauan mengubah nama perhimpunan itu dari Indische menjadi Indonesische Vereeniging, atau yang kelak dikenal Perhimpunan Indonesia. Ia menjadi editor majalah Hindia Poetra ---yang merupakan publikasi resmi dari Perhimpunan Indonesia. Belakangan, publikasi tersebut diberi nama yang lebih ofensif: Indonesia Merdeka. Merujuk John Ingleson (2018, hlm 6), "kata pengantar edisi pertamanya mengemukakan kesamaan antara penjajahan Indonesia oleh Belanda dan pendudukan Belanda oleh bangsa Spanyol."
Selain melakukan penyuntingan, Bung Hatta sendiri memang menulis dua artikel dalam edisi perdana majalah Indonesia Merdeka itu. Tentu saja sesuai dengan kapasitasnya memahami bahasa Belanda dengan baik. Ironisnya, sebagaimana tercatat dalam Memoir yang terbit pada 1980, Bung Hatta juga membeberkan satu fakta bahwa sebetulnya para profesor Leiden meragukan majalah itu ditulis seluruhnya oleh pemuda-pemuda Indonesia.
Barangkali kehadiran publikasi tersebut memang cukup mengagetkan para profesor Leiden. Pasalnya, sebagaimana penjelasan John Ingleson (hlm. 5), pada awal 1925 Indische Vereeniging telah mengubah diri dari yang awalnya suatu perkumpulan sosial kemudian bergerak ke arah organisasi politik yang aktif. Bahkan menjadi salah satu organisasi nasionalis Asia yang paling awal menuntut kemerdekaan sesegera mungkin.
"Gagasan tentang kemerdekaan tidak berbeda dari satu bagian dunia ke bagian dunia lainnya. Kemerdekaan adalah cita-cita umat manusia dan bukan cita-cita barat; seluruh bumi ini adalah kuil kemerdekaan," tulis Kata Pengantar pertama Indonesia Merdeka.
Sehubungan dengan Bung Hatta yang menjadi editornya, memang banyak catatan sejarah lain yang turut mengatakan bahwa Bung Hatta menguasai bahasa Melayu dan Belanda. Bahkan ia dikabarkan fasih berbahasa Inggris, Jerman, dan Prancis. Inilah yang membuat tulisan-tulisannya mengenai gagasan kemerdekaan Indonesia memiliki gaung lebih luas secara internasional.
Tetapi agak sukar mencari informasi soal akar ketidaksukaan Bung Hatta pada rezim kolonial. Sejumlah riset mengemukakan bahwa semua itu bermula pada satu peristiwa yang terjadi di hadapannya. Kala itu, ia masih sangat belia –pelajar di ELS Bukittinggi.
Di waktu yang sama ia melihat Rais, yang merupakan kerabatnya, ditangkap pemerintah karena kedapatan mengkritik seorang pejabat kolonial. Kejadian ini membuat Bung Hatta terkesan. Mungkin di sana pula titik awal pergulatannya dengan ketidakadilan yang diciptakan rezim kolonial.
Akibat Tulisan, Diseret ke Pengadilan
Pada 23 November 1926, Bung Hatta menulis suatu program, yang kelak resmi diterima menjadi garis kebijakan Perhimpunan Indonesia. John ingleson (2018, hlm. 59) memaparkan tulisan Bung Hatta yang diberi judul "Indonesia Free" itu. Berikut saya kutip sejumlah program yang diajukannya.
Politik
- Hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Indonesia
- Suatu bentuk pemerintahan Indonesia di masa depan atas dasar demokrasi murni, dengan masyarakat pedesaan sebagai unsur terpenting
- Kebebasan pers dan hak mengadakan perserikatan dan pertemuan terbuka tanpa larangan
- Dihapuskannya "wewenang istimewa" Gubernur Jenderal
- Hak pilih untuk semua
Ekonomi
- Memajukan koperasi pertanian dan bank-bank pinjaman untuk rakyat
- Memajukan industri nasional berdasarkan koperasi
- Penghapusan sistem sewa tanah
- Penghapusan tanah partikelir
- Peraturan yang adil untuk kebijakan perpajakan, dengan membebaskan pungutan pajak bagi petani yang luas tanahnya kurang dari setengah bau (1,75 a)
Sosial
- Undang-undang sosial; penghapusan poenali sanctie; delapan jam kerja dalam sehari
- Penghapusan sama sekali praktik riba
- Pembinaan pendidikan nasional
- Perbaikan kesehatan masyarakat
Sebagian orang menganggap program yang disodorkannya ini terlalu moderat. Berbeda dengan Semaun –yang kala itu ia sedang menjalani hukuman pembuangan ke Belanda– yang punya rencana lebih menggairahkan (dan menjadi dasar Konvensi Semaun-Hatta), Bung Hatta memang cenderung menganjurkan pendidikan secara bertahap. Yang luput diperhatikan, gagasannya ini konsisten dengan apa yang diyakini selama ini; masih memiliki sifat nonkooperatif.
"Tekanan utamanya haruslah mengorganisasi bukan melakukan agitasi," ungkap Bung Hatta.
Dalam batas tertentu Bung Hatta memang punya kecenderungan, atau boleh dibilang terinspirasi, untuk mengikuti perjuangan tanpa kekerasan ala Mahatma Gandhi. Tetap –kelak diakuinya sendiri, jika– metode pasif ala Ghandi sebetulnya tidak akan tepat guna dalam konteks Indonesia. Menurutnya, sebagaimana tercantum dalam artikel yang ia tulis di Indonesia Merdeka, rakyat tidak boleh pasif atas kenyataan adanya penindasan.
"Upaya yang pertama adalah berbuat sesuatu dan berkorban, karena tanpa kedua faktor ini, setiap gerakan akan kehilangan suatu kekuatan pendorong dan setiap organisasi bakal mengalami kegagalan. Dan kemenangan kita hanya akan tercapai jika melalui suatu organisasi yang kuat," tulis Bung Hatta (hlm. 28).
Melalui ketajaman dan kekuatan analisisnya, tidak berlebihan rasanya jika menganggap bahwa dari segi pemikiran Bung Hatta memang digdaya. Bukan sekadar menduplikat apa-apa yang masuk ke kepala. Bahkan ia harus mendapatkan akibat buruk dari tulisan-tulisannya saat mengkritik pemerintah kolonial. Bung Hatta ditahan pada 27 September 1927.
Bersama tiga kawannya, ia dituduh mendalangi tindak kekerasan yang memiliki tujuan menggulingkan kekuasaan Belanda; ia dianggap menghasut masyarakat. Pihak penuntut mengajukan hukuman tiga tahun penjara bagi Bung Hatta. Kemudian, protes dilancarkan sejumlah kalangan oposisi kolonial.
Sumbangan materiil juga mengalir deras pada mereka yang ditahan. Bung Hatta sendiri yang menjadi ketua Steunfonds Studenten Indonesia (Dana Bantuan Mahasiswa Indonesia). Menurut John Ingleson (hlm. 81), Komisi tersebut berhasil menghimpun lebih dari 2000 gulden, dan itu lebih dari cukup untuk menutup biaya pembelaan para mahasiswa tersebut.
Uniknya, ketika masing-masing tertuduh membacakan pembelaannya, Bung Hatta sudah siap dengan argumentasi panjang lebar. Ia juga membawa serta buku-buku dan satu bundel Indonesia Merdeka ke penjara. Pembelaan inilah yang kelak disebarluaskan dan dikenal dengan judul "Indonesie Vrij" (Indonesia Merdeka).
"Itu merupakan suatu ringkasan cemerlang dari semua yang telah dikatakan oleh PI [...Perhimpunan Indonesia] selama lima tahun terakhir," ujar John Ingleson, yang juga mengutip kecaman Bung Hatta atas kolonial Belanda dengan diksi: kecurigaan borjuis picik.
Akhirnya Bung Hatta dan ketiga kawannya dibebaskan, dan surat-surat pribadi mereka serta arsip Perhimpunan Indonesia dikembalikan. Keempatnya merayakan kebebasan mereka tepat menjelang hari lebaran; mereka bergiliran mengadakan rapat umum yang diselenggarakan oleh "Liga Melawan Imperialisme dan Penindasan Kolonial" cabang Belanda.
Pada akhir 1927, saat mayoritas mahasiswa di Belanda telah menyelesaikan studinya dan pulang, Bung Hatta masih tinggal di sana. Studinya terbengkalai akibat terlalu aktif di bidang politik. Ia mundur pada Februari 1929 untuk bisa menyelesaikan studi sesegera mungkin.
Namun, menurut John Ingleson (hlm. 97) sebetulnya Bung Hatta tetap menjadi anggota PI [...Perhimpunan Indonesia]; tetap menghadiri rapat-rapat, dan menulis artikel untuk Indonesia Merdeka dan koran-koran Belanda yang bersimpati pada rakyat kecil. Bahkan di tahun-tahun itu, kedatangan Sjahrir ke Belanda dan momen penangkapan Bung Karno memungkinkan kembali Bung Hatta untuk terlibat dalam politik.
Pada 7 Januari 1930, dalam kerja sama Liga Melawan Imperialisme dan Penindasan Kolonial cabang Belanda, PI [... Perhimpunan Indonesia] mengorganisasir protes atas penangkapan Bung Karno itu di Leiden. Dalam orasinya, Bung Hatta mengatakan:
"Saya tidak mengeluh untuk diri saya sendiri, tetapi saya meratapi apa yang telah dilakukan pemerintah anda terhadap bangsa saya. Adalah tugas kelas buruh Belanda untuk berjuang bersama kami di bawah panji 'Indonesia Merdeka dari Belanda' dan bersama kami menuntut segera dibebaskannnya semua yang ditangkap dan diberikannya amnesti bagi semua tawanan politik."
Bergulat di Daulat Ra'jat
Sepulang ke Indonesia, alih-alih melakoni karier sebagai profesional –seperti harapan keluarga dan pandangan masyarakat pada umumnya mengenai masa depan seseorang usai belajar di Eropa– Bung Hatta semakin membenamkan diri dalam aktivitas politik, dan tentunya, dunia tulis-menulis.
Bersama Sutan Sjahrir, ia merancang Pendidikan Nasional Indonesia, sebuah partai yang lebih menekankan aspek pendidikan dan pemberdayaan politik kerakyatan. Bung Hatta juga kian aktif dalam majalah yang diterbitkan partai: Daulat Ra'jat. Dalam Seabad Pers Kebangsaan (hlm. 394), tercatat bahwa suratkabar ini pertama kali terbit pada 20 September 1931.
Kantor redaksinya terletak di Gang Lontar IX/42-Struistwijkstraat 57 yang dulu dikenal dengan Batavia Centrum. Dalam pengantar atau "Kata Pendahoeloean" edisi pertamanya, redaksi menyatakan bahwa pendirian Daulat Ra'jat dilatarbelakangi "meradjalelanja kapitalisme".
Sebetulnya Bung Hatta hanya kontributor di sana, sebab redaksi awalnya dipimpin Sukarta. Tetapi, suratkabar yang secara reguler terbit 10 hari sekali ini, menjadi identik dengan Bung Hatta sebab tulisan yang ia buat rutin dimuat. Bahkan sempat timbul gejolak atasnya. Kala itu, muncul tudingan bahwa Bung Hatta telah memonopoli suratkabar Daulat Ra'jat.
"Namanya yang identik dengan Daulat Ra'jat membuat Perhimpoenan Indonesia di Belanda menjadi gerah. Maka, ia pun kena schorsing. Sjahrir melaporkan berita itu di Daulat Ra'jat edisi 10 Desember 1931," tulis Reni Nuryanti dalam Seabad Pers Kebangsaan (hlm. 395).
Bukan hanya itu. Kehebohan juga terjadi tatkala Abdul Rivai menulis di Bintang Timoer. Ia menyerang dengan asumsi bahwa “Hatta berharap akan dapat pekerdjaan pada kantor goepernemen”. Tentu saja Bung Hatta tak terima atas perkataan orang Indonesia yang pertama kali mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri itu, dan segera menyiapkan bantahan kalau Rivai merupakan pembohong besar.
Menurut Bung Hatta, sebagaimana tercatat dalam Daulat Ra'jat yang terbit 20 Desember 1931, akar perseteruannya dengan Rivai bermula pada tahun 1928. Waktu itu, Rivai pernah menemuinya dan menganjurkan kepada Bung Hatta supaya pensiun saja dari dunia politik. Alasannya, Bung Hatta adalah orang Sumatera sementara pusat pergerakan politik ada di Jawa. Namun Bung Hatta menolak anjuran yang —jika meminjam istilah yang sering dipergunakannya— mengandung watak provincialism sempit semacam itu. Karenanya, penolakan Bung Hatta jelas saja membuat Rivai geram.
“Sebab itoe poela tjoekoeplah, kalaoe saja peringatkan disini, bahwa saja seorang non- cooperation dan dalam kitab kamoes saja tidak ada tertoelis perkataan 'pergi makan gadji sama goepernemen'," tulis Bung Hatta, seperti yang dipetik dalam Seabad Pers Kebangsaan (hlm. 395).
Syahdan, serangan-serangan yang dilesakkan pada Bung Hatta sama sekali tidak menggoyahkan hatinya. Malahan kepopulerannya kian bertambah. Sebagai kompensasi, kelak Bung Hatta tercatat sebagai pemimpin dewan redaksi.
"Banyak tulisan Hatta menjadi bukti terpenting yang menggugurkan mitos di kalangan tentara bahwa militerlah yang paling berjasa memerdekakan Indonesia melalui perjuangan senjata," tulis Tempo. Fakta ini seakan membenarkan tesis Muhidin M. Dahlan bahwa bangunan kebangsaan Indonesia dirancang dari tradisi pers.
Dalam konteks ini, boleh dibilang jika Bung Hatta segendang sepenarian dengan HOS Tjokroaminoto yang kita kenal sempat menjadi pemimpin redaksi Oetoesan Hindia dan Sinar Djawa. Atau "Tiga Serangkai" Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo yang menukangi De Expres. Selain Semaoen yang di usianya 18 tahun sudah memimpin Sinar Djawa –kelak berubah menjadi Sinar Hindia. Atau Maridjan Kartosoewirjo yang menjadi reporter dan redaktur iklan di Fadjar Asia.
Bisa pula menyertakan Ki Hadjar Dewantara yang –sebelum berkonsentrasi penuh di bidang pendidikan– adalah pemimpin redaksi Persatoean Hindia dan bahu-membahu menyuarakan persoalan rakyat dalam majalah Pemimpin. Adapun Bung Karno yang –tentu kita semua tahu– pernah menjadi pemimpin redaksi Persatoean Indonesia dan Fikiran Ra'jat. Atau mungkin Amir Sjarifuddin yang menjadi pemimpin redaksi Banteng.
Polemik di Pengasingan
Pada akhir tahun 1932, Bung Hatta terlibat polemik dengan Bung Karno. Sejak awal, memang tampak perbedaan taktik yang dipilih keduanya. Bung Hatta memandang Bung Karno berlebihan dalam mendidik rakyat. Ia cenderung menyukai metode pendidikan daripada langkah yang diambil Bung Karno: mobilisasi massa.
Reni Nuryanti dalam Seabad Pers Kebangsaan (hlm. 397) mengutip kolom khusus Daulat Ra'jat yang kemudian disebarluaskan oleh Lambert Giebels dalam Biografi Sukarno 1901-1950. Kala itu, Bung Hatta mengecam Bung Karno dengan nada sinis:
"Rakjat dianggap kesed oentoek membersihkan alas kaki; dianggap bergoena hanja oentoek bertepoek tangan waktu mendengarkan seseorang pemimpin jang pandai berpidato. Rakjat tidak pernah diajar oentoek memikul tanggoengjawab mereka, atau mendjalankan kewadjiban-kewadjiban mereka."
Seiring waktu, situasi politik di Hindia Belanda kian memanas. Pengekangan pemerintah Hindia Belanda pun kian sering dilakukan atas nama Persbreidel Ordonnantie yang diberlakukan sejak 1931. Daulat Ra'jat, sebagai pers yang berseberangan dengan pemerintah, tentu tak bisa pula menghindar dari situasi semacam itu.
Pada 1934 Bung Hatta –beserta pemimpin pergerakan dari kalangan nasional radikal lainnya– ditangkap. Surat kabar Daulat Ra'jat turut dibredel. Dan Bung Hatta mendapat akibat yang buruk. Ia hidup dalam keterasingan. Tepat di dalam konteks inilah, sebagaimana disinggung di muka, Bung Hatta membawa serta 16 peti buku dalam pembuangannya.
Buku-buku itu membuatnya memiliki amunisi cukup lengkap untuk meluncurkan berbagai tulisannya ke berbagai surat kabar. Ia tak bisa dibungkam. Melalui tulisan-tulisannya yang menggetarkan, Bung Hatta serupa dengan Bung Karno ketika melakukan orasi.
Terbukti pada 1938. Kala itu, Bung Hatta kembali berpolemik bahkan pada saat dirinya sedang berada pengasingan. Semua bermula dari kemunculan artikel provokatif yang berjudul "Is Hatta Marxist?". Tulisan itu dibuat orang dengan nama pena Mevrow Vodegel dan dimuat secara berkala pada bulan April dan Mei.
Pada dasarnya artikel itu menanggapi tulisan Hatta yang berkepala Enige Grondtrekken van de Economische Wereldbouw (Segi-Segi Utama Ekonomi Dunia), yang sebelumnya dimuat di Sin Tit Po. Namun Bung Hatta menaruh curiga bahwa sebetulnya Mevrow Sumarah adalah nama samaran. Ia menduga bahwa penulis artikel itu berdomisili di Jawa.
Entah bagaimana persisnya namun dugaan Bung Hatta benar belaka. Kala itu terkuak fakta bahwa Mevrow Vodegel Sumarah sebetulnya merupakan nama samaran yang digunakan Tan Ling Djie. Ia seorang pentolan komunis. Bung Hatta membalas artikel tersebut dengan berjudul Marxisme of Epigonenwijsheid? (Marxisme atau Kearifan Sang Epigon?).
Begitulah Bung Hatta. Kelak, sebagaimana tercatat dalam laporan Majalah Tempo, kalau ia juga terlibat dalam penyusunan konstitusi dan menyumbangkan pikiran untuk kemudian menjadi beberapa pasal penting, seperti "hak berkumpul dan berserikat" dan "penguasaan negara atas sumber daya alam". Ia bahkan memenuhi janjinya hanya akan menikah setelah Indonesia merdeka.
Pada November 1945, ia menikahi perempuan yang bernama Rachmi Rahim. Uniknya, Bung Hatta menghadiahi calon istrinya itu dengan menunjukkan apa yang menjadi kegemarannya: buku —yang diberi judul Alam Pikiran Yunani, dan yang cemerlang, itu merupakan buku yang ia tulis sendiri.
Menulis Hingga Akhir Hayat
Pascakemerdekaan Bung Hatta punya rutinitas yang kian padat. Ia terlibat dalam arena yang diwarnai perselisihan opini di kalangan pendiri negara. Bung Hatta sempat menjadi perdana menteri dan menempati posisi Wakil Presiden. Namun, di sela-sela kesibukannya, Bung Hatta masih produktif menulis artikel ataupun buku. Topik yang menjadi perhatiannya beragam. Mulai dari demokrasi, politik, koperasi, dan Islam.
"Dia setidaknya dua kali menulis di Foreign Affairs, sebuah jurnal prestisius
internasional tentang kebijakan luar negeri," tulis Majalah Tempo.
Ignatius Kleden, dalam esai berjudul Yang Berumah di Tepi Air (hlm. 57) mengatakan bahwa di antara para bapak bangsa, barangkali hanya Bung Hatta seorang (dan Tan Malaka, hingga taraf tertentu) yang tekun menulis buku-buku teks. Tercatat buku-buku yang ditulisnya dalam bidang ekonomi (Pengantar ke Jalan Ekonomi Sosiologi), sejarah filsafat (Alam Pikiran Yunani), atau filsafat ilmu pengetahuan (Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan).
Selain itu, Bung Hatta terbilang amat teliti dalam menyertakan sumber dan rujukan untuk gagasan yang disebarkan di media massa. Terang integritas dan kesederhanaan hidup menjadikannya sebagai sosok langka di antara deretan pemimpin Indonesia; kita tahu soal impiannya yang bahkan sulit untuk sekadar membeli sepatu. Bahkan, saya ulangi sekali lagi –jika merujuk penjelasan redaksi Majalah Tempo– Bung Hatta tercatat sebagai negarawan yang banyak menulis.
Tentu masih banyak hikmah yang bisa digali; saya mengakui jika tulisan ini hanya sekadar menyentuh permukaan dari dasar pikiran dan perbuatan yang telah dilakukannya. Maka itu, setidaknya kita patut bangga (pernah) punya Bung Hatta. Sebab, ironi ketika menyadari fakta bahwa kini posisinya sebagai Wapres ditempati orang yang diduga sebagai fufufafa.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Yogi Esa Sukma Nugraha, atau artikel-artikel lainnya tentang sejarah